Jeda Kesembilan

1202 Words
Aku memikirkan kata - kata bunda. Dulu, bunda suka banget sama Eda. Selain sopan dan tidak neko - neko, menurut bunda, Eda adalah pria yang bertanggung jawab. Tapi sejak dua tahun lalu, bunda memintaku untuk segera menikah. Bunda khawatir dengan umurku yang tidak lama lagi menginjak tiga puluh. Sejak itu, bunda jadi kesal setiap membicarakan Eda. Bunda tidak bisa bertanya langsung pada Eda, karena menurutnya itu privasi kami. Tapi selalu mendesakku untuk meminta kepastian dari Eda. Terlebih, ayah sangat percaya dengan Eda. Bunda tidak bisa berkutik jika ayah meminta kami menghormati keputusan Eda. Jika Eda belum bicarakan pernikahan, menurut ayah, kami harus bersabar. Ayah sangat ingin Eda menjadi menantunya. Peluang apapun yang membuat aku dan Eda putus, ayah pasti akan cegah. Daripada kami bertengkar masalah pernikahan, ayah menginginkan kami menunggu Eda yang melamarku di waktu yang tepat. Saira sudah tidur, tapi mataku belum juga mau terpejam. Biasanya kami akan menghabiskan malam dengan bercerita. Tapi kali ini, pikiranku sibuk memikirkan perkataan bunda dan reaksi cemburuku tempo hari. Aku mau Eda juga merasakan hal yang sama padaku. Cemburu dan marah ketika ada pria lain dekat denganku. Kalau Eda tidak juga cemburu, mungkin aku harus mengikuti saran bunda. Tinggalkan Eda. Pasti sulit, kalau hampir setengah umurku, hanya Eda satu - satunya pria yang dekat denganku. Tapi ya, aku akan coba buat Eda cemburu. Bagaimana reaksinya jika dia melihatku dekat dengan teman laki - laki? Tidak. Bukan sekedar dekat, aku ingin tahu apakah Eda tergerak hatinya jika aku menyukai orang lain. *** Kami sampai di lobi kantorku. Aku turun dari motor dan memberikan helm pada Eda. "Nanti malam, Abang gak usah jemput. Aku mau pulang bareng temen." "Gak langsung pulang?" "Mereka ajak nongkrong. Karena Abang pasti gak suka suasananya, jadi aku pergi sama temen - temen aja ya." "Oke. Pulang dari nongkrong, telepon aja." Aku menahan lengan Eda yang hendak menyalakan kembali motornya. "Maksud aku, nanti malam aku pulang sama mereka. Abang bisa istirahat, besok ngajar pagi kan?" Eda menatapku beberapa saat. "Oke. Kalau mau dijemput, kabari Abang." Aku tersenyum selebar mungkin, "iyaaaa." Kelvin menyambutku di studio. Kami memang janjian akan keluar bersama selepas siaran. Aku, Kelvin, Aga, Iqbal, Irza dan Bianca. Kami bersiap menemani kaum milenials yang masih terjaga di wilayah jabodetabek malam ini hingga jam satu pagi. Program Aga dan Bianca selesai, kami pun memberikan salam pada pendengar. Dengan luwes Kelvin membuka program kami malam ini. "Yang sudah nonton Mr. Glass, kasih review dong kenapa kita harus nonton film besutan M. Night Shyamalan itu? Mention di twitter kita ya, kasih hestek stay on midnight dan kita akan bacain review yang paling menarik. Lagu pertama gue kasih buat nemenin malam kalian yang agak mendung ini, Heaven by Rendy, Afgan dan mantan gue, Isyana. Stay tune!" Lagu heaven berputar, Kelvin melepaskan headset-nya dan mengajakku ngobrol sampai lagu habis. Kelvin memintaku mengajak pendengar berinteraksi. "Kalau ada lagu yang cuma bisa lo dengerin dan gak akan sama ketika lo nyanyiin, ya lagu Heaven ini menurut gue. Harmoni dan chemistry mereka bertiga dapat banget di lagu ini. Kalian semua setuju gak sama pendapat Haura?" "Setuju banget. Gue gak yakin ada cover yang bisa menyamai suara Isyana di lagu ini." Kelvin menimpali. "Eh tapi tadi lo bilang Isyana mantan lo? Lo salah orang, Vin, mantan lo itu bukan Isyana, tapi Ih Syanaaaa." Kami terbahak, "sayang lah kalau Isyana dijadiin mantan. Mending langsung dijadiin manten aja kalau dia mau ama gue." Lanjut Kelvin. "By the way nih Vin, udah banyak banget yang mention kita dan me-review film Mr. Glass. Kalian tahu gak sih kalau film ini adalah spin off dari dua film Night Shyamalan sebelumnya?" "Oh ya? Gue tahu yang sebelumnya itu Split, memang ada lagi sebelum Split?" "Ada Vin. Sebelum Split justru ada sosok yang gak bisa sakit. Unbreakable, yang tokoh utamanya mantan suami Demi Moore itu lhoo--" "Oh Bruce Willis." "Yep." Kami larut dalam perbincangan seru yang melibatkan para pendengar setia kami hingga hari berganti. *** Aga, Irza dan Bianca sudah di lokasi. Aku, Iqbal dan Kelvin menyusul setelah siaran. Kafe yang dipilih Bianca lumayan jauh dari kantor. Dan meski sudah masuk jam setengah dua malam, daerah sini masih ramai kendaraan roda empat. Kelvin sempat kesulitan mencari tempat parkir. Aku melihat Bianca melambaikan tangan ke arahku. Cuacanya bagus. Hujan berhenti sebelum kami selesai siaran, meninggalkan jalanan yang masih basah dan bau daun yang menyegarkan. Meski saat ini sudah lewat tengah malam. Bianca memilih tempat di luar kafe, kami memiliki meja di atas rumput - rumput kecil yang basah. "Jam segini masih rame ya." Komentar Iqbal. Kelvin menarik kursi untuk kududuki dan mengambil tempat di sebelahku. Tangan kirinya disandarkan memanjang di kepala kursi milikku. Membuat Bianca sedikit melotot ke arahku, memberi isyarat. Kami membicarakan issue yang sedang berkembang di dunia penyiaran. Mengenai larangan setiap stasiun radio memutar lagu yang mengandung lirik bermuatan seksual di bawah jam sepuluh malam. Hal itu bahkan sudah diterapkan pada wilayah rekan - rekan kami di Jawa Barat. Gosipnya, Jakarta akan menyusul mengenai larangan itu. "Memangnya kurang kita coba sensor kata - k********r dan bermuatan seksual? Gak enak kali, lagi asyik - asyik dengerin lagunya Bebe Rexha, 'you stress me out, you kill me. You drag me down, you tiiiittttt.'" Aga berkomentar, kami tertawa melihatnya bernyanyi dan mengganti lirik ujungnya. "Sekarang, malah gak boleh diputer sama sekali lagu - lagu itu." Wajah Kelvin yang sedang fokus mendengarkan Aga dan Irza berkomentar, terasa dekat sekali denganku. Rasa - rasanya, aku malah bisa merasakan napasnya di telinga. Posisi ini membuatku sulit bergerak. Pesanan kami datang. Aku memilih roti bakar dan s**u untuk mengisi perutku malam ini. Sebenarnya tidak terlalu lapar, tapi ngobrol di tengah asap rokok dan gelas bir tanpa memiliki apa - apa untuk dimakan rasanya gak enak aja. Tapi pelayannya lupa memberikan garpu, aku berdiri untuk meminta alat makan. Di pintu masuk, aku berhadapan dengan dua orang pria mabuk. Salah satunya kesulitan berjalan, sementara temannya berusaha membopong tubuhnya yang lebih tinggi dan besar. Pria mabuk itu menceracau, menolak diajak keluar. Membuat langkahku terganggu dan menunggu mereka melewati pintu kafe dengan aman. Tiba - tiba pria mabuk itu melihatku dengan matanya yang teler parah. Tersenyum m***m dan menarik tanganku dengan kasar. "Lo nungguin gue? Kasih service terbaik malam ini." Igaunya. Aku berusaha menarik tanganku yang dipegang erat pria mabuk itu, sementara temannya berusaha menahan tubuh itu agar tidak luruh ke lantai. "Gue bayar lo, gue bayar! Gak ada yang gratis di Jakarta. Gue tahu." Dia berteriak - teriak sekarang. Pelayan kafe menghampiri kami dan berusaha membantuku melepaskan diri dari orang mabuk ini. Tapi dia berhasil mendorong salah satu pelayan hingga tersungkur dan temannya terbanting ke dinding. Tanpa melepaskan tanganku yang mulai kram. "Lepasin--" Bruk! Pria mabuk itu jatuh di bawah kakiku. Kelvin merangkul dan bertanya keadaanku. Aku mengangguk dan memastikan dia bahwa aku baik - baik saja kecuali tanganku di bekas cekalan tangan orang mabuk tadi. Kelvin meminta pelayan kafe dan teman dari pria mabuk itu untuk membawanya pergi. "Duduk aja, gue yang minta garpu dan pisaunya." Aku mengangguk dan berbalik. "Ra!" Aku berhenti dan menoleh pada Kelvin lagi. Dia melepas jaketnya dan memakaikannya padaku. Mendesah pelan dia berpesan, "jangan dilepas jaketnya sampe kost-an." Aku berterima kasih dan kembali menuju meja kami, di mana teman - temanku sedang berdiri panik dan Bianca yang langsung memelukku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD