OWN 8 | Ibu Cantik Milik Aiden

1625 Words
OWN 8 | Ibu Cantik Milik Aiden Aiden duduk diam di kamarnya. Sudah dua hari ia mengurung diri dan enggan bertemu semua orang. Sejak ia mengetahui kondisi ibunya dan bahkan tidak bisa mendekat atau menghampiri, Aiden yang merasakan kesedihan mendalam hanya duduk diam di sudut kamarnya dengan kotak berwarna mint. Aiden yang mendengar langkah kaki, buru-buru menyembunyikan kotak bertuliskan ‘Mainan Aiden’ itu. Mata biru yang suram bertemu retina biru terang yang tenang. Aiden menatap Ilias yang berdiri di ambang pintu. “Aku dengar ada yang mau kau bicarakan.” Ilias bertanya, membuat Aiden langsung bangkit dan berjalan ke hadapannya. Tangan kecilnya saling bertautan, seolah menunjukan kegugupan yang mendalam. Kulitnya memang sangat putih, namun Ilias merasa bahwa wajah anak itu terlalu pucat. Ilias memang menerima laporan bahwa Aiden menolak makanan dan terus mengatakan ingin bertemu dengannya. “Ibu bagaimana? Ibu baik-baik saja?” Aiden bertanya, suara kecilnya sedikit bergetar kala itu. “Dia akan membaik.” Ilias menjawab sederhana. “Apa ibu sudah mau bertemu denganku? Apa aku sudah bisa bertemu ibu?” Ilias memperhatikan raut resah Aiden dan kala itu ia tidak bisa memberikan jawaban yang anak itu inginkan. “Ibu, meski ingatan ibu hilang aku tetap anak ibuku kan?” Aiden bertanya lagi. Ilias kali ini mengulurkan tangannya, menyentuh pundak Aiden dengan satu tangan. “Dia tidak mengingat apapun, kau bisa mendekatinya saat dia lebih stabil.” Aiden menunduk, wajahnya kian kusut mendengar jawaban Ilias. “Tidak ada lagi?” Ilias bertanya, menanti sebelum akhirnya ia berbalik untuk pergi. “Ibu…” Ilias berhenti melangkah, menoleh pada Aiden yang menatap Ilias. Kali ini dengan tatapan amarah. “Sangat membenci Anda…” Ilias tahu bahkan tanpa Aiden mengatakannya sekalipun. “Aku tahu…” Jawab Ilias enteng. Ia kemudian memiringkan kepalanya dan tersenyum tipis mendapati raut Aiden. “Dasar anak kecil.” Ilias kemudian berbalik pergi, meninggalkan Aiden sendirian di kamar yang dingin itu. Aiden kembali ke tempat dimana ia duduk, sudut ruangan menjadi tempat nyaman baginya. Di sisi kiri, ia mengambil kotak yang sempat disembunyikan nya di kolong tempat tidur. Aiden membuka kotak itu, berisi puluhan perekam suara yang ia bawa dari kediamannya sebelumnya. “Aku harus mengambil sisanya…” Gumam Aiden pelan. Ia memperhatikan berbagai note dalam perekam suara itu. Tulisan yang lagi-lagi membuatnya menangis. ‘Ulang tahun pertama Aiden, tangisan Aiden, nyanyian Aiden, kata pertama Aiden.’ Lalu di sisi lain, perekam dengan warna tosca terlihat. Catatan pada perekam itu sedikit berbeda. ‘Memori tiga bulan (tahun keenam), memori dua bulan (tahun ke delapan), memori tiga bulan (tahun ketujuh).’ Aiden menyentuh tulisan ibunya dan menarik nafas dalam-dalam. “Apa akan ada jawabannya? Mengapa ibu meninggalkanku di tahun awal?” Aiden menemukan semua perekam itu di ruangan ibunya saat ia harus berkemas untuk datang ke negara ini. Anak itu hanya menemukan sebagian dan merasa yakin bahwa ibunya memiliki lebih banyak lagi alat perekam yang digunakannya. “Kenapa ibu merekam semua suara dan membuat diary rekaman seperti ini? Untuk apa?” Aiden memeluk kotak itu, matanya yang sembab karena terlalu banyak menangis tidak lagi mengeluarkan air mata. Aiden kebingungan harus bertindak apa, ia tidak bisa mendekati ibunya dan dia juga tidak bisa mempercayai pria yang ia yakini sebagai ayahnya. Aiden menggenggam satu perekam dengan catatan yang membuat amarahnya selalu memuncak setiap kali ia memutarnya. ‘Jangan percaya siapapun, kau sendirian.’ Aiden menekan tombolnya, mendengarkan suara nafas ibunya yang berat. “Aku hamil...” “Ilias tidak bisa dihubungi, aku terus berusaha mengatakannya tapi dia tidak peduli. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu harus berbuat apa?” “Bagaimana...” “Bagaimana jika anak ini dibunuh? Sendirian.” Suara isakan tangis mulai terdengar, nafas berat yang terasa sesak dan isakan yang tidak kunjung mereda. “Mereka mengurungku, mengawasi dan seolah mencekikku. Jika aku tetap di sini, dia akan membunuhku dan bayi ini kan? Orang itu...” “Kenapa dia begitu?” “Usiaku baru delapan belas tahun, apa yang bisa kulakukan? Dalam kondisi hamil di negeri orang?” “Aku takut dan lelah...” “Aku takut sekali…” “Aku sendirian...” Aiden menghentikan rekaman dan menarik nafas dalam-dalam. Ia menangis lagi, membayangkan bagaimana ibunya ketakutan saat itu. Apa yang Aiden inginkan saat ini adalah memeluk ibunya, meminta maaf atas segalanya dan mengatakan bahwa ia sangat menyayanginya. Aiden mempercepat rekaman dan kini ia mendengarkan suara ibunya yang lebih tenang. “Aku berhasil lari, aku juga berhasil mendapatkan dana untuk bertahan hidup. Nenek memang luar biasa, aku juga terkejut dengan fakta bahwa aku bisa menemukan jejak nenek.” “Tubuhku mulai terasa aneh, aku tidak tahu mengapa aku terus muntah dan mengapa rasanya aku menjadi begitu lemah. Aku harus menemui dokter untuk itu.” “Aku rasa, aku harus terus membuat catatan suara ini, karena suara akan lebih sulit dimanipulasi bukan?” “Jessica, jangan percaya siapapun.” Rekaman berakhir. Hanya ini rekaman di dua bulan tahun pertama. Aiden meyakini bahwa ibunya membuat semua catatan suara itu untuk dirinya sendiri. Seolah ada yang ibunya takuti begitu dalam. “Apa, yang harus kulakukan?” Aiden menarik nafas dalam dan mengingat kembali satu hari sebelum kejadian. Kejadian yang sangat di sesalinya… Dua Tahun Lalu… “Kau yakin bisa ikut?” Teman sekelas Aiden bertanya, ia memasang wajah serius seolah mereka memiliki wacana besar. “Edisi terbatasnya hanya untuk besok loh. Katanya kalau masuk berlima dapat edisi undian spesial. Lalu, wahananya akan berhenti beroperasi karena wahana baru akan dibangun. Jika besok kau tidak ikut, kita akan mengajak Harry.” Aiden terlihat kesal begitu mendengar nama itu. Ia kemudian bertolak pinggang dan menelisik wajah keempat temannya. “Kalian mau ajak anak aneh itu? Untuk apa mengajaknya!” Aiden mendapatkan tatapan lesu dari teman-temannya. “Ibumu kan pasti melarang... Memang bisa pergi? Kita benar-benar harus mendapatkan edisi terbatas itu. Aku sudah mencuri kartu ibuku untuk kita gunakan sampai kita bisa dapat edisi itu. Ibumu terkadang menyeramkan, kau tahu?” Terang salah satu anak bersurai blonde sambil memasang wajah lesu. “Ibu Aiden? Ahhh wanita cantik simpanan itu?” Sebuah suara yang datang dari arah belakang membuat Aiden menoleh, menatap Harry yang tersenyum menyebalkan. “Kalian sedang membicarakan pekan perkemahan kan? Aku ikut besok, aku menjadi ketua regu” ujarnya dengan penuh kebanggan. Kelima sekawan itu saling berpandangan dengan senyuman mengembang. Seolah mereka mendapatkan ide cemerlang saat itu. “Ah Aiden, aku ingin tanya. Apa itu benar? Ibuku bilang ayahmu ada tujuh.” Harry bertanya dengan enteng, seolah tidak ada yang salah dari pertanyaanya. Aiden memasang wajah kesal dan enggan menanggapi, ia berbalik ingin pergi menjauh. “Katanya ibumu sering bertemu lelaki tua. Ibuku bilang ibumu suka berlagak cantik dan dapat uang dari wajahnya. Apa uang itu yang kalian gunakan untuk membeli mobil keren, baju mahal dan mainan-mainan mahal itu? Aiden, bagaimana caranya menjual wajah ibumu? Aku juga mau menjual wajah ibuku. Aku bahkan tidak boleh beli sepatu baru padahal sepatuku sudah kekecilan. Harry memandangi sepatunya, melirik sepatu Aiden yang berasal dari merek mewah. “Apa harus punya ibu cantik supaya punya barang bagus yah?” Pertanyaan polos itu bukanlah jenis pertanyaan yang seharusnya membuat anak-anak mengerti. “Apa maksudnya menjual wajah? Wajah bisa dijual?” Salah seorang teman Aiden bertanya, mereka saling berpandangan kebingungan satu sama lain. “Aku tidak tahu, aku dengar saat dia bicara dengan bibi. Bibiku lalu bilang bahwa ibumu pasti menidurkan orang-orang itu. Aku tidak tahu bahwa pekerjaan membuat tidur itu bisa membuat kaya. Aku justru heran kenapa orang dewasa tidak bisa tidur sendiri.” Harry menggaruk kepalanya. “Mungkin mereka takut...” Salah seorang teman Aiden menjawab. “Aiden, ibumu benar-benar bekerja menjual wajah dan menidurkan orang? Wahhh jadi dari situ ya kau jadi kaya.” Teman yang lain menimpali. “Keren sekali! Aku tidak tahu orang dewasa bisa takut tidur sendirian.” Timpal yang lainnya sambil tertawa. Wajar jika mereka mengatakan hal itu, wajar jika Aiden tidak mengerti. Bahkan meski Aiden tidak begitu mengerti maksudnya, Aiden tahu bahwa itu perkataan buruk untuk ibunya. Karena ini bukan kali pertama Aiden mendengarnya. Terkadang, saat bermain dengan teman-temannya. Ibu-ibu mereka menggunjingkan Aiden dan ibunya, dengan wajah penuh penghinaan dan merendahkan, Aiden masih mengingat bagaimana mereka membicarakan hal yang tidak dirinya mengerti sambil tertawa seolah semua itu sekedar lelucon menyenangkan. Aiden tidak tahu namun ia enggan mendengarnya. “Aku akan ikut besok.” Aiden berbalik pergi begitu ia mengatakannya. Ia menghampiri sebuah mobil yang terparkir di depan sekolah, mobil dengan merek termewah yang selalu menarik perhatian. Aiden naik ke dalam mobil dan bertemu dengan ibunya yang tersenyum begitu cerah. “Hari ini kau hanya memiliki satu jadwal les, bagaimana jika kita pergi berkencan dan makan malam diluar setelah les?” Aiden menatap wajah cerah ibunya yang penuh semangat, memperhatikan wajah cantik yang selalu tersenyum di depannya itu dengan intens. “Ibu, bisa ganti mobilnya? Aku mau yang biasa saja, yang ini terlalu...” “Heng? Ganti? Tapi kan ini mobil yang Aiden mau. Sudah tidak suka lagi?” Tatapan penuh tanya Jessica membuat Aiden merasa tertegun. “Bukan begitu hanya saja katanya mobilnya mahal, anak-anak lain ingin masuk dan itu merepotkan.” Jessica tersenyum kala itu seolah memaklumi. “Jika teman-teman Aiden ingin bermain di dalam mobil dan ikut berjalan-jalan tentu saja boleh. Ibu akan membelikan mainan jika mereka mau. Ah apa kita pergi sama-sama?” Aiden menatap ibunya dan menarik nafas dalam. Aiden tidak tahu harus berbuat apa, ia juga tidak mengerti apa yang salah. Ia hanya tahu bahwa ibunya memanjakannya dengan caranya sendiri. Meski terlalu protektif. Sampai, Aiden menyampaikan maksud dan keinginannya yang tidak mudah Jessica kabulkan. “Berkemah? Apa maksudnya berkemah? Tidak boleh! Aiden banyak hal bisa terjadi saat berkemah dan itu berbahaya.” Itulah yang Jessica katakan pada putranya saat sang putra meminta izin untuk berkemah. Aiden menatap wajah ibunya... Sebelum pertengkaran yang cukup hebat mulai datang hari itu… Awal dari penyesalan terbesar Aiden…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD