“Leonita selalu memanggil saya mama, apa Mas nggak keberatan jika saya membahasakan diri saya dengan kata mama juga ke dia?” tanya Laras, saat ini mereka berdua tengah sarapan di kantin rumah sakit. Ibu Midas sudah datang itu sebabnya mereka berdua bisa meninggalkan Leonita saat ini.
Keadaan Leonita berangsur membaik, demamnya pun sudah turun, merupakan sebuah keajaiban mengingat kondisinya yang cukup drop kemarin. Midas pun menyadari bahwa yang membuat Leonita sakit adalah kerinduan kepada mamanya, siapa lagi jika bukan Laras yang dianggap mamanya.
“Saya tidak keberatan Ras tentu saja,” ucap Midas, menyuap bubur ayam yang dibelinya. “Tapi saya khawatir kamu yang keberatan,” imbuh Midas sambil tersenyum tak enak kepada Laras. Laras pun menggeleng, sungguh dia tak keberatan sama sekali. Dia pun tak tega melihat Leonita seperti itu.
“Ras, maaf jika saya egois, tapi maukah kamu menikah dengan saya? Demi Leonita,” ucap Midas, Laras tersedak bubur ayamnya sehingga Midas menyerahkan air mineral ke Laras setelah membuka tutup botolnya.
Midas memandang Laras yang terkejut, dia pun tak serta merta berbicara tanpa sebuah pertimbangan. Sebelum Laras bangun tadi, ibunya sudah datang. Memandang Laras yang memeluk Leonita dengan erat, skin to skin kontak meski mereka masih berpakaian lengkap. Skin to skin kontak dipercaya bisa menurunkan suhu tubuh karena kulit yang bersentuhan dengan suhu yang normal bisa meredakan demam.
Ibu Midas mengajak anaknya keluar dari ruangan itu, duduk di depan kursi tunggu sambil memandang halaman luas di depan kamar ruang rawat Leonita. Udara pagi yang terasa segar, juga hawa dingin yang sedikit menyergap kulit. Ibu Midas menarik napas panjang, mengisi rongga paru-parunya yang tua. Mengalihkan pandangan ke putranya yang masih tampak setengah mengantuk sambil memegang tangan sang putra.
“Das,” panggilnya dengan suara lemah yang terdengar parau.
“Ya, Ma?” tanya Midas, menoleh pada wajah sang ibu yang sudah agak keriput meskipun masih memancarkan sisa-sisa kecantikannya.
“Kenapa kamu tak nikahi Laras saja? Mama tahu kalian baru mengenal, namun mama merasa dia adalah wanita yang tepat untuk Leonita, kamu tak bisa selamanya menjadi ayah sekaligus ibu untuknya, tak semua pria bisa diciptakan demikian. Mama yakin Laras bisa menyayangi Leonita seperti anak kandungnya sendiri,” ucap ibu Midas, Midas memutuskan kontak mata dengan sang ibu, sarannya hampir sama dengan saran Fariz kemarin.
Hatinya disesaki oleh sebuah tekanan yang dalam, satu sisi dia ingin putrinya bahagia, namun di sisi lain dia merasa ini salah! Laras tak bisa ikut menanggung beban deritanya, menikahi pria yang tak dicintainya sama sekali.
“Aku pikirkan dulu, Ma,” ucap Midas. Ibu Midas mengangguk dan melepas pegangan tangan ke putranya, lalu memilih masuk ke ruang rawat lebih dahulu. Midas menyandarkan kepalanya ke dinding di belakang tubuhnya, beberapa kali mengetukkan kepalanya ke dinding itu, dia tengah dilema saat ini.
Lalu terbayang Leonita yang kejang kemarin, isak tangis putrinya ketika menanyakan ibunya, perubahan sang putri yang menjadi lebih pemurung. Apa Midas bisa melihat itu lebih lama? Sampai kapan?
Lalu disinilah mereka berdua berada, di kantin rumah sakit yang mulai ramai dikunjungi oleh keluarga pasien yang menunggu pasien dirawat sama seperti mereka. Laras masih menenggak minumannya dan meletakkan botol itu di meja. Sungguh dia sangat terkejut dengan apa yang terjadi baru saja.
Namun dia tak bisa menolaknya begitu saja, terlebih dia mengingat pesan yang masuk ke ponselnya kemarin, yang membuatnya memutuskan menutup toko lebih cepat karena kepenatan yang dia rasa.
Di sore hari, sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya. Laras sangat mengingat setiap tulisannya yang membuat hatinya sakit. Sebuah pesan dari Fatmala, istri Bimo.
Dia menuliskan bahwa Bimo telah mentalaknya dengan alasan masih mencintai Laras dan ingin kembali kepadanya. Fatmala sangat marah di pesan itu, dia memaki Laras dengan kata-kata kasar, sumpah serapah dan hewan-hewan yang dipakai untuk umpatan pun dikeluarkannya, membuat hati Laras sangat sakit.
Sumpah demi apapun dia tak pernah merebut Bimo meski dia masih mencintainya. Namun dia tahu, Bimo adalah orang yang keras kepala. Dia tak mau Bimo bercerai karenanya, bagaimana nasib bayi mereka nanti?
Melihat Leonita yang terus mendekapnya dan memanggil mama, membuka mata Laras lebih lebar, apa nanti bayi mereka akan bernasib sama? Kehilangan salah satu orang tuanya yang membuatnya tertekan seperti Leonita. Saat ini, di sampingnya tengah duduk Midas, pria yang baru dikenalnya, namun sudah melamarnya.
Laras tahu perasaannya kepada Midas belumlah tumbuh, mungkin disebabkan oleh rasa cintanya yang berlebihan kepada mantan suaminya itu. Dan Midas datang seolah mengulurkan tangan untuk membantunya. Mungkin jika mereka menikah, Bimo akan mengurungkan perceraiannya dengan Fatmala dan kembali bersama.
Laras rasa ajakan Midas untuk menikah dengannya tak buruk. Mereka saling membutuhkan saat ini untuk menyelesaikan masalah yang menghimpit mereka. Karena itu, Laras menoleh kepada Midas dan mengangguk.
“Ya, saya bersedia,” jawab Laras, yang kini bergantian membuat Midas terkejut, dia tak menyangka Laras akan menerima lamarannya saat ini juga. Dia pikir wanita itu akan membutuhkan waktu lebih lama.
“K-kenapa?” tanya Midas, tak menyembunyikan keterkejutannya. Laras menghela napas panjang kembali menatap mangkuk buburnya dan memutuskan pandangan ke arah Midas.
“Sama seperti Mas yang ingin menikahi saya karena Leonita, saya pun ada alasan menerima permintaan Mas,” jawab Laras.
“Boleh saya tahu alasannya?” tanya Midas.
“Mas ingat mantan suami saya?”
“Ya, yang bertemu di toko itu?”
“Dia ingin menggugat cerai istrinya, untuk saya. Karena itu saya tak mau menghancurkan rumah tangga mereka, saya pikir pernikahan ini akan membebaskan saya dari mereka.”
Midas dan Laras terdiam, membiarkan seluruh pikiran berkecamuk di otak mereka. Mereka berdua bahkan melanjutkan memakan bubur mereka sampai tandas, terkecuali Laras yang hanya memakan setengah dari bubur itu karena merasa perutnya tak mampu menerima lagi. Sudah biasa baginya yang jika terkena masalah mempengaruhi nafsu makannya, dia bisa mendadak kenyang meski belum makan apapun.
“Kapan kamu siap menikah dengan saya?” tanya Midas, menoleh ke arah Laras yang membalas tatapannya.
“Terserah, Mas saja. Saya pulang dulu ya, mau ambil baju sepertinya Leonita masih butuh beberapa hari dirawat disini kan? saya ingin menemaninya,” ucap Laras.
“Saya antar. Saya juga perlu bertemu orang tua kamu untuk membicarakan pernikahan kita.”
Laras mengangguk, tak ada penolakan disana, meskipun dia terus terdiam, toh Midas juga terdiam seperti banyak pikiran yang mengganggunya.
Setelah Laras berpamitan kepada Leonita yang berkata ingin mengambil baju, dia pun segera menuju mobil Midas bersama pria itu.
Leonita tampak berat melepasnya namun Midas meyakinkan bahwa dia akan menunggu Laras dan membawanya kembali ke rumah sakit.
“Kamu mau pernikahan yang seperti apa?” tanya Midas, memecah kesunyian diantara mereka, karena musik di radio yang diputar di mobil itu tetap membuat keadaan tak berubah jadi lebih ramai.
“Yang penting sah, saya tak ingin ada perayaan apapun,” ucap Laras, memandang jalanan di hadapannya. Mobil itu masih melaju pelan di tengah kepadatan lalu lintas ibu kota di pagi ini.
“Setelah menikah?”
“Maksudnya?” tanya Laras tak mengerti arah pikiran Midas.
“Pernikahan kita, apa kamu mau membuat perjanjian pra nikah sebelumnya?” tanya Midas. Laras menggeleng, dia ingin mengikuti arus saja. Perjanjian pra nikah, meskipun cukup penting namun Laras merasa itu hanya akan membuatnya seperti terikat pernikahan kontrak.
Bahkan sebenarnya setelah bercerai dengan Bimo, dia tak pernah terpikirkan untuk menjalani kehidupan pernikahan lagi. Buat apa dia menikah jika akan terjebak pada hal yang sama? Keturunan! Dia tak bisa memberinya keturunan sedangkan orang yang menikah biasanya menjadikan keturunan sebagai salah satu tujuan penting, padahal diatas itu semua ada yang lebih penting. Yaitu menjaga keharmonisan rumah tangga. Membentuk rumah tangga yang indah tanpa beban yang berlebihan.
Bukankah keturunan itu hak prerogatif Tuhan? Jika memang sudah berusaha semaksimal mungkin namun tetap belum diberi kesempatan memilikinya, yang bisa dilakukan hanyalah berserah diri.
“Saya ikuti arus saja, saya ingin pernikahan ini adalah pernikahan sungguhan, terlepas dari alasan kita menikah, meskipun kita tak tahu apakah perasaan kita akan berkembang nantinya?”
“Jika seperti itu, saya harap kamu tidak canggung jika kita tidur satu kamar, saya tak akan menyentuh kamu sampai kita sama-sama siap,” ucap Midas yang disetujui oleh Laras.
Laras sampai dirumahnya, dimana kedua orang tuanya tengah sarapan, Laras mempunyai satu adik perempuan yang telah menikah dan dikaruniai dua anak, namun adiknya tak tinggal bersama orang tuanya, meskipun seperti itu, rumah sang adik cukup dekat dengan rumah orang tuanya, sehingga anak-anaknya setiap hari dititipkan ke ibunya saat adiknya bekerja. Sang adik memang wanita karir sejak lulus kuliah dan orang tua Laras tak keberatan menjaganya terlebih mereka berdua memang sudah pensiun dari pekerjaannya.
Bisa dibilang keluarga Laras merupakan keluarga menengah, ayahnya pensiun pegawai negeri sipil sedangkan ibunya pensiunan karyawan swasta bagian keuangan. Mereka bisa tetap menikmati hidup dengan jatah pensiun mereka yang cukup besar.
Laras mengenalkan Midas kepada kedua orang tuanya, mereka saat ini sudah duduk di ruang tamu, berempat dengan posisi Midas yang duduk di sofa tunggal sementara Laras di kursi yang diambilnya di ruang makan, dan kedua orang tuanya duduk di sofa panjang.
“Tujuan kedatangan saya kesini, untuk mengutarakan keinginan saya menikahi Laras, Pak, Bu,” ucap Midas dengan sopan. Kedua orang tua Laras saling tatap dan menoleh ke arah putrinya yang duduk memandang mereka.
“Benar itu Laras?” tanya ayahnya. Laras mengangguk. Hingga ayahnya kembali menatap Midas.
“Tapi, kamu sudah tahu kekurangan Laras? Dia tak bisa memberikan kamu keturunan karena kondisinya,” ucap ayah Laras hati-hati. Dia tak mau anaknya disakiti lagi karena masalah keturunan itu. Dia sangat tertekan melihat sang putri terus menangis ketika proses perceraiannya itu.
“Ya saya tahu, Laras sudah menceritakan semuanya. Saya juga sudah mempunyai putri berusia tiga tahun,” ucap Midas.
“Istri kamu?” tanya ibu Laras, kali ini dia mengantisipasi jika ibu dari putri Midas akan merongrongnya nanti karena pernikahan mereka. Meskipun Laras tak menceritakan tentang pesan itu kepada ibunya, namun hati ibunya mungkin tahu jika Laras mengalami kesulitan dalam hidupnya. Dia melihat Laras kemarin sepulang dari toko terus mengurung diri di kamar, dia tahu pasti ada yang membebaninya.
Hingga dia mengirim pesan kepada karyawan toko Laras yang merupakan kenalannya dan benar saja karyawan itu berkata bahwa istri Bimo mengirim pesan kepada Laras. Laras tak menceritakan seluruh pesannya, dia hanya bertanya apa yang harus dilakukan terhadap pesan itu yang membuat karyawannya segera menyuruh memblokir nomor istri Bimo dan tak meladeninya lagi yang bisa membuat Laras semakin tertekan.
“Ibu Leonita telah meninggal, setelah melahirkan,” ucap Midas tenang. Kedua orang tua Laras kembali saling tatap.
“Kami sejujurnya menyerahkan seluruhnya kepada Laras, karena dia yang akan menjalankan pernikahan ini. Bagaimana Laras?” tanya ayahnya. Laras menatap Midas, matanya menyiratkan kesungguhan dalam hal ini.
“Aku setuju untuk menikahinya Yah, lagi pula aku sangat menyayangi Leonita,” ucap Laras, mengalihkan pandangan ke orang tuanya yang tampak menerima keinginan sang putri. Ibu Laras sangat tahu bahwa Laras tipe wanita yang menyukai anak-anak, selama ini dia juga sangat menyayangi keponakannya, karena itu dia yakin apa yang Laras ucapkan adalah sebuah kebenaran. Karena itu mereka menerima lamaran Midas dan merencanakan pernikahan.
Meskipun mereka cukup terkejut karena Midas berkata ingin cepat menikahi Laras, mereka pun paham baik putrinya dan Midas sudah dewasa untuk tahu segala yang terbaik untuk mereka. Karenanya sebagai orang tua Laras, mereka menyerahkan semuanya kepada pasangan itu mereka hanya bisa mendukungnya saat ini.
***