“Bunga adalah bahasa rasa yang tak dapat kugambarkan lewat kata-kata. Cinta seluas jagad samudera, Tuhan tahu yang ku rasa. Kaulah segalanya.”
Asama Terindah - Ungu Band
***
Davi memarkirkan mobilnya tepat di pelataran kostan Naya kemudian mendekati Sasty yang sedang bermain ponsel.
"Naya ada?" tanyanya to the point.
Sasty yang baru menyadari kehadiran cowok yang beberapa saat lalu ia perbincangkan dengan Naya pun sontak tertegun. "Eh? A-ada, Kak. Di dapur. Lagi nyiapin makanan," ucap Sasty jujur setengah gugup.
Davi hanya mengangguk lalu dengan seenak jidatnya masuk ke dalam kostan Naya dan berjalan ke arah dapur.
Kosan Naya memang bukan lahan sepetak seperti biasanya. Melainkan sebuah rumah utuh yang terdiri dari ruang keluarga, ruang Tv, beberapa kamar, dan dapur. Kebetulan mahasiswa yang ngekost di sini hanyalah Naya dan dua orang kakak tingkatnya. Yang lain kebanyakan sudah bekerja.
Saat tiba di dapur, Davi melihat Naya yang sudah berada dalam kurungan cowok lain. Ubun-ubunnya langsung memanas 180 derajat.
"b*****t!" teriaknya. Ia langsung menghampiri cowo itu, menarik kerah belakangnya dan memaksanya untuk berdiri.
"Apa yang lo lakuin ke cewek gue? Hah?" Dan, bugh!!! Satu pukulan pun melayang tepat di rahang cowok tersebut, membuatnya kembali tersungkur.
Merasa tidak terima, cowok itu langsung bangkit dan balik menyerang Davi.
"Apa-apaan, lo?" sulut Davi tak terima.
"Lo yang apa-apaan! Datang-datang main pukul orang sembarangan! Lo gak tahu apa-apa bego!" sentak cowok itu yang semakin membuat emosi Davi memuncak.
Naya yang menyaksikan perkelahian kedua cowok di depan matanya, benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa. Raut wajahnya panik, namun otaknya seolah tidak bisa memikirkan apapun.
Davi langsung menarik kerah kemeja cowok tersebut. Matanya benar-benar dipenuhi bara kemarahan. "Naya cewek gue b*****t! Lo mau ngapain cewek gue, hah?"
Satu pukulan lagi mendarat di perut cowok itu. Membuatnya mundur beberapa langkah dan membentur tembok. Davi menghmpirinya berniat untuk menghabisinya.
Namun tiba-tiba Naya menghampirinya dan memeluk Davi seerat yang ia bisa. "Udah Dav, udah! Gue mohon berhenti." Naya mendongakkan kepalanya menatap Davi. Menatap mata hitam nan legam yang kini juga sedang menatapnya. "Davi yang gue kenal nggak begini," lirihnya sambil menitikan air mata. "Berhenti, ya? Gue takut," katanya lagi.
Melihat itu, hati Davi sedikit melunak. Napasnya yang sedari tadi memburu pun mulai terdengar normal. Kabut kemarahan yang begitu tebal, perlahan mulai sirna dari matanya.
Davi memengang pucuk kepala Naya dan mengusapnya pelan. "Ok." Yang kemudian dibalas senyum penuh kelegaan oleh Naya.
Davi beralih menatap cowok itu. "Kalau sampe gue denger lo ngapa-ngapain cewek gue? Gue nggak akan segan-segan abisin lo! Paham?"
"Terserah apa kata lo!" katanya dengan tak acuh.
Naya melepaskan pelukannya. "Udah-udah. Lagian ini cuman salah paham aja. Mending sekarang obatin luka kalian," ujar Naya kemudian.
"Sast? Sasty!" teriak Naya di ujung pintu dapur. Tak berapa lama cewek itupun menghampiri Naya.
"Kenap—Masya Allah ini mereka berdua mukanya kenapa pada bonyok gini, Nay?" tanya Sasty yang kaget melihat Sam dan Davi.
"Ceritanya panjang. Mendingan lo bawa Sam ke ruang tamu, ya. Terus lo kompresin lukanya."
Dengan cepat Sasty mengangguk. Ia menarik lengan Sam kemudian membawanya ke ruang tamu.
Naya berjalan ke tempat penjemuran handuk dan meraih handuk kecil. Ia kemudian mengambil wadah dan menuangkan air hangat secukupnya.
Sasty kembali dan menghampiri Naya. "Handuknya di mana, Nay?"
"Kayaknya ada satu di laci atas, deh. Coba lo periksa di situ," tunjuk Naya pada salah satu laci.
Setelah mendapatkan handuk dan air hangat, Sasty segera berlalu ke ruang tamu.
Naya menghampiri Davi yang sedang bersandar di ujung meja dapur. Ia meraih wajah cowok itu dan perlahan mulai membersihkan darah yang mengalir dari sudut bibirnya. "Ah ... pelan-pelan, Nay. Perih," keluhnya.
"Ini juga udah pelan-pelan, Dav. Tahan dikit napa!"
"Udah beres," ujar Naya kemudian. Ia menyimpan handuk itu ke wadah yang berisi air.
"Jadi dia cowok yang namanya Sam?" tanya Davi tiba-tiba.
"Iya."
"Lo nggak di apa-apain kan sama dia?"
Naya menggeleng. "Kejadiannya nggak kayak yang lo kira, Dav."
"Jadi?"
"Tadi gue niatnya mau ngambil nampan yang ada di atas lemari. Tapi nggak sampe. Sekalinya bisa eh barang-barang yang di bawahnya ikutan gerak terus jatoh. Nah Sam nolongin gue terus ya gitu, elo tiba-tiba datang dan nyerang dia," papar Naya.
"Udah cuman gitu aja?"
"Ck! Iya Dav! Ih tau ah!" Naya jadi kesal sendiri.
"Iya-iya gue percaya." Davi mencubit kedua pipi Naya gemas. Sepertinya hal itu akan menjadi kebiasaan favorit Davi mulai sekarang.
"Ih kebiasaan banget, deh! Ya udah yuk ke depan. Nggak enak sama Sasty sama Sam," ujar Naya. Davi hanya mengangguk. Mengikuti langkah Naya ke arah ruang tamu.
Melihat kedatangan Davi, Sam langsung memalingkan mukanya. Sedangkan Davi, cowok itu hanya memutar bola matanya malas dan duduk di sampingnya.
Kecanggungan terasa mendominasi ruangan. Naya melirik ke arah Sasty, cewek itu hanya menaikkan kedua bahunya tanda ia juga gak tahu mesti gimana.
"Dav, minta maaf," bisik Naya kemudian.
"Apa?"
"Minta maaf sama Sam. Dia nggak salah."
"Tapi Nay—" Davi tidak melanjutkan ucapannya saat melihat mata Naya yang menatapnya tajam.
Davi menghela napasnya. "Ok fine ...."
"Sam, gue minta maaf," ujar Davi sambil mengulurkan tangannya. Sam menoleh dan menatap Davi sesaat. Terlihat jelas dari tatapan matanya jika kedua cowok itu sebenarnya saling ogah-ogahan.
"Gue maafin." Sam menjabat tangan Davi tanpa minat. Kemudian ia bangkit dari duduknya. "Nay gue balik duluan, ya."
Naya ingin protes. Ia benar-benar merasa tidak enak pada Sam. Tapi kemudian memilih untuk mengangguk. "Hati-hati, ya. Sorry—"
"Nggak papa," jawab Sam cepat. Ia melirik Sasty. "Mau pulang bareng gue, gak?"
"He'eh, boleh. Udah sore juga." Sasty bangkit dari duduknya. "Nay gue balik, ya."
"Iya. Hati-hati ya Sast." Cewek itu mengangguk. Lalu keduanya pun berjalan ke luar rumah kosan Naya. Dan tak berapa lama, suara motor Sam pun melesat menjauh.
"Tumben ke sini nggak ngabarin dulu," ujar Naya duduk di tempatnya.
"Harus?"
"Harus, lah! Kalau lo ke sini gue nggak ada kan percuma."
"Iya, sih. Tadi gue niatnya mau ngajak lo ke gramedia. Ada buku yang mau gue beli. Kan lo suka baca n****+, kali aja ada yang pengen lo beli juga," ujarnya mengutarakan maksud dan tujuan.
"Yuk?" ajak Naya sumringah kalau sudah berhubungan dengan n****+.
"Gak ah! Males! Bad mood!"
"Ish kok gitu sih?" Naya memayunkan bibirnya kesal.
"Cium dulu," ujar Davi sambil menepuk-nepuk pipinya.
"Apa?"
"Cium." Davi mengulang kalimatnya.
"Apaan, sih? Nggak ada cium-ciuman, ya! Atau lo mau gue tabok pake sepatu hak gue?" ketus Naya.
Davi terkekeh. "Idih ... segala sepatu Hak. Bercanda elah. Yuk berangkat."
"Katanya tadi bad mood!"
"Nggak ada ajakan ulang lho, Nay."
Naya berdecak. Ikut bangkit dari posisinya. "Ya udah bentar. Mau ganti baju sama ambil tas dulu," ucap Naya sambil ngeluyur ke kamarnya.
Sekitar 10 menit, Naya keluar dari kamarnya dan menghampiri Davi.
"Udah?" tanya Davi.
"Udah. Yuk?"
Davi mengangguk. Keduanya pun berjalan ke luar dan menghampiri mobil Davi.
Sekitar 20 menit, Naya sampai di kosan Davi. Hari ini jadwal Davi sangat padat dari pagi hingga sore. Kemarin malam-Setelah mengantarkannya pulang dari Gramedia, Naya berniat meminjam buku-buku saat Davi masih semester satu tapi karena jadwal kuliah yang padat, akhirnya Davi memberikan kunci kosan cadangannya. Bermaksud agar Naya yang mengambil sendiri.
Kostan Davi lebih mirip seperti rusun yang terdiri dari tiga tingkat. Tingkat paling dasar digunakan sebagai basement dan tingkat kedua serta ketiga sebagai kosan.
Naya menyusuri tingkat lantai tiga dan mencari nomor urut kosan Davi. Setelah menemukannya, ia langsung membuka pintu tersebut dan betapa takjubnya Naya saat melihat ruangan yang tertata begitu rapi. Biasanya kamar cowok pasti nggak jauh dari yang namanya berantakan tapi sepertinya kamar Davi pengecualian.
Semua barang tersimpan rapi di tempatnya. Bahkan, ruangan tersebut terlihat begitu nyaman. Apalagi perpaduan cat serta benda-benda yang di d******i oleh warna putih dan hitam terasa begitu tepat mewakili sosok seorang Davino.
Mata Naya tertuju pada jejeran rak yang di penuhi oleh buku-buku yang kesemuanya hampir non fiksi. Senyum Naya mengembang ketika membaca keterangan yang di tempel di setiap kotak rak buku tersebut.
Semester 1, 2, 3, 4, 5. Naya membaca keterangan tersebut dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar tidak menyangka dengan apa yang di lihatnya. Karena biasanya cowok kebanyakan pasti tidak akan melakukan hal yang demikian.
Naya beralih pada foto yang ada di samping atas rak buku. Senyumnya semakin mengembang kala melihat semua fotonya tertera di sana. Kebanyakan adalah fotonya ketika menggunakan seragam putih abu dan candid.
Di dekat jendela, terdapat meja belajar dan komputer serta beberapa tumpulan buku. Naya mengambil sebuah figura dan kembali tersenyum. Itu adalah foto dirinya dengan Davi saat SMA dulu. Foto berdua pertamanya yang iseng-iseng diambil oleh Reno.
Naya merasa kamar Davi seperti zona nostalgia tersendiri untuknya. Ia seolah kembali ke masa SMA dan semua kenangan yang pernah tercipta bersama Davi tentunya. Naya tidak pernah menyangka jika cowok itu masih menjadikannya prioritas selama ini. Setidaknya dua tahun terakhir. Padahal jika cowok lain, mungkin akan memilih untuk berhenti berharap dan mencari cewek pengganti.
Tiba-tiba, sebuah ketukan pintu kamar terdengar dan membuyarkan lamunan Naya. Ia meletakkan kembali bingkai fotonya dan berjalan ke arah pintu.
Saat membuka pintu, Naya sontak mengerutkan kening saat melihat cewek di depannya. Sedangkan cewek itu terkejut karena bukan Davi yang muncul.
"Lho? Naya? Lo kok ada di sini, sih? Kak Davi mana?" tanyanya sambil menjulurkam lehernya panjang-panjang, menengok ke dalam ruangan kosan Davi.
"Nggak ada. Udah berangkat kuliah," jawab Naya enteng.
"Yah, tahu gitu ntar aja di kampus langsung," gumanya pelan.
"By the way, lo pasti sepupunya kak Davi, ya? Eh? Atau malah adiknya? Lo kok nggak pernah bilang sama gue sih, Nay? Tau gitu kan gue bisa tanya-tanya soal kak Davi sama lo," katanya dengan antusias. Sama sekali tidak berpikir jika Naya adalah pacar Davi.
Belum sempat Naya menjawab, cewek itu sudah kembali berbicara. "Kalau gitu, gue titip ini, ya." Ia meraih lengan Naya dan menyerahkan paper bag yang di bawanya pada Naya. "Tolong kasihin ke kak Davi. Gue buru-buru ada urusan. Bye Nay ...." Cewek itu pun langsung ngeluyur pergi tanpa menunggu jawaban Naya terlebih dahulu.
Naya menghela napasnya pelan lalu kembali masuk ke dalam kosan. Ia meletakkan paper bag tersebut di atas meja belajar. Tidak berniat untuk melihat isinya sama sekali dan lebih memilih mengambil buku sebagai referensi untuk mengerjakan tugas seperti niat awalnya.
Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, Naya mulai tidak konsen mengerjakan tugasnya. Pikirannya tertuju pada paper bag yang sedari tadi terlihat begitu menggoda di atas meja. Seolah meminta untuk di buka isinya.
Akhirnya, Naya menyerah. Ia meraih paper bag itu dan melihat isinya. Ternyata sebuah coklat dari brand ternama lengkap dengan secarik kertas yang tertempel di atasnya. Naya mencopot kertas itu dan membukanya. Ternyata sebuah note yang bertuliskan :
Aku nggak akan nyerah buat dapetin hati kak Davi. Aku jamin pada akhirnya nanti, aku pasti bisa luluhin hati kak Davi dan bikin kak Davi jatuh cinta sama aku.
Tertanda,
Gwen.
Naya terkekeh lalu menuliskan sesuatu di bagian kosong kertas itu. "Lo pikir cowok gue bisa luluh cuman sama sekotak coklat doang? Mimpi lo Gwen," katanya pelan.
Ia memperhatikan kotak coklat tersebut beberapa saat. "Davi kan nggak suka coklat. Ah, daripada mubajir mending gue makan aja kali ya? Kan lumayan sambil ngerjain tugas," ujar Naya dengan senyum mengembang. Ia membuang kertas itu sembarangan dan membuka kotak coklat itu.
"Sorry ya Gwen coklatnya gue yang makan," ujar Naya santai kemudian melahap coklat tersebut.
Davi sampai di kosannya sekitar pukul tiga sore. Seharusnya hari ini mata kuliahnya full tapi karena ada rapat dosen, ia bisa pulang lebih cepat. Saat meraih handle, ternyata pintu itu tidak terkunci. Pikiran Davi seketika tertuju pada Naya dan ia bisa bernapas lega. Setidaknya itu pertanda jika gadis itu masih berada di kostannya. Sejak siang tadi, Davi berusaha menghubungi Naya namun tidak ada jawaban. Itu membuatnya panik dan sedikit tidak konsen selama mata kuliah berlangsung.
Davi memasuki kamarnya dan seketika senyumnya mengembang melihat Naya yang sedang tertidur di kasurnya. Ia menghampiri Naya, tangannya refleks terulur mengelus lembut rambut Naya. Pandangannya kemudian beralih pada kotak coklat kosong yang tergeletak tak berdaya di bawah kasurnya. Ia meraih kotak itu tapi, tak jauh dari kotak tersebut, ada sebuah kertas kecil yang menarik perhatiannya. Davi mengambil kertas itu kemudian membaliknya.
Lo pikir cowok gue bisa luluh cuman sama sekotak coklat doang? Mimpi lo Gwen!
Seketika, Davi tersenyum geli membaca tulisan tangan yang ia yakini sudah pasti itu adalah tulisan Naya. Ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya saat menyadari jika coklat yang diberikan untuknya di lahap habis tak tersisa oleh Naya.
Davi membereskan kotak coklat itu, memasukannya kembali ke dalam paper bag lalu kembali menghampiri Naya. Mengelus rambutnya pelan sebelum kemudian berjalan ke arah lemari, mengambil baju dan berlalu menuju kamar mandi.
Sekitar 30 menit, Davi keluar dari kamar mandi sudah menggunakan pakaian santai. Ia meraih gitar kemudian berjalan ke luar kostan. Duduk di kursi dan mulai memainkan gitarnya.
Naya mengerjapkan matanya perlahan, sesaat ia sadar jika dirinya masih berada di kamar Davi dan ketiduran. Sayup-sayup, ia mendengar seseorang bersenandung sambil memainkan gitar. Suaranya yang tak asing membuat Naya turun dari ranjang dan berjalan ke luar kostan.
"Lho? Lo udah pulang?" tanya Naya sambil mengucek-ngucek matanya saat melihat Davi yang sedang asyik memainkan gitar.
Davi tersenyum. "Eh tuan putri udah bangun. Gimana tidurnya? Nyenyak?"
Naya mengangguk mengiyakan.
Bersamaan dengan itu suara adzan ashar berkumandang. Davi menaruh gitar dan berdiri dari posisinya.
"Udah adzan. Sholat ashar bareng-bareng, yuk? Gue imamin," katanya.
"Eh? Tapi gue nggak bawa mukena."
"Gampang. Nanti gue pinjem ke temen gue di bawah," ujar Davi.
Naya tersenyum. "Ok."
"Ya udah lo cuci muka sama wudhu duluan gih. Gue mau ke lantai bawah,"
Naya mengangguk lalu kembali memasuki ruangan. Sedangkan Davi melangkah menuju lantai dasar untuk meminjam mukena.