Tari, Ichwan dan pak Adi baru saja sampai di bandara Soekarno Hatta. “Antar Apah dulu baru aku antar kamu ya?” bisik Ichwan lembut.
“Aku pulang sendiri aja ya A’, kamu ‘kan juga cape,” tolak Tari.
“Kalau begitu kita pulang naik taksi, aku antar kamu. Apah biar pulang dengan sopir dan barang-barangku.” Ichwan langsung saja memutuskan sendiri tanpa diskusi dengan Tari.
“Apah, aku antar RIRI dengan taksi aja ya, Apah pulang dengan mang Dadang,” Ichwan memasukkan koper-koper miliknya dan milik pak Adi ke mobil yang menjemput.
Pak Achdiyat hanya tersenyum, dia memaklumi jiwa muda anaknya. Tari memberi salim dengan mencium punggung tangan mantan direktur utamanya itu.
Di taksi Tari cemberut karena Ichwan mengambil keputusan tanpa diskusi dengannya. “Kenapa manyun gitu?” sang monster bertanya seakan tak mengerti kesalahan yang dia buat.
“A’a bertindak semaunya, enggak diskusi, langsung ambil keputusan. Aku enggak suka!” protes Tari. Sebelum monster menyatakan perasaan saja Tari berani komplain pada semua kebijakan yang diputuskan oleh monster bila tak sesuai dengan pemikirannya. Apalagi sekarang, setelah dia tahu monster menyukainya, dia makin berani mengemukakan pendapatnya.
“Maaf kalau A’a kembali salah,” Ichwan menciumi jemari kanan Tari yang berada dalam genggamannya.
“Ya salahlah, A’a egoist, enggak pernah diskusi. Selalu ambil keputusan sendiri,” Tari menyentak tangannya agar lepas dari genggaman Ichwan.
“Fine, A’a kan sudah ngaku salah. A’a juga sudah minta maaf. Masa masih ngambeg gitu. Ajarin A’a jadi orang yang lebih baik ya, A’a janji akan belajar untuk berubah,” pinta Ichwan.
Ichwan memang cowok yang sangat keras dan kaku. Dia pernah sakit hati dan membuatnya benci pada hubungan dengan lawan jenis. Trauma yang dialami saat dia terpuruk, lalu ditengok sang kakak yang membuat kakak dan kakak iparnya meninggal membuat Ichwan bersikap semaunya.
Saat kembali ke Indonesia dua tahun lalu dia terpana dengan kelembutan Tari, tapi saat itu Tari masih bertunangan dengan Teddy dan Ichwan memilih belajar ilmu di perusahaan pamannya terlebih dahulu. Dia meminta pada mamahnya waktu satu tahun untuk meredam emosinya.
Tari hanya diam, dia membiarkan jemarinya kembali digenggam oleh pria lembut yang sebelumnya dia juluki monster. Tari turun dari taksi dan membuka pintu pagar rumahnya, Ichwan membawakan koper dan beberapa tas Tari.
Berangkatnya gadis itu hanya membawa satu buah koper, tapi pulangnya ada tambahan 3 tas besar ditambah beberapa tas dan dus oleh-oleh makanan yang dibelikan oleh Ichwan dan Bu Tuti.
“Terima kasih,” Tari mengambil alih koper dan tas, lalu memberikannya pada asisten rumah tangganya. “A’a tunggu sebentar ya,” Tari mempersilakan Ichwan duduk di ruang tamunya.
Ichwan baru kali ini datang dan masuk ke rumah Tari. Dia duduk di sofa dan memperhatikan foto-foto keluarga yang terpampang di dinding.
Karena gerah, Tari langsung membasuh badannya sekedar untuk menghilangkan lengket karena keringat. Dia berganti dengan kaos dan celana kaos panjang. Ichwan tersenyum melihat Tari keluar sudah fresh. “Makan siang di sini dulu ya,” Tari meminta Ichwan jangan langsung pulang. Ha ha ha lagian siapa coba yang mau langsung pulang saat sedang berada di rumah perempuan yang dicintainya?
“Kamu enggak repot?” Ichwan bertanya, dia takut mengganggu walau tentu saja senang akan makan siang di rumah Tari.
“Apa kita beli online aja,” Ichwan menawarkan alternatif pilihan.
“Enggak repot, semalam aku sudah minta disiapkan makan siang buat kita koq,” tanpa sadar Tari membuka bagaimana perasaannya pada Ichwan.
“Sejak semalam? Kamu sudah yakin A’a akan makan siang di sini?” goda Ichwan. Membuat Tari tersipu.
“Aku bisa menebak pikiranmu, walau tadi dianter mang Dadang sekali pun, A’a pasti akan mampir ‘kan?” tak mau kalah Tari berkilah agar tidak terlalu malu.
“Teteh, makanannya sudah siap,” asisten rumah tangga memberitahu hidangan makan siang sudah tersedia.
“Jangan diejek ya, makanan ala kampungku,” tanpa ragu Tari menarik tangan Ichwan untuk menuju meja makan.
Di meja terhidang sambal terasi dengan aneka lalapan, sayur asem dan ikan asin. Ada peyek udang juga ayam goreng. “Segini?” tanya Tari menanyakan porsi nasi yang diinginkan Ichwan.
“Sedikit lagi,” jawab Ichwan.
“Wait, A’a ada alergi atau makanan yang enggak disuka enggak? Maaf lupa nanyain,” Tari ketakutan karena makanan yang terhidang mengandung ikan asin, terasi dan udang. Dia ingat Teddy alergi terasi dan udang.
“A’a enggak punya alergi makanan, bukankan waktu di Jogja kemarin kita makan ikan dan udang bakar saat ke pantai?” Ichwan menepis kekhawatiran Tari.
“Mulai hari ini, kita belajar mengenal pasangan ya? Kamu ceritakan apa yang kamu suka dan enggak suka. A’a juga akan menceritakan semuanya, agar kita tidak salah info atau dapat info menyesatkan dari orang lain. A’a yakin, habis ini akan banyak info sampah yang hadir di depan matamu. A’a cuma mohon, trust me. Kamu tanyakan dulu kebenarannya. Jangan kamu salah paham atau kamu telan semua info itu tanpa kamu cerna,” panjang dan gamblang Ichwan meminta pengertian Tari.
Ichwan tahu masa lalunya buruk, dan pasti akan banyak kerikil yang sengaja ditebar orang untuk menjegalnya.
“Pertanyaan pertama, berapa mantanmu?” tanya Tari sambil menatap Ichwan dalam-dalam.
“Yang serius hanya satu dan itu menyakitkanku, selanjutnya yang lain hanya teman tidur tanpa pernah ada perasaan ikut di dalamnya. A’a tidak mau kamu dengar dari orang lain. A’a mantan orang kotor. Tapi sejak melihatmu dua tahun lalu tak pernah sekali pun A’a berbuat lagi. Mungkin kamu bilang A’a berbohong. Tapi itulah kenyataannya. A’a ingin serius denganmu. Dan A’a juga tidak akan marah bila kamu sudah tidak virgin. Yang A’a mau kita menapaki langkah ke depan dengan kejujuran,” tanpa ragu Ichwan menyebutkan jati dirinya.
Seperti yang dia bilang, dia tak mau Tari mendengar khabar burung yang tidak jelas kebenarannya.
Tari terperangah mendengar kejujuran dari Ichwan. Tapi itu lebih dia hargai, daripada dulu dia mengetahui Teddy sudah pernah hidup bersama dengan mantan kekasihnya selama dua tahun dari orang lain. Sejak awal memang Teddy tak jujur dengannya.
Alasan Teddy saat itu dia takut Tari tak menerimanya bila tahu Teddy pernah hidup bersama dengan pasangan sebelumnya.
”Aku menghargai kejujuran A’a. Aku juga mengapresiasi keberanian A’a mengungkapkan hal itu. Asal A’a tahu, aku paling enggak suka dibohongi. Kedepannya, sekali aja A’a ketahuan bohong, saat itu juga tak perlu ada pembahasan apa pun antara kita.”
“Kita sama-sama tak ingin dibohongi, A’a setuju kita saling terbuka dalam hal apa pun. Lebih baik bicara kebenaran yang menyakitkan daripada bicara manis namun bohong,” Ichwan tentu sependapat dengan Tari. Dia sudah merasakan sakit dibohongi. Dia tak ingin merasakan kembali.
“Besok aku libur ya A?” pinta Tari, karena nanggung, esok adalah Jumat, sedang Sabtu dan Minggu dia libur. Rencananya dia ingin pulang ke Bogor.
“Harpitnas?” goda Ichwan. Tari hanya menjawab dengan anggukan dan senyum manis.
“Pengen mudik,” jelas Tari.
“Bawa mobil?” tanya Ichwan.
“Iya, sekalian bawa oleh-oleh. Itu kebanyakan buat kami berdua di sini,” Tari akan pulang dengan asisten rumah tangganya.
“A’a jemput hari Minggu ya,” pinta Ichwan. Dari Jumat pagi ke hari Minggu dia rasa cukuplah Tari melepas kangen dengan keluarganya.
“Trus A’a bawa mobil? Percuma ‘kan ngejemput?” Tari malah bingung mau apa Ichwan menyusul ke Bogor sedang Tari ke Bogor sudah bawa kendaraan.
“A’a naik umum atau diantar mang Dadang, nanti kita pulang bareng,” jawab Ichwan santai.