03-Who is Bisma

1801 Words
Happy Reading "Gue nggak akan jawab pertanyaan lo," ucap Kinna setelah mereka sampai di koridor sekolah yang sepi. "Tapi mau nggak mau lo harus jawab ini. Apa yang dimaksud Thella tadi? Beasiswa? Buat siapa? Lo?" “Bukan urusan lo, Bisma. Dan jangan pernah ikut campur urusan gue.” Bisma menahan lengan Kinna yang hendak berbalik meninggalkannya. “Lo bukan orang susah yang perlu beasiswa itu, kan?” tanya Bisma tajam. Ia selalu betah menatap mata dingin dan ekspresi datar gadis itu. “Bu-kan u-ru-san lo” Kinna menekan setiap katanya. Menandakan bahwa ia benar-benar tak ingin berurusan dengan Bisma kali ini. “Kayaknya mood lo lagi buruk hari ini. Lo butuh hiburan.” Bisma menarik tangan Kinna untuk pergi semakin jauh dari kelasnya. “Bisma, lepas! Gue gak mau ribut sama lo sekarang!” sentak Kinna tak suka. Bisma tetap saja membawa Kinna menuju belakang sekolah. “Bisma!! Jangan macam-macam! Ngapain lo ngajak gue ke tempat ini!” pekik Kinna panik saat Bisma mengajaknya ke tempat yang sepi. Ralat! Bisma membawa Kinna keluar dari sekolah lewat pintu belakang sekolah. “Bisma! Lo mau ajak gue bolos? Gue gak mau!” Bisma menghentikan salah satu taksi yang lewat lalu membawa Kinna masuk. “Bis!” “Lo takut amat sama gue,” ucap Bisma santai. “Kita mau ke mana!? Jangan aneh-aneh deh lo.” Bisma tak menjawab, ia membiarkan Kinna menikmati perjalanan mereka dan menyebutkan alamat yang tentu saja Kinna tak tahu sebelumnya. Bisma mengajak Kinna ke tempat yang sangat tenang. Seperti di tengah hutan. “Itu apa?” tanya Kinna sembari menunjuk sebuah rumah pohon yang sedikit jauh dari mereka. Bisma menariknya mendekat. “Di sini biasanya gue, Eza dan Angga meluapkan emosi. Saat di sini, kita bertiga kelihatan sama-sama rapuh. Gak ada kita yang semena-mena,” jelas Bisma. Bisma mengambil bola basket yang diletakkan pada penyangga rumah pohon itu lalu mendribelnya beberapa kali dan masuk. Bola basket yang dilempar Bisma masuk dengan sempurna ke dalam ring. Kinna menatap sekelilingnya lalu duduk di tangga rumah pohon. “Killa, ayolah. Luapkan emosi lo dengan main basket. Ini cara yang efektif.” Bisma menggiring bolanya ke sana kemari dan men-shootingnya dengan baik. Kinna menggeleng. “Tempat ini cukup tenang. Lo aja yang main,” jawab Kinna menyandarkan punggungnya lelah. Kinna memejamkan matanya, menikmati terpaan angin di wajahnya yang menjanjikan kedamaian. Sesekali ia membuka matanya hanya untuk memastikan Bisma masih ada di sana. Tak terasa hari mulai panas hingga Kinna sadar sekarang sudah jam 1 siang. Ini berarti sudah 6 jam mereka di sana. Kinna hanya diam melamun, dan Bisma terus saja bermain basket. “Bis,” panggil Kinna pelan. Bisma hanya bereaksi dengan menoleh ke arahnya sekilas. “Berhentilah, Bis. Udah 6 jam lo mondar-mandir begitu” ujar Kinna yang kasihan melihat Bisma sudah basah oleh keringat. Bisma tak menghiraukannya. Ia masih berlari dengan lincahnya. Belum ada bola yang tak masuk saat Bisma melemparnya tadi. Kinna menggeram kesal lalu menghampiri Bisma. Ia berdiri di hadapan Bisma tapi dengan mudah Bisma melewatinya dan bolanya kembali masuk dengan menakjubkan. “Lihat, ini menyenangkan, jangan dihentikan!” ucap Bisma kembali meraih bolanya. “Bis!” kali ini Kinna menarik lengan Bisma saat Bisma berlari. Alhasil Kinna malah ikut tertarik. “Killa!” Bisma menahan tubuh gadis itu saat Kinna hampir terjatuh. “Lo nggak apa-apa?” tanya Bisma khawatir, “kenapa membahayakan diri begini?!” Belum sempat Kinna menjawab, Bisma sudah memberikan pertanyaan lagi. Pemuda itu memasang tampang kesalnya karena kecerobohan Kinna baru saja. “Kalau bahaya kenapa lo lakuin ini?” Kinna tak kalah menatapnya kesal. “Killa..." “Apa lo nggak capek dari tadi lari sana lari sini. Gue aja yang liat lo jadi capek sendiri,” gerutu Kinna sebal. “Sebenarnya yang punya masalah itu lo, kan?!” bidik Kinna dengan mata memicing tajam. Bisma tertawa mendengarnya. “Ayo main sama gue.” “Ha? Hehe... gue gak bisa main basket,” ucap Kinna tak jelas sambil nyengir karena malu ketahuan tak bisa main basket. “Temenin gue.” “Gue gak bisa main basket, Bisma.” “Hibur gue.” “Pemaksa!” Akhirnya gadis itu menyerah, ia merebut bola dari tangan Bisma kemudian mendribelnya. “Tidak terlalu buruk,” komentar Bisma melihat Kinna yang mendribel bola. “Lo puas?” tanya Kinna sinis. Bisma berjalan mendekat, bukan di depannya tapi Bisma berpindah ke belakang Kinna. Kinna menoleh untuk melihat apa yang Bisma lakukan di belakangnya. Bisma berpura ingin merebut bolanya tapi Kinna dengan refleks menyikut perutnya membuat Bisma tertawa oleh sifat protektif Kinna yang tiba-tiba datang pada bola basket di tangannya. Kinna ikut tertawa melihat kebodohannya tadi. “Masukkan!” perintah Bisma dengan tangan terlipat di d**a setelah sedikit memundurkan dirinya. “Nggak akan masuk,” jawab Kinna melas. “Lo nggak mau mencoba? Pengecut,” cibir Bisma. Kinna mendengus kesal. “Lo selalu bisa maksa gue, Kancil!” Kinna mengubah posisinya menghadap ke ring basket. “Ada bola yang lebih kecil? Ini terlalu besar,” ucap Kinna ragu melihat ukuran ring dan bolanya. Bisma tertawa renyah. “Lo mau pakai bola bekel? Atau kelereng? Dasar bodoh,” ledek Bisma tak habis pikir. Kinna menatap kesal ke arahnya sekilas lalu kembali mendribel bolanya dan siap memasukkannya. Bisma menangkap punggung tangan gadis itu saat akan melempar bola. “Fokus, Killa,” ucap Bisma menggeser posisi tangan Kinna. Bisma ikut melemparkannya, Dan... Good!! Bolanya masuk. “Wahhh, Bisma! Gue nggak nyangka bisa masukin bolanya!” ujar Kinna girang dan berbalik menatap Bisma, tak sengaja gadis itu memeluk Bisma. Bisma membalas pelukannya dengan senang hati. “Jangan takut mencoba-" "Ih!!" Kinna mendorong tubuh Bisma menjauh darinya. "Ngapain lo meluk-meluk gue! Dasar wedus!" "Modus, Killa. Bukan wedus." "Sama aja! Pokoknya jangan sentuh gue! Lo kan bau keringat!" "Baiklah, Tuan putri." *** “Jadi....” Kinna menggantungkan ucapannya sedikit berpikir. “Akan sulit, Kinna,” jawab Thella. “Tapi itu mungkin kan, Thell?” “Sebenarnya kenapa lo pengen dapat beasiswa itu?” tanya Thella menatap serius sahabatnya itu. “Harus, Thell. Tapi lo jangan bilang sama siapa-siapa, ya?” Kinna membalas tatapan serius Thella. “Oke.” Kinna mendekatkan wajahnya pada Thella agar ucapannya nanti tak didengar orang lain. “Papa masih menginginkan harta mama, Thell. Dan gue ingin mama menyerah aja biar papa gak macam-macam lagi sama kami. Tapi mama gak mau melepasnya karena gue masih butuh pendidikan. Nah, kalau gue bisa dapat beasiswa itu dan dapat jaminan perguruan tinggi, mungkin mama akan melepas hartanya untuk pria b******k itu. Dan kami akan hidup tenang,” jelas Kinna dengan mata berkaca-kaca. “Kinna... sabar, ya.” Thella memeluk Kinna tapi gadis itu segera melepas pelukannya. “Jangan peluk gue, bersikap biasa aja. Gue lagi males berdebat sama Bismalay.” Kinna melirik Bisma sekilas yang duduk sedikit jauh darinya. Sepertinya Bisma memang tak pernah terang-terangan memperhatikannya, tapi ketika Kinna melakukan hal yang sedikit saja mampu membuat Bisma penasaran, pria ber-IQ 165 itu akan dengan tak terduga sudah berada di dekatnya dan menariknya dengan sesuka hatinya sendiri dan akan melemparkan pertanyaan yang Kinna bisa sering menebaknya. *** Seperti biasa, Bisma akan memaksa Kinna untuk pulang bersamanya. “Gue duluan,” ucap Kinna pada Thella saat Bisma sudah berdiri di sebelahnya. “Anak pintar,” ucap Bisma kemudian mengusap kepala Kinna. “Jangan sentuh!” ucapnya dengan wajah garang, menepis kasar tangan Bisma dari kepalanya. Dan pemuda berkarisma itu hanya tersenyum tenang. Sampai di parkiran, Bisma dan Kinna langsung masuk ke dalam mobil yang hari ini menjemput Bisma. Akhir-akhir ini Bisma memang tak pernah lagi membawa mobil sendiri ke sekolah karena maraknya kecelakaan yang dialami pelajar. Maminya yang melarang. Dan Bisma juga tak terlalu peduli dengan hal itu. “Bisma, gue ingin tanya sesuatu sama lo.” Kinna memulai percakapan. “Katakan.” “Tapi... ini sedikit pribadi. Ah, tidak. Ini sangat pribadi.” “Gue akan menjawabnya dengan satu syarat,” tawar Bisma. “Apa?” “Hilangkan panggilan ‘gue lo’ mulai dari sekarang.” Bisma menaik turunkan alisnya. “Lo pikir lo siapa? Hah,” cibir Kinna. “Ya udah, simpan aja pertanyaan itu.” “Ck. Licik. Oke hanya untuk hari ini.” Kinna menimbang penawaran. “Boleh juga. Pokoknya hari ini gak ada ‘gue lo’ ya?” Bisma menjabat tangan Kinna dengan paksa. “Tapi jangan tersinggung, ya.” Kinna seperti memikirkan lagi hal yang akan ia tanyakan pada Bisma. “Apa sih yang akan kusembunyikan darimu?” “Waktu menggombalmu habis, Tuan Karisma.” Kinna menatap pemuda tampan itu sinis. Bisma tertawa. “Apa yang ingin kamu tahu? Berapa kali aku berpacaran? Berapa jumlah mantanku atau berapa kali aku pernah berciuman? Mm atau seberapa kayanya aku?” Kinna menatap Bisma jijik. “Kamu memberiku pilihan pertanyaan?” Bisma kembali tertawa lalu mengacak pelan rambut gadis itu. “Jangan merusak rambutku!” sentak Kinna merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat ulah Bisma tadi. “Kamu lucu.” Bisma tersenyum gemas. “Cukup, Bis, aku benar-benar ingin bertanya.” “Em?” “Apa, apa kamu... maksudku, apa kamu dari keluarga broken home?” tanya Kinna ragu dan sama sekali tak menatap Bisma. Bisma tertawa kencang mendengarnya. Sopirnya juga ikut tertawa kecil. “Yak, Bis!! Kenapa tertawa?!” Kinna bingung karena Bisma bukannya tersinggung malah tertawa sekencang itu. Bisma menghentikan aksi tawanya. “Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?” tanya Bisma menatap lawan bicaranya santai. “Ya, sikapmu seperti anak korban broken home yang sedang mencari jati diri dan suka melampiaskan emosi sesukanya di sekolah. Kamu selalu berulah dan seperti butuh perhatian, ups.” Kinna menutup mulutnya sendiri karena ia spontan memberikan Bisma alasan kenapa ia bisa berpikir bahwa Bisma adalah korban broken home. Bisma tersenyum kalem. "Apa aku terlihat begitu buruk di sekolah?” tanya Bisma lagi “Bahkan lebih buruk di mataku, Bis. Hanya fans-mu saja yang bodoh bisa menggilai pria i***t sepertimu.” “Begitukah? Sepertinya kepalamu terlalu banyak pengaruh sinetron.” “Lalu?” Kinna menatap Bisma serius sekaligus penasaran. “Tentu saja tidak. Apa kamu benar-benar tak tahu tantang aku, Killa?” tanya Bisma menyelidik. “Aku tak punya waktu untuk hal itu.” “Itu yang kusuka darimu, Killa, Ice Girl. Paman, apa keluargaku terlihat berantakan?” tanya Bisma pada sopir pribadinya yang sedang fokus mengemudi itu. “Tentu saja tidak, Tuan muda,” jawabnya sambil terkekeh pelan. Merasa lucu dengan pertanyaan itu. “Baiklah, ayo ke rumahku. Kamu bisa menilai sendiri bagaimana kondisi keluargaku,” ujar Bisma santai. “Apa?” “Tidak menerima penolakan.” “Kamu egois, Bisma. Pemaksa!” “Ya. Aku terlahir seperti itu.” “Kamu juga sombong.” “Benar, itu ciri khas papiku dan mau tidak mau itu menurun padaku.” "Dan kau bangga?" "Tentu saja." “Kamu gila? Hah?!” “Kadang. Hanya karenamu, Killa.” “Menyebalkan!” Jangan lupa tinggalkan jejak gengs.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD