Jeda Kesepuluh

1105 Words
Matahari sudah tinggi. Aku merasakan hangatnya di pergelangan kaki yang terkena sengatan sinarnya dari sela - sela jendela kamar yang sengaja kubuka sejak pagi. Tapi tubuhku enggan bergerak, apalagi beranjak. Pikiranku kembali pada peristiwa semalam. Di mana Kelvin bertindak dengan gagah berani, menyelamatkanku dari cengkraman pria mabuk. Namun, dia juga bersikap lembut saat mengantarku pulang hingga depan pintu. Dia selalu bertanya untuk memastikan apakah aku baik - baik saja. Kelvin sempat menawarkan apakah aku ingin menghubungi Eda, yang kujawab, tidak perlu menceritakan hal ini padanya. Ya, aku baik - baik saja. Pria mabuk itu tidak membuatku syok atau memiliki trauma yang berarti. Tapi, ada sesuatu yang mengganggu sejak melihat Kelvin tiba - tiba berdiri di sebelahku malam tadi. Sesuatu yang aku khawatirkan. Di mana debaran jantungku berdetak tidak karuan setiap menerima respon darinya. Aku bukannya mau selingkuh dari Eda. Aku hanya ingin melihat Eda cemburu. Tapi aku takut. Takut terlalu larut dalam permainan yang bahkan belum kumulai. Kelvin terlalu mudah untuk dikagumi. Tapi rasa bersalah kini menghantui diriku. Aku mengamati foto Eda saat kami mengunjungi keluarganya di Jepang. Foto yang kucuri diam - diam dan kubingkai untuk kupandangi setiap malam. Setiap melihat wajahnya, aku tahu, aku sangat menyayangi Eda. Aku seperti, memiliki ketergantungan terhadapnya. Rasanya sulit, memikirkan tentang berpisah dengannya. Sekalipun, Eda adalah sosok yang jauh dari kata hangat dan romantis. Eda mendapatkan hatiku dengan caranya sendiri. Aku tidak menampik, kadang aku ingin Eda seperti pria lain. Yang agresif dan sedikit posesif. Sedikit saja. Yang bisa kuajak bertengkar untuk hal kecil, atau berdebat saat berbeda pendapat. Aku membuka foto - foto kami malam tadi. Kembali menelusuri wajah Kelvin yang tersenyum ceria ke arah kamera. Kepalanya berada tepat di samping kepalaku. Kami belum lama menjadi partner. Tapi dirinya berhasil membuatku kebingungan dengan perasaanku sendiri. Apakah dia memang sebaik itu terhadap semua teman perempuannya? Mataku berpindah dari wajah Kelvin, lalu foto Eda. Kelvin, Eda. Kelvin, Eda. Kelvin. Eda. Bisakah kita menyukai dua orang pria berbeda dalam waktu yang bersamaan? *** "Gue sih setuju sama nyokap lo. Hari gini, Say, kalau enggak dikasih kepastian. Jadiin mantan!" Aku bertanya pada Kenny dan Bianca. Kami sedang makan siang bersama. Akhirnya, aku meminta pendapat mereka tentang perkataan bunda tempo hari. Tentu saja, tidak memasukan unsur kebaperanku pada Kelvin. Mereka belum boleh tahu soal ini. Dan di atas itu adalah pendapat Bianca, yang memang memiliki pemikiran paling rasional di antara kami bertiga. "Tapi, Bi, susah lho membangun hubungan dari awal lagi. Eda sama Haura kan sudah kenal dari lama. Dari jaman Haura masih jerawatan dan belum kenal skin care." Aku menyipitkan mata ke arah Kenny yang membentuk huruf V dengan jarinya. "Belum tentu ketemu yang seperti Eda lagi. Jaman jeleknya Haura aja dia sayang, gimana cantiknya coba?" Kusentil pelan gelas Kenny yang kini terbahak. "Ya kalau gitu, coba lo bahas sama Eda. By the way, apa dia trauma karena perceraian orangtuanya?" Trauma? Aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Masa iya Eda trauma dengan pernikahan? Bianca menepuk kepalaku dengan gemas. "Jangan bilang selama ini lo enggak mikirin hal itu?" Aku mengangguk pelan, Bianca dan Kenny mendesis kesal. "Ini dari pengalaman gue aja sih, yang kebetulan punya sepupu korban perceraian. Sampai sekarang dia enggak percaya dengan konsep pernikahan bahagia. Dia selalu berpikir, kalau seseorang menikah, satu sama lain akan terbebani. Dan akhirnya akan memilih perpisahan demi meringankan beban masing - masing." Baru aku hendak protes, Bianca menutup bibirku dengan sedotan yang diacungkan ke atas. "Dia sekarang umur tiga puluh tiga. Yap, sudah dewasa secara mental dan fisik, tapi masih terluka karena masa lalu orangtuanya. Enggak menutup kemungkinan Eda juga begitu. Apalagi kalau lihat karakternya ya, Ken, tipe orang yang pendam masalahnya sendiri." Kenny mengangguk - angguk dengan semangat. Menyetujui statement Bianca. "Bisa jadi, alasannya menunda pernikahan karena dia masih butuh waktu untuk memantapkan hatinya meminang lo, Sist! Mungkin dia takut, pernikahan kalian berakhir seperti orangtuanya," Bianca mengedikkan bahu. "Lo harus komunikasikan masalah itu sama Eda." Aku memang bodoh dan gak peka. Bagaimana bisa aku tidak memikirkan kemungkinan yang paling besar itu? Tante Mayang tidak pernah menikah lagi sejak bercerai dari om Hideo. Sebaliknya, ayah kandung Eda sangat berbahagia dengan pernikahan keduanya. Dan hubungan mereka semua yang kutahu, baik - baik saja. Setiap hari raya, mereka saling mengunjungi dan bertemu. Tante Mayang juga tidak pernah membatasi Eda untuk bertemu ayahnya. Semua yang terlihat sempurna, belum tentu tidak memiliki retak di dalamnya kan? Ck, Haura, kemana aja sih kamu! Aku memaki diri sendiri. *** Selesai siaran, aku menunggu Eda yang akan menjemputku di lobby kantor sendirian. Resepsionis dan staff lain sudah tidak ada, tersisa kami yang siaran malam dan manajer produksi yang shift malam hingga pagi nanti, dan security tentu saja yang berjaga di pintu depan. Selama tiga jam siaran bersama Kelvin, aku berusaha mengontrol diri agar tidak salah tingkah. Beberapa kali, aku bahkan ingin menghindari Kelvin dan pesonanya. Setidaknya, sampai posisiku cukup tegas dengan Eda. Jika benar yang dikatakan Bianca, bahwa Eda trauma dengan pernikahan orangtuanya, aku ingin menjadi satu - satunya orang yang membantu dia menyembuhkan luka masa kecilnya. Namun, jika dibalik sikap diam dan kakunya karena hal lain yang tidak bisa kutolerir. Akan kulanjutkan permainan yang hendak kumainkan, seberapa jauh Eda akan menghentikanku dan menarikku kembali dalam pelukannya. Aku penasaran. Sangat penasaran. "Ra," suara Kelvin membuyarkan lamunanku. "Dijemput cowok lo?" Aku mengangguk, Kelvin tersenyum ramah dan duduk di sebelahku. "Gue temenin sampai dia datang." Aku melirik jam di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan hampir setengah dua pagi. "Gak usah, sebentar lagi juga sampai." Tolakku halus. Tidak sekarang, Vin. "Gue memaksa." Responnya cepat. Sekarang Kelvin menyandarkan punggungnya, melipat tangan di d**a dan mulai memejamkan mata. Posisi ini membuatku puas memandangi profil wajahnya. Hidung yang mancung, rahang tegas dan mulus tanpa jerawat atau bulu - bulu yang menunjukkan maskulinitas. Kedua kelopak matanya tampak menonjol meski matanya sedang terpejam, kelopak itu bergerak - gerak. Sepasang alisnya yang tebal dan membuat iri semua perempuan, begitu rapi tanpa dibuat - buat. "Ra!" Aku menoleh ke arah pintu, Eda berdiri di sana sambil memandang bingung padaku. "Oh. Sebentar, Bang." Aku menepuk lengan Kelvin, dia membuka matanya yang sekarang sayu. "Gue udah dijemput. Duluan ya." Pamitku. Kelvin berdiri dan menganggukan kepala menyapa Eda, berpesan hati - hati pada kami dan berjalan keluar bersama. Eda melajukan motornya pelan - pelan. Sesekali kudengar dia menguap. Aku memeluk perutnya dengan erat. "Abang tadi sudah tidur?" Tanyaku. "Ketiduran." Jawab Eda. Aku mendesah pelan. "Tahu gitu aku bilang aja gak usah jemput. Aku nyusahin ya?" "Enggak, Ra." Dia meyakinkanku. Eda sekali jawabannya. "Mau buru - buru tidur lagi atau mau ngobrol dulu?" Kami sudah dekat dengan rumah kost yang kutempati. "Kamu mau ngobrol?" "Hmm." Aku mengangguk di bahunya. "Ada kopi?" "Kopi sachet mau?" "Boleh." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD