HAMIL?! : Part 1

2177 Words
Suara heboh dari ruang keluarga makin membuat Icha jengkel. Wanita itu berulang kali berpindah-pindah gaya tidur tapi tak kunjung dapat tertidur lantaran suara berisik itu. Ferril sesekali berteriak diikuti Fadlan yang tak kalah heboh. Rasanya Icha ingin sekali memecahkan sesuatu biar gaduh sekalian. Tapi rasanya percuma. Percuma ketika suami dan dua anak laki-lakinya sudah menonton bola, maka ia akan terlupakan. Jadi, dari pada tak bisa tidur lebih lama sementara ia harus ke kampus besok, ia memilih beranjak dari tempat tidur kemudian melangkah keluar. Bukan untuk memperingati tiga laki-laki itu agar diam melainkan berpindah ke kamar anak gadisnya--Farras. Gadis itu setengah sadar ketika membukakan pintu untuk Bundanya. Lalu jatuh tertidur lagi sementara Icha menggeleng melihat kelakuan anak gadisnya yang gampang terjaga itu. Kemudian ia mengunci pintu kamar dan ikut berbaring di samping anaknya. Ia amati wajah gadis itu dengan seksama. Rasanya baru kemarin melahirkannya tapi kini gadis itu mulai beranjak dewasa. Mulutnya memang suka menyolot dari kecil bahkan sampai kini namun banyak hal yang berubah yang Icha sadari. Gadis ini semakin bisa mengontrol diri walau terkadang masih kebablasan juga. Ia semakin cantik walau sikap bebalnya sering membuat Fadlan kewalahan karena teringat keonaran Aisha dulu. "Bunda....," gadis itu terbangun ketika merasakan ada tangan halus yang mengelus-elus keningnya. Ia mengernyit sementara Icha hanya tersenyum menatap. "Tidur," bisik wanita itu lembut. Membuatnya meringkuk mendekat dan memeluk Bundanya dengan erat. Wanita itu terkekeh. Ah....rasanya bisa dihitung kapan terakhir ia tidur dengan gadis ini. Karena biasanya jika Fadlan tak pulang semalaman, Ferril yang dengan senang hati menawarkan diri menemaninya tidur. Bocah lelaki itu memang manja padanya. Tak malu pula diejek anak manja. Tak perduli juga. Bocah itu memang saingan berat Fadlan jika sudah berlomba mencari perhatiannya. Ia tak mau kalah. Sementara suasana euforia kemenangan mulai menyusut. Farrel hanya menelan kekecewaannya karena timnya kalah sementara tim Papanya dan Ferril memenangkan pertandingan. Ketiganya segera bangkit dari hamparan tikar yang terpasang di lantai itu. Fadlan dan Ferril bertoss ria lalu terkikik melihat wajah datar Farrel yang sebenarnya sedang jengkel. Membuat Fadlan merangkul lelaki itu dan juga Ferril saat menaiki tangga. Kemudian berpisah di depan kamarnya. Ia masuk tanpa memerhatikan tempat tidur yang sudah kosong. Ia malah langsung berjalan ke kamar mandi untuk menggosok gigi, mencuci muka dan mengambil wudhu. Baru setelah keluar ia sadar akan kekosongan kamarnya. Lelaki itu menarik nafas. Tahu kemana istrinya menghilang. Awalnya ia pasrah saja. Berbaring di tempat tidur yang luas itu. Namun malah semakin tak bisa tidur. Tak ada bantal guling hidup yang bisa ia peluk atau sekedar ia ganggu dalam tidurnya. Ia menghela nafas kemudian terkekeh sendiri. Heran. Padahal jika ia lembur di rumah sakit, ia akan mudah tidur. Tapi jika sudah sampai di rumah ini, selelah apapun ia, ia tak kan bisa tidur jika tak ada istrinya. Akhirnya, ia memilih untuk beranjak kemudian mengetuk kamar Farras sambil memanggil-manggil istrinya. Namun tak ada jawaban. Ia ketuk lagi. Hingga beberapa kali dan akhirnya pintu itu terbuka dengan wajah jengkel milik anak gadisnya yang menguap. Ia terkekeh. Gadis ini memang selalu terjaga jika tidur. Berisik sedikit saja, ia akan bangun. Maka, karena tak ingin membuat Farras mengomel karenanya, ia segera berjalan menuju istrinya yang sudah pulas. Ia menoel-noel wanita itu tapi tak kunjung terbangun. "Bunda biar tidur sama Farras aja. Papa tidur sendiri aja gih," ucap gadis itu ditengah mengantuknya. Fadlan menyentil dahinya hingga membuat gadis itu mengaduh. Icha langsung terbangun. Matanya menyipit lalu membuka lebar dan ketika dijumpainya, ada wajah suaminya yang sedang cengengesan. "Tidur di kamar, yang." Titah lelaki itu. "Tidur aja sana sama bola!" Ketus wanita itu lalu kembali memejamkan mata sambil memeluk anak gadisnya dengan erat. Farras yang belum benar-benar tertidur, terkekeh puas. Fadlan mendengus jengkel. Lalu dengan gerakan cepat ia menggelitiki wanita itu hingga membuatnya terkikik geli. Kemudian menggendongnya dengan cepat menuju kamar mereka. Farras yang melihat kelakuan Papanya menggerutu saat mengunci pintu kamar. "Noraaaaak!" Soraknya lalu lompat ke tempat tidur. Fadlan ngos-ngosan namun lelaki itu masih tertawa. Istrinya ia lempar begitu saja ke tempat tidur. Kemudian ia menyusul masih dengan kekehan yang tak lepas. Wanita itu menampar lengannya lalu memunggunginya. Ia terkekeh. "Halaaah. Bilang aja suka!" Sentilnya lalu memeluk wanita itu dari belakang. Sorakannya mendapat sikutan di perut oleh Icha. Ia terkekeh. "I love you, yang!" Ucapnya yang membuat wanita itu terkekeh kecil. @@@ Gak usah pulang! Regan yang sedang melintas di belakang Fadli terbahak saat tak sengaja membaca sekilas pesan dari Caca. Lelaki itu menggelengkan kepala lalu menepuk bahu Fadli sebelum keluar dari ruang kerja lelaki itu. Fadli mengusap wajahnya. Ia tahu wanita itu marah karena dua hari ini ia belum sempat pulang ke rumah. Ia baru saja tiba di Jakarta magrib tadi setelah kembali dari Surabaya. Lalu kini ia memang tak berniat pulang karena harus membaca laporan untuk meeting esok pagi yang sudah terjadwal jam tujuh. Sementara kini sudah menunjukan pukul dua malam. Jika ia pulang, ia khawatir pekerjaannya akan terbengkalai jika sudah melihat istrinya. Wanita itu masih seksi masalahnya. Ia khawatir jika..... Ponselnya berdering. Khayalannya yang mulai nakal terputus. Ia terkekeh sendiri. Namun ia mengernyit ketika menjumpai nomor Fasha. Anaknya yang satu itu sangat jarang menghubunginya kecuali jika sesuatu yang penting. "Kenapa, Sha?" "Ibu muntah-muntah. Badannya panas. Fasha bi--" Belum selesai gadis itu berbicara, Fadli langsung melompat dari kursi. Rasa khawatir menjalar ke sekujur tubuhnya. Hingga satu-satunya yang terpikir adalah segera pulang. Sementara Fasha mendengus di seberang sana. Rain menoleh padanya dengan wajah panik. Gadis itu mengelus-elus tengkuk ibunya. Wajah wanita itu semakin pucat dan beberapa detik kemudian ambruk. Membuat Rain panik hingga berteriak. Fasha langsung melompat dan berupaya mengangkat tubuh wanita itu. Susah payah mereka berdua mengangkatnya hingga ke tempat tidur. Fasha menyuruh Rain menelepon tantenya atau omnya. Tapi ia tahu, jika rumah mereka ini cukup jauh dari rumah tante atau omnya. Jadi sambil menunggu bantuan, Fasha berinisiatif mengambil minyak kayu putih kemudian ia gosok-gosokan di leher hingga ke d**a ibunya. Sementara Rain tak bisa diam. Kaki gadis itu menggetuk lantai lalu ber-aaarrrggh ria ketika teleponnya tak diangkat satu pun. Tak omnya--Fadlan--atau tantenya--Aisha. Ia mendesah dan semakin panik. "Coba telpon ayah lagi!" Fasha memerintah. Belum juga bicara, suara ayahnya sudah menyambar. "Ayah di jalan, Rain. Di jalan!" Ia mendesah lega. Karena bantuan akan segera datang meski cukup lama. Karena baru setengah jam kemudian, ayah mereka sampai dengan peluh di sekujur tubuh. Rasanya lelaki itu baru saja menerima pesan ancaman dari istrinya. Tapi ia tak menyangka jika keadaan wanita itu cukup mengkhawatirkan. Tubuhnya amat panas dengan beberapa peluh di dahi. Ia langsung menggendong wanita itu. Membawanya menuju mobil sementara Fasha langsung menyiapkan baju ibunya. Sedangkan Rain mengintili ayahnya. "Rain sama kakak aja. Jaga rumah." Titah lelaki itu saat Rain ingin ikut masuk ke mobil. Gadis itu mencebik. Membiarkan ayahnya berlalu begitu saja. Tak lama kemudian Fasha muncul dengan ngos-ngosan dan tas di tangan. "Ayah mana?" "Noh! Udah jalan!" Gadis itu menjawab bete. Fasha sudah menduganya. Maka untuk rencana cadangan ia sudah menyiapkannya dengan matang. Sedari awal, ia memang ingin meminta tolong lelaki yang kini datang dengan wajah mengantuk dari depan rumahnya. Ia terkekeh saat melihat tampang tak ikhlas itu datang dengan mobilnya. "Mau kemana sih?" Lelaki itu bertanya ketus. Sementara ia meneriaki Rain. Lalu kembali fokus pada lelaki itu. "Ke rumah sakit. Anterin ya?" Mata Adit langsung melebar. "Tante masih sakit?" Tanyanya yang dibalas anggukan oleh Fasha. Lelaki itu keluar dengan cekatan dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah lalu suara gaduh terdengar karena lelaki itu menabrak Rain di depan mata. Fasha terkikik lalu menarik lengan lelaki itu menuju mobil. "Barusan Ayah bawa Ibu ke rumah sakit. Gue sama Rain mau nyusul. Lo anterin ya?" Tanpa tendeng aling, Adit mengiyakan sambil mengelus jidatnya yang kepentok kepala Rain. @@@ "Mi!" Aidan--bocah enam tahun itu--turun dari tangga. Matanya menyimpan tanya. Airin yang sedang menyusun piring di atas meja makan menjawab dengan lembut. Sementara Akib fokus dengan ipadnya. Agha muncul dengan seragam dan tasnya dari dapur setelah membuat susunya sendiri. Ali, Adrian dan Adshilla masih pulas di tempat tidur. Sementara Adelina terus mengekeh di gendongan wanita itu. Entah karena apa, Airin juga tak tahu. "Di sekolah Aidan ada bu guru yang perutnya gede kayak Umi!" Aidan mulai bercerita saat pantatnya resmi mendarat di kursi makan. "Maksudnya sebelum dedek Adel keluar, Umi!" Ia meralat ucapannya saat menyadari sensitifitas ibunya yang agak tinggi terkait perut yang kini masih agak membuncit pasca melahirkan Adelina lima bulan lalu. Diam-diam bocah itu menyimpan kekehannya. "Terus?" Airin bertanya sambil menaruh nasi di atas piringnya. "Nanti keluar dedek juga ya, Umi?" Tanyanya polos yang dibalas senyuman lembut Airin. Wanita itu semakin hari semakin keibuan. "Iya." Jawaban lembutnya membuat Akib menyimpan senyum. "Tapi kok bisa, Umi?" Aidan masih heran. Akib mengenyampingkan ipadnya--mulai tertarik akan celotehan Aidan. Lelaki itu mengambil gelas teh manisnya dengan mata tertuju pada bocah itu. Sementara Airin mengernyit. Tangannya kini berpindah ke piring Agha. Bocah itu mengangkat piringnya sementara Airin mengambil nasi untuknya. "Kok bisa ada dedek di dalam perut sih, Umi? Aidan dulu begitu juga ya, Mi?" Akib yang baru saja meneguk teh manisnya langsung berdeham-deham dengan sedikit teh yang muncrat ke meja makan. Sementara Aidan masih dengan ekspresi yang sama. Ekspresi keheranan menatap Airin yang kini tangannya melayang di udara. Nasi tak kunjung mendarat di piring Agha. Wanita itu membeku. "Mi! Aidan kan nanya!" Ia berseru. Mulai kesal karena Uminya mendadak kikuk sementara Akib mengusap-usap lehernya--salah tingkah. Mama Akib yang turut mendengar pertanyaan itu terkekeh kecil di dapur sana. "Ya sayang?" "Kok bisa ada dedek di perut sih Umi? Masuknya lewat mana sih?" Ia bertanya polos. Akib resmi memuncratkan tehnya dari mulut yang mengundang kekehan Airin. Lelaki itu berdeham-deham. Jahil, Airin melempar pertanyaan itu pada Akib. "Coba tanya Abi. Abi pasti tahu!" Lemparnya lalu terkekeh pelan. Ia berjalan cepat ke dapur--melarikan diri. "Abi!" Kini matanya beralih memohon pada Akib yang sibuk membersihkan kemejanya yang kena teh. Lelaki itu berdeham-deham lalu mengambil tasnya--bersiap pergi. "Nanti, Dan. Sekarang kita ke sekolah dulu. Sudah telat," alibinya yang membuat Airin disenggol oleh mertuanya. Dua wanita itu terkekeh di dapur. "Anak-anak sekarang makin kritis." Ucap wanita itu. "Jadi harus hati-hati memberikan jawaban." "Kan Aidan pengen tahu, Abi." Bocah itu mencebik sambil memakai tasnya kemudian melompat turun dari bangku usai makan. Akib menjaga wibawanya dengan berjalan sok cool. Meninggalkan kegelian di senyum Airin. Sementara Agha tak begitu menghiraukan kejanggalan yang terjadi karena ia memang tak mengerti. Mama yang sedari tadi geleng-geleng langsung menyusul Akib dan memelintir telinga lelaki itu hingga Akib mengaduh-aduh. Airin terkekeh diikuti dua anak lelakinya yang sudah terbahak. Sementara Adelina tak hanya terbahak tapi juga bertepuk heboh melihat telinga Abinya memerah sepagi ini. "Kalau cucu Mama nambah lagi tahun depan, Mama bawa Airin ke Solo biar kamu hidup sendiri ngurusin anak-anak!" Ancam wanita itu yang membuat Airin makin terkikik sementara Akib menggosok-gosok telinganya. "Rame dimarahin, sepi dimarahin!" Akib mencebik sambil menyalami wanita itu. Airin menggelengkan kepalanya lalu terkekeh lagi saat suaminya menerima getukan dari mertuanya. Lelaki itu mengadu padanya. "Lihat nih, Ai!" Unjuknya sambil menunjuk telinganya pada Airin. Wanita itu terkekeh lalu menyalaminya dan setelahnya ia terkekeh lagi saat telinga kiri Akib menjadi sasaran pelintiran Adelina. Mama ikut terkikik sementara Akib berpura-pura kesakitan. Mengundang tawa bayi itu. Lalu mengecup pipi bayi gembul itu dengan gemas. @@@ "Anak-anak udah berangkat?" Wira baru membuka matanya ketika bau parfum menusuk hidungnya. Matanya perlahan melebar menatap punggung istrinya yang sedang berias di depan cermin. Ia mengernyit. "Sha?" "Udah. Barusan berangkat." Jawabnya lalu mengoles lipstik di bibirnya. Wira bangkit dari tempat tidur hendak berjalan menuju kamar mandi. "Kamu mau ke rumah sakit?" "Enggak." "Terus?" Lelaki itu menghentikan langkahnya tepat di depan kamar mandi. Menatap istrinya yang kini sudah selesai berdandan. "Aku mau ikut pengajian bareng Fifa sama Kak Fahri juga." "Oooh," lelaki itu ber-oh ria lalu masuk ke kamar mandi. "Pengajiannya di masjid sini!" Ia berteriak jahil. "Oh. Ya udah. Hati-hati." Pesan lelaki itu yang membuatnya terkikik pelan. "Soalnya Kak Marshall yang isi. Kalo bukan dia, aku gak bakalan dateng deh." "Ehm...oh...," ia belum ngeh. Aisha mendengus. Triknya tak berhasil. Namun baru saja ia akan membuka pintu, seseorang terbirit-b***t keluar dari kamar mandi lalu menahan langkahnya. "Marshall? Marshall yang isi kata kamu?" Lelaki itu berang. Aisha menyimpan kegeliannya dalam-dalam. Ia boleh bertepuk tangan gak sepagi ini? Kini giliran ia yang memasang wajah datar. Berpura-pura tak tahu makna wajah mengeras milik suaminya. Lelaki itu memang akan kelabakan jika sudah berhadapan dengan Marshall. "Iya. Kan udah lama juga aku gak ketemu. Dia kan sibuk mulu, Wir." Entengnya sambil membuka pintu. Ia nyaris saja terbahak saat Wira melompat di depannya--menghadang jalannya. "Gak-gak. Aku gak kasih izin. Kamu di rumah aja. Sini!" Ujarnya lalu menarik tangan Aisha. Wanita itu diam-diam terkekeh geli. "Aku aja yang ngajarin kamu ngaji sama jelasin isi kitabnya. Kamu tunggu disini!" Titahnya lalu mengunci pintu kamar dan masuk ke dalam kamar mandi. Aisha terbahak ketika lelaki itu masuk ke kamar mandi. Kemudian ia mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi Fifa. "Gue gak jadi ikut. Lain kali aja." Pagi ini benar-benar menyenangkan untuknya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD