Wanita yang Ingin Dimengerti : Part 6

2034 Words
Dua mobil itu nyaris saling menabrak saat hendak berbelok--mengambil jalan yang sama. Saling mencicit ditikungan persimpangan tiga itu. Dua pengemudinya turun lalu malah terkekeh sambil saling menatap. "Mau kemana, kak?" "Tadinya mau ke rumah sakit. Tapi dari pada ngamuk disana mending pulang deh." Tuturnya lalu beralih masuk ke dalam mobil. Memundurkan mobilnya agar mobil Aisha bisa masuk ke jalan. Aisha turut masuk ke dalam mobil lalu melesat menghadang mobil Icha. Icha mengerut melihat Aisha keluar dan datang menghampirinya lagi. "Kak Fadlan gak pulang semalem?" Todong wanita itu. Icha mengangguk. Keningnya mengerut tanya, bagaimana Aisha bisa tahu? "Wira juga, kak. Aisha lagi kesel sama dia." Curhatnya. Icha memberi kode agar wanita itu masuk saja ke mobilnya. Aisha menurut. Wanita itu mendesah ketika duduk di sampingnya. "Tadi aja Aisha gak ke rumah sakit. Dari pada malah bunuh orang mending nyendiri di taman. Tapi malah senewen. Banyak pasutri yang mesra-mesraan disana." Icha terkikik geli mendengar ceritanya. Wanita yang lebih tua empat tahun darinya ini malah seperti lebih muda darinya. Kekanak-kanakan. Tapi ia juga sih. Suka sekali bersikap kekanak-kanakan. Padahal usia nyaris empat puluh. Tapi yah mau bagaimana? Yang namanya sifat mau ia berusia berapa puluh tahun juga, susah diubahnya. Apalagi sifat yang inginnya diperhatikan. Ingin dipedulikan. Gak perduli umur. Gak perduli kalau sudah nenek-nenek sekalipun. "Jalan yuk kak! Kalo perlu kita nginep! Biar pada repot ngurusin anak! Biar pada tahu rasa!" Ajaknya menggebu-gebu. Icha terkekeh. "Mau kemana?" "Kemana aja deh. Kakak ada ide?" Tanyanya dan dibalas Icha dengan senyuman tipis. "Ya udah. Turun dulu." Tuturnya. Aisha mengembangkan senyumnya. Emang yang paling mudah diajak kompromi itu wanita yang satu ini. Kalo Sara? Wanita yang satu itu patuh banget sama Feri. Caca? Heeuh. Yang ada dia malah diomel-omelin. Airin? Huuh. Ia malah dibuat jengkel. Iri karena adiknya mendapatkan suami yang perhatiaaaaan banget. Sedangkan ia? Ah, sudahlah. Mending keluar sekarang. Kalau tidak ya tidak jadi perginya. Ia segera menjejak langkah. Masuk ke dalam mobilnya sementara Icha sudah memutar setir. Berbalik ke jalan raya meninggalkan jalanan perumahan. Disusul Aisha dibelakangnya. Sebenarnya Icha juga sama. Marah pada Fadlan. Telpon diabaikan. Siapa yang tak marah? Ini nih biar rasain tuh laki! Serunya menggebu. Aisha memang pandai sekali mengompori wanita yang satu ini. Mudah terhasut. Mobil itu menyusuri jalanan siang menuju ITC Depok. Kening Aisha mengernyit ketika dengan santainya Icha memarkir mobil disana. Tapi tak urung ia ikuti juga. Setahunya wanita yang satu ini tak suka berbelanja ke Mall. Ia lebih suka belanja online. Ia langsung mengejar langkah Icha yang berjalan memasuki lift. Disusulnya wanita itu dan disejajarinya langkahnya. "Ngapain?" "Ganti baju. Katanya mau main?" Nyinyir wanita itu yang membuat Aisha terkekeh. Benar juga. Memang sih baju yang mereka kenakan semiformal. Tapi lebih baik baju bebas kan? Wanita itu mengajaknya kesana kemari. Hingga baju-baju, sepatu bahkan kacamata pun dibeli. Keduanya melangkah turun sambil terkekeh lebar. "Loh-loh?" Aisha bingung ketika langkah Icha tak berbelok ke mobil. Wanita itu malah menyeretnya keluar dari parkiran basement. "Mau kemana lagi?" "Katanya jalan-jalan." Jawaban itu membuat Aisha manyun. Tanpa bertanya ia mengikuti jejak langkah kakak iparnya yang santai menuju area belakang ITC Depok. Kakinya melangkah menuju Stasiun Depok Baru. "Naik kereta?" Ia nyaris menjerit ketika melihat Icha mengantri tiket. Wanita itu mengangguk sambil terkekeh. Aisha melirik jam tangannya. Ini baru jam dua siang. "Kita mau kemana emangnya?" "Kota Tua." Tutur wanita itu lalu menarik tangan Aisha untuk segera masuk. Wanita itu menggelengkan kepalanya. Ia belum pernah naik kereta begini. Tapi kakak iparnya pasti tahu sekali. Ia pasrah saja dibawa menuruni tangga lalu berdiri menunggu kereta. Kerudungnya berkibar-kibar saat kereta datang. Icha langsung menarik tangannya untuk masuk ke gerbong khusus wanita di gerbong paling depan. Keduanya berdiri. Aisha memegang erat tangan kakak iparnya karena tak dapat pegangan. Penumpang kereta siang itu penuh dan sesak sekali. Aisha hanya diam. Menyimak para penumpang hari ini. Seharusnya ia bersyukur karena tak pernah merasakan hal yang sama seperti mereka. Berdiri di dalam kereta berjam-jam untuk sampai di tempat tujuan. Sedangkan ia? Selalu ada mobil yang mengantarnya kemana pun pergi. Tapi tetap saja seolah tak bersyukur. Entah apa maunya manusia. Ia juga tak mengerti. Kenapa hawa nafsu itu selalu membuat manusia mana pun buta? Ia menarik nafas dalam lalu menundukan kepala. Rasa syukur yang tak terhingga pada-Nya hingga membuatnya ingin sekali menangis. Ia mendongak lagi. Menatap wanita yang telah menyeretnya kemari. Bersyukur abangnya mendapat wanita seperti ini. Tak salah pilih. Wanita ini selalu saja mampu mengajarkannya cara untuk bersyukur. Tak perlu berkata, cukup lihatlah sekitarmu. Ia menggemgam tangan itu semakin erat. Membuat Icha menoleh lalu terkekeh geli. Ia pikir, Aisha takut. Sementara Aisha hanya tersenyum. Lama sekali kereta itu membawa mereka. Kini mesin bergerak ini baru sampai di Manggarai. Kaki Aisha sudah pegal berdiri sejak setengah jam tadi. Ia melirik jam tangannya. Sementara Icha santai saja. Berpegangan. Mata memandang keluar. Berapa lama ia tak merasakan ini? Membuatnya rindu pada masa-masa susah dulu. Menatap jalanan disetiap harinya. Menghabiskan waktu di jalan. Boleh saja orang menilai betapa susah hidupnya tapi ia bahagia saat itu. Karena perjuangannya sekeras itu. Menapaki jalanan dengan langkah kaki sendiri. Berkali-kali jatuh dalam hidup lantas tak membuatnya terpuruk. Bangkit, itu bisikan hatinya setiap ia jatuh. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa seperti ini? Ia menundukan kepalanya. Hampir menangis. Rasa syukur itu menerpanya. Kini ia mengerti, oh begini cara Allah mengubah nasibnya. @@@ Setengah jam kemudian mereka sampai di Stasiun Jakarta Kota. Icha menyeret wanita itu turun. Mengajaknya keluar dari stasiun. Menyusuri jalanan raya menuju Kota Tua. Ia terkekeh saat melihat Aisha terbatuk-batuk. Ia tahu wanita ini tak terbiasa menghadapi udara luar yang ekstrem. Asap dimana-mana. Kendaraan dimana-mana. Ancaman kejahatan dimana-mana. Ditariknya Aisha dengan kuat lalu diajaknya menyebrangi jalan. Menyusuri Kota Tua. Tujuannya? Hanya tukang kerak telor yang ada di depan mata. Beberapa tukang-tukang itu duduk berjajaran. Aisha mengernyit heran saat melihat Icha memesan semua kerok telor pada lima penjual sekaligus. Ia mangap dan hendak menahan lengan kakak iparnya tapi wanita itu telah gesit memanggil anak-anak kecil--anak-anak jalanan. Para remaja bahkan orang tua juga dipanggilnya. Diajaknya makan bersama. Ia menelengkan kepalanya. Tak bisa menjangkau pikiran kakak iparnya yang satu itu. Lalu ikut berseru memanggil para anak-anak jalanan. Mengumpuli mereka. Mengajak mereka makan bersama. Duduk di jalanan sambil tertawa ria. Dihibur oleh suara-suara mereka yang tak kalah bagusnya dengan para artis papan atas. Menepuk tangan bukan sekedar menghargai penampilan sederhana mereka tapi juga mengagumi. Aisha pikir, enak sekali menjadi anak kecil. Seolah-olah hidup tanpa beban. Tapi lihatlah mereka. Adakah hidup tanpa beban? Ia yakin, pasti hidupnya lebih sulit. Tapi walau begitu, senyum itu masih mengembang. Membuat Aisha semakin semangat. Ia tak boleh kalah dengan mereka! "Aku kira anak-anak kecil itu hidup tanpa beban. Tapi ternyata ada pengecualian," tuturnya memulai cerita ketika selesai berbagi makanan kerak telor pada para pengadu nasib di jalanan tadi. Icha terkekeh. Tangannya sibuk membidik bangunan-bangunan tua dan bersejarah dengan ponselnya. Tapi telinganya masih jelas mendengar suara Aisha yang nampak sedang curhat. "Yah, seseorang benar. Dia bilang, hidup kita tak seberapa. Kadang perlu untuk membuka mata dan melihat sekitar baru tahu rasanya bersyukur." "Siapa yang bilang begitu?" Nyinyir Icha--masih asyik membidik. Aisha dongkol seketika digoda seperti itu. "Ustad yang suka ngajarin Farrel ngaji. Iya kan?" Lanjutnya lalu terkekeh saat mendengar Aisha mendengus. Namun tak urung wanita itu terkekeh juga. Ia jadi ingat suaminya. Bagaimana kesalnya lelaki itu saat tahu Marshall yang mengisi pengajian hari minggu, bertahun-tahun lalu. Tak suka Asiah menatap lelaki itu. Lelaki lain selain dirinya. Itulah pertama kali Aisha melihat ada tatapan cemburu dari suaminya selama mereka menikah. Tapi hanya sekali itu saja. Hanya sekali itu dan itu sukses membuat Aisha jengkel. Namun ia tak mau menyulut perkara. Kalau Wira mau, lelaki itu bisa mengamuk lebih dahsyat darinya. Dan ia tak mau itu terjadi. "Jangan sebut-sebut deh, kak. Nanti Wira marah sama aku. Dia--kalau udah ngamuk bisa menghancurkan bumi dan isinya!" Serunya menggebu yang langsung dicibir Icha. Mereka ini remaja atau ibu-ibu sebenarnya? Ah, tapi kata siapa ibu-ibu tak pernah curhat? "Sekali-kali bikin dia cemburu lah." Kini ganti Icha yang mengompor. Aisha malah terkikik. Itu sama saja mencari mati. Entah kenapa, suaminya menjadi tempramental sekali kalau menyangkut Marshall. Padahal Marshall sama sekali tak mempermasalahkannya. Ia menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Jadi ingin pulang untuk melihat lelaki itu. Amarahnya sudah menguap entah kemana. Sama juga dengan wanita di sebelahnya. "Aku jadi inget waktu gantungin dia." Tuturnya lalu menoleh pada Icha. Dia yang dimaksud--Icha mengerti sekali. Pasti Marshall. "Tapi kalo inget soal gantung menggantung ini, jadi keinget abang tersayang yang digantung cewek tiga tahun lamanya." Spontan--Icha terbahak mendengar sindiran itu. Ia sampai menutup mulutnya lalu menoleh geli pada Aisha yang mencibir. "Dia aja yang mau nunggu kali. Kakak kan gak minta!" Kilahnya yang langsung disungut Aisha mentah-mentah. "Yaiyalah. Banyak yang nunggu. Noh yang pilot juga nungguin kan?" Cibirnya sementara Icha sudah terkikik puas. Aisha hanya mendengus tapi tak urung tersenyum pula. "Tapi kalo seandainya Kak Fadlan gak nungguin, kakak bakal menyesal?" Tanyanya mulai mengorek informasi. Jujur saja, ia tak paham perasaan wanita ini pada kakaknya. Sebegitu gampangnya menolak lamaran kakaknya dua kali lalu kabur ke Malaysia untuk sekolah. Kalau ia yang diposisinya, ia pasti akan mengekang Fadlan. Mengikatnya baru kabur ke Malaysia. Oh tapi terdengar kejam sekali ya? Ia malah terkekeh sendiri. "Mungkin." Jawab wanita itu sendu. Aisha menoleh seketika. Wajah wanita itu berubah sendu. Wanita itu sebenarnya ingat kemarahannya sepagi tadi. Berangkat ke kampus dan tak memerdulikan anak-anaknya. Menuruti nafsu kaki yang membawanya pergi. Lalu sepulang kampus tadi hendak melabrak Fadlan di rumah sakit. Melampiaskan amarahnya. Tapi di jalan, ia malah bertemu Aisha. Ah, wanita....ia juga tak paham akan jalan pikirannya sendiri. Kini amarah itu sudah menguap entah kemana. Malah menyesal setengah mati. Merasa berdosa. Mengabaikan anak-anaknya. Mengabaikan suaminya. "Kakak suka sama Kak Fadlan udah lama?" Icha mengembang senyum tipis tapi penuh kelu. Lalu menarik nafas dalam. Menyandarkan tubuhnya dibangku panjang itu. Sementara Aisha menunggunya bicara. "Kalau dibilang suka, kakak gak tahu. Perasaan itu muncul saat kakakmu berani melamar kakak pertama kali." Tuturnya teringat masa lalu. Membuatnya mengembang senyum tipis. Ah, betapa jahatnya ia menjadi wanita. Menolak lamaran lelaki itu sama saja dengan melukainya. Bahkan hari ini apa yang ia lakukan? Ia melukainya lagi. Ia mendesah. Ingin menangis rasanya. Benar-benar wanita yang ingin dimengerti tapi tak ingin mengerti orang lain. Wajar karena wanita juga punya ego. Tapi bukankah lelaki juga sama? Aisha terpaku saat melihat air mata itu jatuh. Ia bisa merasakan kepiluan wanita itu. Karena ia juga sama. Inginnya dimengerti tapi tak mau mengerti. Ia ikut menyandarkan punggungnya. Menatap langit senja di kota tua. @@@ Farrel dan Ferril berseru heboh. Bertos ria dengan Papanya karena berhasil memenangkan pertandingan melawan tim Om-nya. Ferril berheboh-heboh ria menunggingi Ardan menatapnya dengan masam. Tim mereka kalah. Papanya merangkulnya, membuatnya menoleh lalu senyumnya mengembang. Tak perlu menang atau kalah itu. Yang penting Papanya ikut bermain sore ini. Ia dirangkul Wira, dibawa menuju Fadlan dan kedua anaknya yang sudah duduk di pinggir lapangan. Ini sudah hampir magrib. Tapi mereka masih belum beranjak. Duduk beristirahat sebentar dibawah pohon rindang. Berbagi minum dan berbagi tawa bersama. Melupakan keberadaan istri-istri mereka. Memang yang namanya lelaki begitu. Kalau sudah asyik dengan dunianya, ia seakan lupa akan segalanya. Berbeda dengan makhluk-makhluk sensitif ini. Sesibuk apapun, pasti terlintas pikiran tentang orang yang dicintainya. Mengingatnya sembaru mengirim doa. Semoga ia baik-baik saja disana. Fadlan yang biasanya hanya memakai celana selutut dirumah, kini sudah sama seperti Wira. Hanya berkaus putih dan celana selutut itu. Itu pun sudah tak karuan warnanya. Berkali-kali ia terpeleset karena rumput yang licin. Kakinya sudah berlepotan tanah coklat. Kotor sekali. Kalau istrinya tahu, bisa disiram ia di depan rumah. Sementara Wira tak jauh beda. Pandangan lelaki itu tak lepas dari Ardan yang terlihat senang sekali. Sesekali ia mengelus kepala bocah itu. Sepertinya ia harus banyak meluangkan waktu untuk anak-anaknya. Jangan hanya sibuk di kantor saja. Saat bedug menggema, mereka segera bangkit. Saling berpamitan pulang. Fadlan dengan cepat menggiring dua anaknya ke rumah. Tapi sampai rumah, hatinya kembali hampa. Sang pemilik separuh jiwanya belum juga pulang. Ia mendesah kecewa. Ia lebih senang mendengar omelan wanita itu untuk menyuruhnya mandi dari pada lengang seperti ini. Seperti bukan rumahnya. Ia mengambil nafas dalam-dalam. Lalu melangkah masuk ke dalam kamar yang hampa sama seperti hatinya. Mengguyur diri dengan dinginnya air. Sementara Wira? Tak kalah kacaunya. Rumahnya sepi. Tak ada suara melengking dan cerewet itu menggaung saat ia pulang. Padahal ia lebih senang mendengar suara itu dari pada kesenyapan ini. Hanya menggores hatinya saja. Membuat luka lalu perih yang menyiksa. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD