Sudah hari ke tiga Leonita demam, Midas sudah memberinya obat penurun panas namun demamnya turun naik, dia pun membawa Leonita ke rumah sakit. Dian sang pengasuh Leonita memangku gadis kecil yang sangat lemah itu di kursi belakang.
Saat mobil telah sampai di parkiran rumah sakit, Leonita mendadak kejang. Membuat Midas sangat terkejut, meskipun sebagai seorang dokter yang mungkin sudah terbiasa melihat pasien kejang, namun ketika yang dihadapi adalan anak sendiri dia merasa sangat panik.
Digendong Leonita dan berlari cepat menuju ruang UGD, dokter segera memeriksanya dan Midas dihela oleh perawat agar tak mengganggu para dokter karena pria itu terus memegangi tangan putrinya sambil memanggil nama Leonita yang tak sadarkan diri.
Fariz, teman dekat Midas yang kebetulan berjaga di UGD mencoba semaksimal mungkin mengatasi kejang Leonita. Setelah Leonita melewati fase kejangnya, tubuhnya pun dipindahkan ke ruang rawat anak, sementara seorang perawat membawa sampel darahnya untuk di tes di laboratorium.
Dian menunggu di dalam kamar Leonita yang matanya masih terpejam, sementara Midas duduk di luar sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, hatinya terasa sangat hancur kini. Dia tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan? Ketika setiap malam Leonita selalu menyebut nama mama, dan berkata ingin ikut dengannya.
“Sudah, Leonita sudah baik-baik saja,” ucap Fariz, mengeluarkan tangan dari saku snellinya dan duduk disamping Midas, menepuk bahu pria itu yang tampak rapuh. Untuk pertama kalinya setelah kepergian istrinya, Midas memperlihatkan wajah itu lagi, wajah ketakutan dan pucat pasi, Fariz tahu yang dimiliki Midas kini hanya putrinya dan dia pasti tak mau kehilangan putri kecilnya itu.
“Aku takut banget Riz, bagaimana bisa dia kejang seperti itu, demamnya tak terlalu tinggi tadi,” ucap Midas yang memang sudah memastikan suhu tubuhnya.
“Dia harus bertemu psikolog anak Das, dia harus mendapat penanganan, di usianya yang sekecil itu dia merasa tertekan, jika aku menelaah dari pembicaraan kita tadi siang,” ucap Fariz mengingat perbincangannya dengan Midas, lelaki itu menceritakan semuanya termasuk tentang Laras, Fariz pernah melihat Laras di acara ulang tahun Leonita karena putrinya pun hanya beda satu tahun dengan Leonita yang tentu diundang di acara ulang tahun Leonita.
“Atau ... .” Fariz menggantung kalimatnya, “Panggil Laras, Leonita sangat membutuhkannya saat ini, aku yakin Laras mengerti,” sambung Fariz. Midas menoleh ke arah Fariz dan menggeleng.
“Aku tak mungkin melibatkannya lagi, dia hanya orang asing dalam kehidupan kami,” ucap Midas.
“Lalu kamu tega membiarkan Leonita meratapi nasibnya seperti itu? Berbahaya bagi psikologisnya,” ucap Fariz. Hingga Dian keluar dari kamar dan menghampiri mereka dengan wajah panik.
“Pak Midas, Leon ... Leon terus mengigau,” ucap Dian, Midas segera beranjak diikuti oleh Fariz, bibir mungil Leonita tampak bergetar namun matanya masih terpejam.
“Leon, ini papa sayang, Leon, bangun, Nak,” panggil Midas, Leon terus menggumam dengan suara yang tak jelas.
“Ma-mama jemput Leon, Leon ikut mama ya,” ucap Leon, suaranya kini terdengar jelas membuat Midas meneteskan air mata. Dilepas pegangan tangan Leon, dia membalik tubuhnya dan menatap Fariz.
“Titip Leon, aku jemput Laras!” ucapnya sambil beranjak pergi, Fariz tahu hal yang sangat dibutuhkan Leonita saat ini adalah Laras, tak ada yang lain. Karena bagi Leonita, sosok Laras adalah ibunya.
Fariz menunggui Leonita di kamar itu, gadis mungil itu kembali tertidur meski sesekali mulutnya menggumam kata-kata yang tak jelas, hingga perawat datang membawakannya hasil laboratorium dan Fariz menggeleng melihat hasilnya, kondisi Leonita memang tak baik-baik saja.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ketika Midas memarkirkan mobilnya depan toko kue Laras. Toko itu telah tutup, Midas menyandarkan tubuhnya di badan mobil dan membuka ponselnya.
Memutuskan menelepon nomor Laras, setelah dering ke tiga panggilannya pun di terima Laras.
“Halo?” sapa Laras dari seberang telepon.
“Ras, ini Midas,” ujar Midas, dengan suara yang dibuat setenang mungkin.
“Mas Midas? Ada apa, Mas?” tanya Laras.
“Kamu dimana? Saya di depan toko kamu,” ucap Midas.
“Lho ada apa Mas? Saya dirumah, toko sudah tutup dari satu jam lalu,” ucap Laras.
“Bisa bertemu sekarang? Rumah kamu jauh dari toko?” tanya Midas lagi.
“Bisa, Mas. Nggak jauh kok, di dekat toko ada gang masuk perumahan, rumah saya di blok B,” ucap Laras.
“Baik, saya ke sana ya,” ucap Midas yang diiyakan oleh Laras.
Laras yang sudah mengganti pakaian dengan pakaian santai pun kembali mengganti pakaian lagi dengan lebih rapih, juga menyisir rambutnya karena dia yang tadi berbaring pasti membuat rambutnya berantakan.
Laras pun keluar dari kamarnya dimana kedua orang tuanya tampak duduk menonton televisi.
“Mau kemana, Ras?” tanya sang ibu memperhatikan putrinya yang sudah memakai sweater rajut dengan celana rapih.
“Mau bertemu teman, Bu,” ucap Laras, keluar dari rumahnya dan menunggu Midas di depan rumah.
Tak berapa lama, Laras melihat mobil Midas menuju ke arahnya, dia pun melambaikan tangan, Midas melihat Laras dan menghampirinya. Menghentikan mobilnya tepat di depan Laras lalu dia keluar dari mobil itu.
Laras bisa melihat wajah Midas yang tampak kusut, entah kelelahan atau ada sesuatu yang mengganggunya?
“Masuk dulu, Mas?” tawar Laras. Midas menggeleng.
“Saya buru-buru,” ucapnya.
“Ada apa?” tanya Laras karena Midas tampak sulit mengucapkan kata-katanya.
“Saya butuh bantuan kamu lagi,” ucap Midas tak enak hati.
“Bantuan apa?”
“Leonita masuk rumah sakit, dia selalu mencari mamanya, bisakah kamu ... berpura menjadi mamanya lagi? Kondisi tubuhnya sangat drop,” ucap Midas tak menyembunyikan raut sedihnya.
“Astaga, mengapa baru bicara sekarang? Baik saya ambil tas dulu ya,” ucap Laras yang menyiratkan rasa khawatir, Midas tak menyangka Laras akan dengan mudah menerima permintaannya, dia pikir Laras akan menolaknya. Namun sepertinya Laras memang wanita baik yang tak mungkin mengabaikan perasaan Leonita.
Laras keluar beberapa menit kemudian, membawa tas kecilnya dan menuju mobil Midas, membuka pintu mobil itu dan duduk disamping Midas. Midas segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit.
“Sejak kapan Leonita sakit, Mas?” tanya Laras.
“Sehari setelah ulang tahun, dia selalu menangisi mamanya, sampai dia demam dan tubuhnya drop,” jawab Midas dengan tak mengalihkan perhatian dari jalanan di hadapannya.
“Seharusnya Mas bilang ke saya, agar saya bisa menemaninya, dan perlahan memberi pengertian kepadanya,” ucap Laras terdengar getir. Mungkin firasat tak enaknya beberapa hari ini karena Leonita yang selalu memanggil mamanya, terlebih yang Leonita tahu mamanya adalah dia.
“Saya takut kamu terganggu dengan kehadiran kami,” balas Midas dengan suaranya yang pelan namun terdengar jelas di telinga Laras.
“Saya tak pernah terganggu Mas, justru saya senang jika bisa menghibur Leonita, dia gadis yang manis dan pintar,” ucap Laras, menoleh ke arah Midas yang kedapatan memperhatikannya namun dengan Segera Midas mengalihkan pandangannya ke arah jalanan lagi.
Hingga mobil yang dikendarainya sampai di pelataran rumah sakit, tempatnya biasa bekerja, tempat yang sama dimana putrinya terbaring lemah.
“Mas kerja disini?” tebak Laras. Memandang betapa megahnya bangunan rumah sakit di hadapannya, bahkan di lantai satu rumah sakit itu sudah dihuni food court yang jenis counternya cukup terkenal dan juga cafe untuk sekedar minum kopi.
“Iya, saya menghabiskan waktu lebih banyak di sini dibanding di rumah, mungkin itu yang membuat Leonita semakin kesepian,” ucap Midas terdengar sedih. Beberapa perawat yang berpapasan tampak menyapa Midas, lalu tersenyum hormat kepada Laras.
Midas membuka pintu rawat ruang anak yang dihuni oleh Leonita, gadis kecil itu berbaring di ranjang dengan mata yang terbuka, sepertinya Fariz sedang mengajaknya berbincang, bibir mungilnya tampak pucat dan matanya terlihat sayu.
“Leon,” panggil Midas, Leon menoleh dengan mata sayunya, jelas kentara bahwa dia sedang sakit. Lalu Laras yang berada di balik tubuh Midas pun menggeser tubuhnya sendiri untuk melihat Leonita seraya melambaikan tangan.
“Mama!!” panggil Leonita dengan suara kecilnya yang serak. Laras tak kuasa lagi menahan tangis, berjalan cepat menuju ranjang Leonita dan merengkuhnya dalam pelukan. Leonita terisak dalam pelukan Laras membuat Laras semakin sedih, eratnya tangan Leonita ketika memeluknya membuktikan bahwa gadis kecil itu pasti sangat merindukannya.
Fariz menepuk bahu Midas dan mengajaknya keluar dari ruang itu, ada yang ingin dia sampaikan kepada Midas mengenai putrinya.
Midas duduk di kursi tunggu depan ruang rawat putrinya, memperhatikan Fariz yang menyerahkan kertas hasil laboratorium putrinya.
“Putri kamu terkena Thypus, bagaimana bisa? Kamu tahu salah satu penyebabnya karena stres dan pola makannya yang tak teratur kan?” ucap Fariz, Midas memperhatikan secara seksama kertas berisi angka-angka itu, dia sangat tahu tentang itu semua.
“Dian bilang memang dia susah makan belakangan ini, dan ya seperti yang kamu tahu, dia terlalu memikirkan mamanya, itu yang membuat dia stres ku rasa,” ucap Midas.
“Kamu tahu? Tadi ketika dia bangun, dia terus melambai ke langit-langit kamar dan berkata ‘ikut ikut mama’ seolah mamanya ada disana mengajaknya pergi.”
“Kamu serius?” tanya Midas tak percaya.
“Ya, karena itu aku segera menggendongnya dan berbisik bahwa kamu sedang menjemput mamanya sehingga dia mulai tenang, dan mau sedikit makan,” ucap Fariz.
“Terima kasih Riz.”
“Jadi ayah yang bijak Das, nikahi Laras dan buatlah dia menjadi ibu untuk putri kamu,” saran Fariz.
“Tapi kami tak saling mencintai Riz, aku takut hanya akan menyakitinya nanti,” ucap Midas. Rasanya tak adil jika demi keluarganya dia harus mengorbankan orang lain yang tak bersalah.
“Cinta datang karena terbiasa, kamu sering dengar itu kan? Saat ini yang terpenting adalah Leonita, yakinkan Laras, dia wanita baik pasti dia akan menerima kamu karena mempertimbangkan Leonita,” ucapnya.
“Aku akan memikirkannya,” putus Midas kemudian.
“Ibu kamu sudah diberi tahu keadaan Leonita?” tanya Fariz.
“Sudah, besok pagi mungkin mama dan papa datang, mereka saat ini sedang di luar kota,” ucap Midas. Saat ini sang ibu menemani ayahnya yang dinas di luar kota sejak kemarin.
Sama seperti Midas, ayahnya pun merupakan dokter senior yang belum pensiun karena masa jabatannya terus di perpanjang, hanya saja dia dan ayahnya beda rumah sakit dalam bertugas. Ayahnya kini lebih sering menjadi pengajar dibanding berada di ruang bedah.
Fariz meninggalkan Midas karena harus kembali berjaga, sementara Midas sudah masuk ke ruang rawat putrinya. Melihat Laras yang ikut berbaring di ranjang itu sambil memeluk Leonita, ranjang itu mungkin tak nyaman untuk Laras karena ukurannya yang kecil, karenanya Midas membuka gorden conecting room yang digunakan untuk keluarga penunggu pasien.
Ranjangnya cukup besar disana karena berukuran Queen. Dia memastikan ranjang itu sudah bersih dan menghampiri Laras yang menepuk pelan paha putrinya seolah anaknya sendiri. Mata Laras tampak sembab karena menangis membuat Midas menunduk sedih.
“Ras,” panggil Midas.
“Ya, Mas?”
“Pindah kesana ya,” ucap Midas menunjuk tempat tidur yang berada di sisi lain ruangan itu.
“Tapi Leonita nggak mau lepas, Mas. Kasihan jika dia terbangun dan saya nggak ada disampingnya,” ucap Laras setengah berbisik, khawatir Leonita terbangun karena suaranya.
“Saya akan pindahkan dia juga,” ucap Midas. Laras pun mengangguk dan menggeser pelan kepala Leonita yang menjadikan lengannya sebagai bantal. Terdengar suara Leonita bergumam seolah tak ingin Laras pergi. Hingga Midas menggendongnya dan Laras memegangi botol infus gadis kecil itu. Midas meletakkan Leonita di tempat tidur besar, lalu dia kembali mengambil tiang botol infus, menggantung botol itu kembali di tiangnya.
“Kamu istirahat ya, bolehkan jika saya meminta kamu menginap malam ini saja untuk menemaninya?” tanya Midas.
“Tak hanya malam ini Mas, saya akan menemaninya sampai dia keluar dari rumah sakit, bahkan jika bisa sampai kondisinya pulih total,” jawab Laras tulus.
“Maafkan saya ya Ras, karena saya kamu jadi repot seperti ini,” ucap Midas tak enak hati.
“Saya tak keberatan sama sekali, Mas. Lagi pula saya sepertinya mulai menyayangi Leonita,” tutur Laras sembari mengusap kepala putri kecil yang baru dikenalnya itu.
“Terima kasih ya, Ras,” ucap Midas kemudian yang diangguki Laras, lalu Laras berbaring miring meletakkan tangannya diatas paha Leonita dan menepuknya pelan jika Leonita bergerak untuk menenangkannya.
Midas pun menutup setengah gorden itu agar tak terlalu silau dan membiarkan Laras istirahat bersama Leonita, dia juga menyuruh Dian untuk pulang kerumah dan istirahat setelah memesankan taksi online, terlebih sudah ada Laras disini.
Midas berbaring di sofa panjang sambil menutup mata dengan lengannya, bayangan wajah Anita seolah menari-nari dalam ingatannya, tersenyum kepadanya dan melambaikan tangan membuat Midas merasa sesak dan loloslah air matanya. Sungguh sampai kini pun dia tak pernah bisa melupakan rasa cintanya terhadap wanita itu, entah sampai kapan dia akan berkutat pada rasa kehilangannya seperti ini?
***