HAMIL?! : Part 2

1948 Words
"Masya Allah," Sara mengelus dadanya melihat kelakuan konyol anak gadisnya yang kini sedang digendong Ando saat menuruni tangga. Ann terbahak melihatnya sementara Ando masih mengatur nafasnya saat berhasil membawa kakaknya ke kursi makan. Ini gara-gara ia kalah taruhan bola semalam. Sementara Feri geleng-geleng kepala. Perawakan Ando memang besar. Walau bocah itu baru kelas tiga SMP tapi tingginya sudah sama dengan Farrel. Namun lebih kurus. Mungkin karena lelaki itu juga mengambil gen kakek dari sebelah Mommy-nya yang berperawakan besar. Bahkan banyak yang salah paham jika Ando adalah anak tertua Feri bukannya Tiara. Padahal jelas, rentang umur mereka cukup jauh yaitu sepuluh tahun. Tapi perawakan Tiara yang mirip almarhum ibunya, kecil dengan muka gembil dan padat itu membuatnya seperti adik Ando. Walau jelas, Tiara sama sekali tak mirip bocah lelaki itu kecuali bentuk bibirnya yang sama dengan Feri. Sementara Ann yang masih kelas satu SMP hampir menyusul tingginya yang hanya 155 cm itu. Gadis itu kelak akan tumbuh secantik mommy-nya dengan wajah arab yang lebih dominan ketimbang bule Jermannya. Ando juga tampan dengan alis yang amat tebal itu. Benar-benar seperti lelaki arab yang kebule-bulean. Bocah itu sering kali dibawa Tiara jalan-jalan. "Princess mau roti dengan selai blueberry!" Titahnya pada Ando yang dibalas dengusan. Ia terkekeh kecil saat melihat adiknya dengan ogah-ogahan mengambil roti dan mengoles selai untuknya. Sara terkekeh geli. Wanita itu segera mengambil roti untuk anak lelakinya. Sementara Feri mengenyampingkan korannya. Kini matanya sempurna tertuju pada Tiara yang sednag mengipasi wajah dengan tangannya--centil. "Jadi, gimana skripsi kamu, Ya?" Feri membuka percakapan. Tiara yang baru akan memasukan roti ke dalam mulutnya langsung terhenti--tak nafsu lagi. Apalagi saat daddy-nya bertanya skripsi di meja makan. "Daad...please! Ini meja makan!" Titahnya dengan angkuh lalu memasukan rotinya kembali. "Udah mau tujuh tahun kuliah, gak kelar-kelar." Feri menggerutu. Sara langsung memijit bahu lelaki itu agar berhenti menjejali Tiara dengan gerutuan-gerutuan yang hanya akan membuat gadis itu jengah dan semakin malas mengerjakan skripsinya. "Baru tujuh tahun kok, dad." Jawabannya membuat seisi rumah terbahak kecuali Feri yang mendengus jengkel dan ingin menjitaknya. @@@ Fadli melongo usai mendengar apa yang baru saja dokter wanita itu katakan. Kesadarannya mendadak hilang sejak berjam-jam lalu usai mengantar istrinya ke rumah sakit. Tak tahu harus berekspresi apa saat mendengar kabar itu. Sementara di luar sana, Fadlan yang turut mendengar kabar itu terbahak puas. Lelaki itu memasuki ruang rawat Caca lalu menepuk bahu Fadli dengan prihatin. "Ayah sih!" Rain mulai menyalahkan. Adit yang ada di sana sudah terkikik-kikik lalu keluar saat Fadli memelototinya. Ia memang tak pernah akur dengan lelaki itu. Sejak dulu, Fadli selalu mengklaim kalau anak gadisnya lebih peduli pada Adit dari pada padanya. "Dibilangin tobat m***m, masiiiiiih aja!" Rain jengkel. Ia menatap ibunya yang masih pulas. Selain kurang tidur, wanita itu juga agak stress karena Fadli tak kunjung pulang dua hari ini. Fasha hanya diam. Tak tahu harus berekspresi apa. Tapi yang jelas, punya Rain sebagai adik saja sudah cukup membuatnya gila. Apalagi jika bertambah satu? Haduh-haduh. Memikirkannya membuatnya pusing dan memilih keluar kemudian mengajak Adit ke kantin. Bolos sekolah untuk hari ini aja. Fadlan masih terbahak. Sesekali ia menggelengkan kepalanya saat berjalan menuju ruangannya. Sementara Mami dan Papi baru saja sampai saat ia tiba di ruangannya. Kedua orang tua itu panik ketika mendengar kabar bahwa menantunya masuk rumah sakit. Tapi yang didapati hanya Rain yang sedang memarahi Fadli. Lalu gadis itu mengadu pada Opanya yang kemudian membuat Papi terbahak puas. "Nih Opa! Rain punya adik lagi gara-gara Ayah!" Fadli mengaduh ketika Mami mencubit keras telinganya. Wanita itu memelototinya dengan tajam. "Udah Mami bilang kan? Jangan keseringan entar kebablasan." Ujar wanita itu--senewen. "Kasihan Caca kan! Usianya udah bukan usia hamil lagi, kamu malah hamilin!" Mami menggerutu. Fadli mengusap-usap telinganya dengan pasrah. Sementara Papi masih puas menertawainya. Ini seperti kejadiannya dulu saat istrinya positif hamil Airin. @@@ "Jadi ke kampus, Ya?" Suara lembut Sara muncul dari ruang tamu. Tak lama kemudian, tubuhnya turut tampak. Sementara Tiara sibuk memanasi mobil sembari mengecek jas pesanan Om-nya yang harus diantar sekarang. "Jadi, mom. Ntar daddy ngomel-ngomel lagi gara-gara Tiara gak lulus-lulus." Ia menyerocos lalu keluar dari mobilnya dan membuka pintu belakang. "Tinggal skripsi aja gak kelar-kelar!" Ia meniru ucapan Feri yang menyindirnya. Hal yang membuat Sara terkekeh geli. "Padahal kan, Tiara bukannya gak mau lulus. Tapi sayang dong kalau ada peluang dan desain baju Tiara bisa go internasional yang bangga juga daddy. Iya kan, mom?" Ia mulai cerewet. Sara hanya terkekeh geli menanggapi. "Lagi pula nih, mom. Seharusnya kampus Tiara tuh udah lulusin Tiara. Baju-baju rancangan Tiara kan sudah sampai Singapura, Hongkong sama Malaysia. Yang ketiban bagus juga kampus kan? Jadi tenar gitu kalau ditanyain, Tiara kuliah dimana. Eh ini....masih aja harus skripsian. Tiara kan males." Dumelnya yang membuat Sara terbahak. "Kalau Farrel ngerti soal skripsi, Tiara udah nyuruh Farrel aja tuh yang ngerjain." "Kamu ini!" Sara menegur. Bibirnya monyong seketika. "Mommy kan udah sering bilang, jangan sering mengeluh. Gak baik. Itu seperti kita gak bersyukur." Ia mulai menasehati sementara telinga Tiara mulai panas. Gadis itu mengusap-usap jilbab di dekat telinganya yang membuat Sara menggeram. Paham akan kode itu. Ia malah balas cekikikan. Peace, mom! Ia mengangkat jari telunjuk dan tengah--pertanda damai dengan mommy-nya. "Nikmatin aja. Jangan banyak ngeluh. Kerjain sedikit-sedikit kalo gak bisa menyelesaikan semuanya. Segalanya butuh proses loh. Gak ada yang kilat. Dan kamu harus selalu ingat apa yang belum bisa kamu berikan. Bukan apa yang sudah kamu berikan. Nanti kalau kamu selalu ingat apa yang sudah kamu beri, jadi kayak yang gak ikhlas melakukannya. Pahalanya hilang. Kan sayang. Udah capek-capek tapi gak berkah karena diungkit-ungkit terus." Sara menarik nafas. Kini gadis itu telah diam. Menyadari bahwa nasehat mommy-nya sangatlah penting dan berharga. Pembelajaran ini akan sulit ia dapatkan di kampus. "Lagi pula kan skripsi memang salah satu syarat untuk menyandang gelar sarjana." Ia berjalan mendekat lalu menepuk bahu anaknya itu. Tiara menyandarkan kepalanya ke bahu Sara. Aman. Tenang. Tentram. Damai. Itu yang ia rasa setiap berada di dekat wanita ini. Walau bukan ibu biologisnya, tapi wanita ini punya kedudukan yang sama dengan almarhum ibunya. Ia menyayangi keduanya sama besar seiring waktu berjalan. Kedewasaan cara berpikirnya membuatnya menyadari banyak hal dan ketakutan-ketakutan di masa lalu perlahan hilang. Jika diingatkan tentang bersyukur, rasanya ia memang terlalu munafik untuk selalu mengeluh ketika segala nikmat-Nya lebih besar dari pada kepedihan yang sempat ia rasa. "Lagi pula, daddy kamu gak bakal ngasih SIM loh kalo kuliahnya gak kelar-kelar." SIM? Tiara mengangkat kepalanya lalu menatap Sara yang tersenyum geli. Ia mengernyit menunggu apa yang dimaksud dengan mommy-nya ini. "Surat izin menikah!" Ucap wanita itu lalu terkekeh ria bersama Tiara. Ah ia sudah dewasa sekarang. @@@ Aisha yang semula panik di sepanjang perjalanan saat mendengar kabar dari Mami kalau kakak iparnya masuk rumah sakit, kini malah cekikikan di pelukan Wira. Padahal ia sempat kesal pada Wira yang terlalu lama mengendarai mobil tadi, Wira juga sempat kesal padanya yang tidak sabar. Kini keduanya malah kompak terbahak. Tak bisa berhenti mendengar ocehan Mami yang terus mengomeli Fadli gara-gara kabar hamil kakak iparnya. Lelaki itu hanya duduk pasrah sambil sesekali mengelus kepalanya yang pening seketika. Karena semua orang menimpakan kesalahan padanya termasuk istrinya yang baru sadar beberapa menit lalu. Wanita itu langsung melotot tajam padanya saat kabar itu masuk ke telinganya. Hal yang membuat Fasha dan Adit mati-matian menahan tawa. Sementara Rain sudah cekikikan tak perduli penderitaan ayahnya. Memasuki usia empat puluh tiga tahun itu bukan lagi usia yang produktif untuk hamil. Caca membatin. Ada tekanan kuat yang menyiksa pikirannya saat ini. Wanita itu ingin marah tapi tak tahu harus marah pada siapa selain pada lelaki yang membuatnya hamil itu. Ia ingat dua bulan lalu saat ia menolak lelaki itu dengan alasan masa subur tapi lelaki itu tetap ngotot. Hasilnya? Ia tak tahu akan kebablasan seperti ini. Ia juga tak mungkin menggugurkannya bukan? Bagaimana pun janin yang ada di dalam perutnya kini adalah anugerah dari-Nya. "Habis ini Caca tinggal sama Mami aja." Mami mulai otoriter dengan mengambil keputusan sendiri. Fadli langsung berdecak lalu memasang wajah memelas. Papi yang tahu perasaan anaknya segera mendekat dan mengajak istrinya untuk bicara keluar. Bagaimana pun mereka memang orang tua tapi bukan berarti bisa mengatur dan mengambil keputusan sepihak seperti itu. Karena kini yang bertanggung jawab atas Caca bukan orang tua melainkan suaminya yaitu Fadli. Papi tahu jika Mami hanya terbawa emosi sesaat saja. Walau begitu, hal itu tetap harus dibicarakan. "Makanya kaak, tahan itu nafsu!" Aisha cekikikan. Fadli yang jengkel tak membalas. Kini lelaki itu bangkit dan berjalan menuju istrinya yang langsung membuang muka. Hal yang membuat Rain terpingkal-pingkal sambil memegangi perut dan terduduk di lantai. Tak kuasa melihat wajah tersiksa ayahnya mulai sekarang hingga nanti ke depannya. Ia yakin, ayahnya bakal lebih menderita dari ini nantinya. "Hooon," panggilnya lembut. Sayangnya Caca tak berniat melihat wajahnya. Wanita itu bahkan memunggunginya lalu memejamkan mata. Fasha langsung menarik Adit untuk keluar dari ruangan itu. "Bokap lo merana banget sumpah!" Lelaki itu berseru saat mereka melintasi taman. Fasha cekikikan. Ia membenarkan. "Tapi biar pun begitu, dia adalah ayah terbaik yang gue miliki." Adit hanya tersenyum sebagai balasan. Tangannya terulur begitu saja untuk mengelus rambut gadis itu yang dikuncir kuda itu. Fasha memang kerap kali memuji ayahnya di depannya. Membuat Adit tahu seberapa besar sayangnya gadis itu pada Fadli meskipun tak pernah diungkapkan pada orangnya langsung. Makanya jika Fadli dikunci Caca dan tidak bisa masuk kamar, maka gadis ini yang akan membukakan pintu kamarnya agar ayahnya bisa tidur di sofa di dalam kamarnya. Setidaknya lebih baik dibanding tidur di luar. Gadis itu memang pendiam tapi ia sungguh sangat menyayangi keluarganya. Sekalipun yang sering terlihat adalah sikap acuh dan judesnya. "Makanya lo pengen dapat pacar kayak bokap lo?" Fasha terkikik lalu mengangguk-angguk. Tak memerhatikan wajah Adit yang tampak tak bersemangat. "Harus yang seperti bokap lo ya, Sha?" "Hem," gadis itu mengangguk semangat dengan mata tertuju ke taman. Ia menghentikan langkah sesaat sebelum memutuskan untuk berbelok ke taman. "Ayah kelihatannya genit. Tapi dia sayang banget sama ibu. Dia juga sayang banget sama gue dan Rain makanya dia protektif banget sama gue dan Rain. Walau kadang suka lebay, tapi gue tahu, Ayah hanya pengen gue dan Rain aman." "Tapi wajah Om kayak bukan wajah orang yang bisa dipercaya." Mendengar itu, Fasha tambah cekikan. Gadis itu mengambil duduk di bangku taman. Adit menyusul di sampingnya. "Itu yang bikin Ibu selalu was-was setiap Ayah dinas keluar. Walau dalam hati, gue yakin, Ibu pasti percaya sama Ayah. Hanya saja, kelakuan Ayah yang menel dan rada-rada itu yang membuat senewen hingga selalu waspada." Adit hanya tersenyum menanggapi. Sesekali menyelipkan poni rambut gadis itu yang panjang ke belakang telinganya agar tak menganggu pandangan matanya. Gadis itu selalu nyaman di dekatnya. Namun ia akan merasa asing di dekat orang yang belum mengenalnya. Ia gadis yang banyak bicara jika sudah bersama Adit. Hal yang membuat Adit sering heran. Karena gadis itu hanya bisa terbuka padanya. Makanya, Caca suka sekali menitipkan Fasha pada Adit karena ia tahu, Adit bisa membuat Fasha menjadi dirinya sendiri. Lagi pula, Caca memang lebih sering mendengar masalah-masalah yang dihadapi Fasha dari Adit ketimbang mendengar dari mulut anaknya sendiri. Karena gadis itu memang pandai menyimpan masalah dari keluarga. Bukan karena ia tak mau berbagi, gadis itu hanya tak mau menyusahkan keluarganya. Namun pada Adit? Lelaki itu seolah selalu bisa membantunya menyelesaikan masalah tanpa emosi. Karena tipikal Fasha yang tempramental itu memang kerap menggunakan kemarahan sebagai pemecahan masalah. Padahal itu hanya membuang tenaga. Sedangkan Adit selalu bisa membuka pikirannya yang sempit dengan pikiran yang lebih luas. Maka jangan pandang dunia hanya dengan menggunakan mata. Namun juga gunakan indera tubuh yang lain dan juga hati. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD