Fadlan tiba di rumah tepat ketika ketiga anaknya sedang duduk di atas sepeda--hendak berangkat ke sekolah. Ia turun dari mobil dan tiga anak itu menyalaminya. Farrel mengernyit heran tak ada mobil Bundanya. Apa mungkin sudah ke kampus?
Hah. Mungkin saja.
Ia berlalu begitu saja meninggalkan Papanya yang masuk ke dalam rumah. Anehnya, lelaki itu merasa sepi ketika memasuki rumah itu. Ia melirik jam tangannya. Biasanya, istrinya masih ada di rumah. Ia hapal benar jadwalnya. Biasanya wanita itu baru akan berangkat satu jam lagi. Tapi ia tak menemukan batang hidungnya. Ia pikirkan positifnya saja. Istrinya sudah berangkat ke kampus.
@@@
"Dari mana aja, Bi?"
Suara lembut itu menyapa. Sosoknya sedang berdiri di dekat pintu saat ia tiba di rumah. Akib menyungging senyum tipis. Amarah Airin langsung turun ke tingkat dasar saat melihat wajah lelah milik Akib. Tak jadi marah. Apalagi saat tangan lelaki itu merangkulnya--membawanya masuk ke dalam rumah.
"Maaf. Semalem aku pergi gak pamit. Liat kamu tidur pulas gitu, aku gak mau ganggu." Tuturnya sambil berjalan menaiki tangga.
Airin diam saja menyimak. Amarahnya hanya akan membuat kesalahpahaman.
"Bang Fadlan nelpon berkali-kali. Nyuruh aku nyari Ando. Dia hilang dan Bang Feri lagi jagain Mbak Sara yang masuk rumah sakit." Jelasnya yang membuat Airin menahan lengannya.
"Kak Sara kenapa?"
Akib menyungging senyum tipis. "Cuma luka kok. Bang Fahri bilang, Bang Feri aja yang lebay sampai dibawa ke rumah sakit segala. Nanti siang juga udah pulang." Tuturnya lalu merangkul Airin lagi sambil membawa wanita itu ke dalam kamar. Ia lelah dan ingin beristirahat.
"Tapi lain kali harus tetep bilang loh, Bi. Tulis pesen atau apa kek. Biar aku gak khawatir. Wanita itu kalau gak dijelasin malah marah loh."
"Bukannya sama aja ya? Dijelasin atau enggak tetep aja marah?" Nyinyir Akib yang mulai menyulut amarah Airin.
Wanita hamil itu perasaannya sensitif. Ia malah tersinggung dibilang begitu. Ia melepas tangan Akib dari pinggangnya sambil menatap tak suka. Lalu membalik tubuh meninggalkan Akib. Lelaki itu menggaruk tengkuknya. Tak bermaksud menyindir. Ia hanya ingin menggoda tapi Airin malah benar-benar tersinggung.
"Ai! Ai!" Panggilnya tapi Airin tak perduli.
Wanita itu menuruni tangga dengan pelan sambil menahan air matanya yang akan jatuh.
Wanita itu sensitif sekali........
"Aiii....," panggilnya lagi.
Kali ini lebih lembut. Bahkan tangannya sudah menggapai lengan Airin. Tapi wanita itu....menepisnya mentah-mentah. Berjalan kasar menuruni tangga membuat Akib hanya bisa menghela nafas. Terpaku menatap punggung yang kian menjauh itu.
Ia sudah sering membuat wanita itu marah. Dan saat pertama kali wanita itu marah setelah mereka menikah, ia berusaha mendekati wanita itu. Tapi hentakan tangan yang menjadi jawaban. Wanita itu tak ingin disentuhnya. Jadi ia menyerah. Belajar dari kemarahan pertama. Jika Airin marah, ia hanya akan diam seperti ini. Membiarkannya sendirian.
Padahal sebenarnya Airin hanya gengsi. Wanita itu inginnya dipaksa. Kalau ia menghentak tangan, paksa dengan pelukan. Tapi Akib tak pernah melakukannya. Ia tak pernah mengerti Airin. Karena wanita itu tak pernah memberitahu inginnya. Kalau marah, untuk segera memeluknya. Agar amarahnya mereda.
Wanita itu inginnya dimengerti tanpa ia bicara sedikit pun. Padahal bicara adalah satu-satunya jalan penyelesaian. Namun terkadang, mereka terlalu gengsi untuk meminta. Jadi memilih pergi padahal sakit. Sakit yang malah membuatnya bertambah marah dan kesal. Salah siapa yang tak mau bicara?
@@@
"Diem disitu!" Kecam Caca.
Tangannya menodong-nodong pisau ke arah Fadli yang spontan mengangkat tangan. Laki-laki itu tahu benar kalau istrinya tak pernah main-main. Tapi untuk pisau, baru kali ini. Istrinya lebih mirip penodong sekarang.
"Awas aja kalo berani deket-deket!" Kecamnya lalu kembali berkonsentrasi pada sayur mayurnya.
Fadli baru saja pulang. Ia tahu ia salah. Tapi tak bermaksud meninggalkan wanita itu. Semalam ia sudah memberitahu Caca ketika akan pergi. Tapi ternyata wanita itu mengigau. Jadinya ya....begini.
"Hon....kan tadi aku udah bilang. Aku keluar buat nya--"
"Diem!" Seru wanita itu dan kali ini bawang bombay sudah terbelah menjadi dua.
Fadli bergidik ngeri melihat nasib mengenaskan bawang bombay itu. Ia menghela nafas--menyerah. Lalu memilih beranjak pergi. Matanya sudah berat sekali. Istrinya malah tak mau mengerti. Namun saat lelaki itu pergi, Caca mengomel lagi. Kesal pada suaminya yang menghilang di malam lalu muncul paginya. Tanpa kabar. Tiba-tiba hilang dan tiba-tiba muncul. Ia kesal bukan main. Padahal tadi Fadli sudah bilang yang sebenarnya. Yang sejujurnya terjadi. Tapi masih saja marah.
Diberi penjelasan marah. Diam juga marah.
Maunya apa sih?
@@@
Wira bangun di sore harinya. Ia menyambut ashar. Lalu menuruni tangga--berjalan menuju dapur. Ia lapar. Untungnya Mbok Darmi sudah menyiapkan makanan.
Matanya berpendar melihat rumah. Di hari kerja, ia jarang di rumah di jam-jam seperti ini. Baru ia merasa sepi. Tak ada anak-anaknya. Ia tak pernah tahu mereka dimana di jam-jam seperti ini. Karena yang ia tahu, dua bocah itu sudah di rumah setiap ia pulang.
Ia menghabiskan makanannya dengan cepat lalu berjalan ke kamar dua anaknya. Tapi kosong. Ia berjalan menuju garasi, tak ada dua sepeda yang nongkrong disana.
"Mang, biasanya Ardan sama Dina main kemana?" Tanyanya pada laki-laki yang menjaga rumahnya bertahun-tahun belakangan ini.
"Kalo den Ardan, paling main bola Pak di lapangan gak jauh dari masjid. Kalo non Dina, mungkin di rumah non Farras." Jawab lelaki itu yang membuat Wira mengangguk.
Ia melangkah keluar. Menyusuri jalanan rumahnya menuju lapangan bola. Ia hampir tak pernah berjalan di sore hari seperti ini. Karena di jam-jam seperti ini, ia baru akan bersiap-siap pulang ke rumah.
Dilihatnya Ardan sedang bermain bola bersama bocah-bocah. Tak ada Farrel atau Ferril disana. Ia menggelengkan kepalanya melihat sosok bocah krempeng berkulit putih yang memamerkan tubuh yang tinggal tulang belulang itu.
Bocah itu menyeru-nyeru, berlari mengejar bola hanya dengan boxer. Ia menelengkan kepalanya lagi.
Benar-benar tak tahu malu anak itu. Tapi tingkahnya cukup menghibur Wira. Lelaki itu memutuskan untuk kesana. Bergabung dan malah bermain bola dengan bocah-bocah itu. Membuat Ardan girang bukan main. Karena Papanya punya waktu untuk bermain bola bersamanya dan teman-temannya.
@@@
"Udaah. Mommy gak apa-apa." Tuturnya lembut sambil mengelus kepala Ando yang meringkuk di atas pangkuannya.
Bocah sepuluh tahun itu menulikan telinga ketika dicibir-cibir oleh Tiara. Tak perduli diolok-olok manja. Tak ada yang salah dengan anak lelaki yang memeluk ibunya sambil menangis bukan?
Bukankah itu tanda kasih sayang dan takut kehilangan?
Ando hanya mengikuti kata hatinya. Ia merasa bersalah sekali karena tak sengaja mencelakainya.
"Maafin Ando ya, mom?"
Sara mengangguk sambil terkekeh. Tangannya mengelus-ngelus kepala Ando. Bocah lelaki itu tak mau lepas darinya sejak keluar dari rumah sakit tadi.
"Bang, mommy-nya biarin istirahat dulu." Tutur Feri.
Bocah lelaki itu menoleh padanya dengan tatapan memelas. Membuat Feri tahu ke arah mana, Ando akan berucap.
"Semalem aja ya, dad?" Pintanya yang membuat Tiara dan Anne bersorak. Keduanya juga mau tidur bersama Sara. Hal yang membuat Feri mendengus malas.
"Kita tidur di ruang keluarga aja gimana? Biar bawa kasur dari kamar Ando sama kamar Tiara?" Usulnya yang langsung disambut senang tiga anaknya.
Ia menelengkan kepala. Ketiganya memang menempel sekali pada Sara. Tak mau jauh dari wanita itu. Tapi tetap berhasil membuatnya tersenyum. Kebahagiaan itu benar-benar sederhana.
@@@
"Kak! Mobil Bunda udah di garasi belum?" Teriak Fadlan dari ruang kerjanya untuk ke sekian kalinya. Lelaki itu sedang membaca buku.
Farras balas berteriak dari bawah. Bocah itu selalu main monopoli bersama Dina. "Belum, Pa!"
Kali ini, Fadlan tak bisa bersantai lagi. Konsentrasinya buyar sudah. Ia taruh buku di atas meja lalu melepas kaca matanya. Kemudian beranjak dari sana. Matanya melirik jam tangan yang sudah menunjukan pukul hampir lima sore. Masa sesore ini, istrinya tak kunjung pulang?
Ia yakin sekali jadwalnya sudah selesai. Wanita itu seharusnya sudah di rumah. Ia berjalan keluar rumah hendak menuju garasi. Tapi kehadiran dua bocah berbaju koko menarik perhatiannya.
"Paaa main bola yuk! Tadi Adek liat ada Om Wira main bola sama Bang Ardan di lapangan bola sana!"
"Masa?" Tanyanya tak percaya.
Ferril mengangguk penuh semangat. "Papa tunggu dulu. Jangan pergi dulu!" Tuturnya lalu ngacir ke dalam rumah.
Fadlan menoleh pada Farrel.
"Bener, Pa." Tuturnya yang seakan tahu pertanyaan apa yang muncul dari kepala Papanya.
Farrel masuk dengan santai. Mengganti baju kokonya dengan seragam bola lalu ngacir keluar rumah menyusul langkah Papanya dan Ferril yang sudah tiba di gerbang rumah. Tiga laki-laki itu berjalan bersama menuju lapangan bola. Nampak Wira yang asyik menyundul bola di tengah-tengah sana.
Fadlan percaya. Ia tak pernah melihat Wira bermain bola sebelumnya. Jadi kebetulan ada teman, ia langsung turut bergabung. Bermain bola bersama anak-anaknya. Ia lupa kalau tadi seharusnya ia menyusul istrinya ke kampus.
@@@
Akib berdeham. Mengambil duduk di samping istrinya yang sedang menyimak berita sore itu. Wanita itu berpura-pura tak merasakan kehadirannya. Akib menarik nafasnya. Kepalanya menoleh--menatap wanita yang sesiang ini mengacuhkannya. Ia sudah terbiasa sebenarnya. Karena sepanjang empat kali hamil, wanita itu memang begini. Ia biasa menghadapinya.
"Nyuekin suami, dosa loh Ai." Tegurnya lalu menjulurkan telunjuk menyolek-nyolek dagu Airin.
Wanita itu melengos. Padahal bibirnya sudah berkedut-kedut ingin tertawa. Mana bisa ia mengacuhkan lelaki penyempurna agamanya ini?
"Aaaiiiii," godanya kali ini sambil mengedipkan mata di depan wajah Airin.
Wanita itu sukses menyemburkan tawanya. Aah....lelaki ini. Pandai sekali merayunya.
Begitu dapat lampu hijau, Akib langsung memepet. Memeluk perempuan itu. Memperlakukannya dengan lembut. Terkadang perempuan itu tak perlu kata-kata. Cukup dengan perbuatan saja, ia pasti luluh asal melakukannya benar-benar dari hati.
"Agha sama Aidan kemana? Ali juga kemana?" Tanyanya.
Airin merebahkan kepalanya. Tangannya balas memeluk lelaki itu. Amarahnya menguap entah kemana.
Cukup begini saja. Hanya seperti ini saja. Ia sudah memaafkannya. Tak perlu harta. Cukup cinta saja. Asal tak menghilang cinta kepada-Nya. Karena Ia yang nomor satu.
"Ali dibawa Mami sama Papi. Mau jalan-jalan bawa cucu katanya. Mau mengenang masa lalu juga katanya." Tuturnya lalu terkekeh geli--mengingat ucapan Maminya ditelepon yang sok muda.
Akib hanya tersenyum tipis. Ujung matanya melirik Airin. Haaaah.......indahnya dunia. Semoga dipersatukan di akhirat sana. Doanya dalam hati lalu mengecup kening istrinya.
@@@
"Ibuk mana?" Tanya Fadli setengah berbisik pada Fasha yang baru muncul dengan sepatu dan bola basket ditangan. Kalau Caca tahu, sudah melengking suaranya ke penjuru rumah sana.
Gadis itu menoleh. Nyaris terbahak melihat ayahnya berjalan menuruni tangga sambil mengendap-endap. Menoleh ke kanan kiri seperti pencuri.
Ia menelengkan kepala. Geli akan sikap penakut ayahnya tiap kali bertengkar dengan ibunya.
"Gak tahu, Yah. Asha kan main sama Adit."
Mendengar nama Adit, Fadli langsung senewen.
"Tadi berangkat sama Adit juga?" Tanyanya.
Kini tak berbisik lagi. Ia malah berkacak pinggang. Fasha hanya terkekeh geli. Baru akan menjawab, orang yang dicari-cari Fadli sedari tadi nongol dari pintu depan dan langsung menerobos ucapan Fasha.
"Besok berangkat sama Adit aja, Sha. Kalo perlu Ibu kasih ongkos biar naik umum aja!" Tutur wanita itu--masih kesal.
Fadli menghela nafasnya. Matanya memberi kode pada Fasha untuk segera naik. Bocah itu menurut. Sementara Caca sudah melengos ke taman belakang. Hendak mengambil sapu lidi.
"Hoon," panggilnya tapi Caca mana mau perduli. "Semalem aku tuh ditelpon Kak Fadlan. Disuruh nyari Ando. Bukannya pergi ke tempat yang gak jelas." Jelasnya sambil mengintili Caca di belakang.
"Siapa yang nanya?!" Tutur wanita itu--senewen.
Ia malah mengibaskan tanah dengan sapu. Membuat debu-debu berterbangan. Fadli yang baru membuka mulut langsung terbatuk-batuk.
Wanita iniiii.....
Dijelasin marah. Apalagi kalau gak dijelasin?
Fadli mengacak-acak rambutnya frustasi. Lima belas tahun lebih brrsama wanita ini tak membuatnya sedikit pun mengerti apa maunya wanita ini.
"Udah tahu bininya ada di rumah. Tidur di sebelah, tinggal bangunin bentar apa susahnya buat pamit. Lelaki....lelaki.....," omelnya sambil menggerakan sapu lidi kesana kemari. "Coba giliran dia aku gituin, baru ngerasa!" Lanjutnya kali ini matanya senewen menatap Faldi. Lalu lanjut menyapu lagi.
Disaat seperti ini, Fadli malah ingin tertawa. Lucu saja melihat wanita ini marah. Mengoceh-ngoceh tidak jelas sambil menyibak-nyibak tanah. Mengusir dedaunan. Akhir-akhir ini ia memang cerewet sekali.
Kerudung seadanya. Daster batik panjang berwarna biru. Sandal jepit dikaki. Ia menggeleng kepala dramatis. Ditambah sapu lidi ditangan.
Ia langsung menghampiri wanita itu. Memeluknya dengan erat. Tak perduli didiamkan. Karena yang ia inginkan hanya ini. Membungkamnya. Apa tak lelah mengomel tiada henti?
Lelaki memang begini. Sedangkan wanita?
Ya, hanya ingin seperti ini. Cukup dipeluk seperti ini. Tak perlulah yang lain. Tak perlu berkoar-koar cinta. Cukup peluk ia seperti ini. Hadir disisinya. Menjaganya. Melindunginya.
"Jangan suka teriak-teriak. Jangan sering ngomel-ngomel. Gak capek apa? Kalau tenggorokan sakit gimana?" Tuturnya lembut.
"Maaf kalo aku bikin kamu marah terus. Bikin kamu gondok. Bikin kamu kesel. Bikin kamu khawatir. Bikin kamu.....hah....." tuturnya lalu menarik nafas. "Bukannya aku sengaja. Enggak, hon. Tapi dengan kamu begitu, aku tahu. Kamu perduli sama aku. Kamu sayang sama aku. Kamu cinta sama aku." Tuturnya yang membuat Caca ingin menangis saat itu juga.
Fadli memeluknya makin erat. Lalu terkekeh geli saat mendengar suara isakan itu mencapai telinganya.
Hampir empat belas tahun hidup dengan wanita ini. Tapi tak sekalipun ia mengerti wanita ini. Bukan ingin membuatnya marah. Bukan ingin membuatnya jengkel. Bukan. Bukan itu.
Ia hanya ingin tahu, apa perasaan itu masih sama? Masih seperti semula mencintainya?
Yah, anggap saja caranya salah. Tapi ia memang paling suka saat Caca mengomelinya. Paling suka saat Caca memarahinya. Paling suka saat Caca menangisinya. Ia laki-laki yang berego tinggi. Ia ingin sepenuhnya perhatian yang Caca miliki hanya untuknya.
@@@