Seribu Satu Bujukan

1260 Words
Pesona Sang Madu 2 Seribu satu bujukan "Satu malam Bang, adek rela membagi Abang dengan perempuan lain. Buat perempuan itu hamil, adek yang akan mengaturnya, Abang cukup menerima permintaan adek." pinta Lyra dengan wajah sedikit memelas. Wajah penuh permohonan. "Ide kamu gila, Dek!" Jawab Rasyad ketus. Ia lalu pergi meninggalkan Lyra. "Hanya ini yang bisa adek lakukan untuk kebahagiaan keluarga kita Bang." Langkah Rasyad memelan seiring dengan suara Lyra yang semakin melemah. "Mama, Ayah dan Bunda selalu bertanya dan kita terus membohongi mereka seolah-olah Tuhan belum mempercayakan kita untuk menjadi orang tua. Padahal sumber masalahnya ada sama adek, Bang! Sampai kapanpun adek tidak akan pernah bisa memberi mereka cucu, Abang tau kalau adek tidak akan pernah hamil dan melahirkan." Lyra mulai terisak. ia tidak bisa menahan kesedihan yang telah lama tersimpan di hatinya. "Rahim adek tidak berguna Bang, adek mandul." Akhirnya tangis yang tertahan itu pecah, Lyra terduduk dilantai kamar sambil sesunggukan. Rasyad berbalik dan berlari ka arah Lyra, ia berjongkok menyamakan posisinya dengan Lyra yang masih menangis tersedu. Kemudian ia memeluk tubuh Lyra yang naik turun karena menahan tangis. "Ssttt ... ssttt ... sudah, jangan sebut hal itu lagi." katanya sambil mengusap punggung Lyra. "Bang, menikahlah!" ujar Lyra kemudian. Lagi, diucapkannya kata itu lagi. Kedua matanya memandang Rasyad, air mata sudah membasahi seluruh wajahnya. "Tapi Dek, abang ---" "Biar adek yang carikan Bang, adek tau Abang tidak bisa, maka itu izinkan adek mencarinya. Abang cukup menerima dia yang adek cari. Demi kita Bang! Demi Mama dan Ayah Bunda." "Ya Bang, Abang mau kan?" Lyra kembali merengek dan membujuk Rasyad. "Terserah adek saja." jawab Rasyad pasrah. Lalu ia menuntun Lyra untuk berdiri. Lyra tersenyum puas, dihapusnya sisa air mata yang masih basah di kedua pipinya. "Terima kasih Bang. Nanti kita besarkan anak Abang bersama yaaa...." *** "Bang, coba lihat ini." Lyra mengulurkan ponsel nya pada Rasyad. Suaminya itu sedang duduk di sofa ruang tengah sambil menonton acara debat di salah satu statiun televisi. Lyra berdiri di belakang Rasyad. Dipijitnya kedua bahu Rasyad tanpa diminta. "Siapa ini Dek?" tanya Rasyad setelah melihat foto seorang gadis muda di ponsel istrinya. "Namanya Zahra. Cantik kan Bang?" "Lumayan." jawab Rasyad, lalu ia meletakkan ponsel tersebut di meja kemudian kembali fokus ke acara televisi yang di tontonnya. "Kok lumayan sih, Bang?" Lyra mengambil ponselnya yang dimeja, lalu ia duduk disamping Rasyad. "Yaaa, memang lumayan. Jadi kamu mau abang bilang apa?" Kepalanya menoleh pada Lyra, satu alisnya terangkat dengan beberapa kerutan yang ia buat di kening. "Bilang cantik kek, Bang. Karena Zahra memang cantik." Lyra memanyunkan bibirnya. "Hhmm.... Baiklah, cantik!” Rasyad mencubit bibir istrinya yang tampak sangat menggemaskan itu. "Bang, abang ingat Zaima? Sahabat adek sewaktu SMA." Tanya Zahra lagi. "Hmm..Ingat, bukannya dia sekarang di Jambi, ikut suaminya?" "Iya, dia di Jambi. Adek perempuan nya ditinggal sendiri di kampung. Kasian, dia yatim piatu dan sekarang bekerja di toko sembako." "Kan bagus Dek, ada kerjaan. Halal lagi." Kata Rasyad asal. Dicomotnya pisang goreng yang ada di meja, dengan cepat pisang tersebut sudah berpindah tempat dari piring ke mulut Rasyad. "Bang, adek sudah lamar dia untuk Abang." Zahra berkata dengan hati-hati. "Uhukk...Uhukkk.." Rasyad terbatuk mendengar ucapan Lyra. Dia tampak kaget saat Lyra bilang kalau ia telah melamar Zahra untuknya. Dengan cepat Lyra mengambilkan minum dan memberikannya pada Rasyad. "Adek bilang apa?" tanyanya lagi. "Adek udah lamar Zahra untuk Abang." "Secepat ini? Adek yakin?" "Iya Bang, bukankah lebih cepat lebih baik untuk kita." Rasyad mengubah posisi duduknya menghadap Lyra. Mengabaikan acara televisi yang sedari tadi di tontonnya. "Adek sudah izin sama Zaima. Katanya semua terserah Zahra. Adek juga sudah menemui Zahra. Dia setuju, Bang." ucap Lyra penuh semangat, lalu.... "Lihat ini Bang, kami bahkan sudah menandatanganinya." Lyra memperlihatkan selembar kertas yang sudah bertuliskan perjanjian nya dengan Zahra. "Nanti setelah dia melahirkan, kita akan memberinya modal untuk membuka toko sendiri di kampungnya, dan anaknya kita yang besarkan." "Aaahh ... adek sudah gak sabaran." Lyra berkata dengan wajah yang berbinar-binar. Tidak bisa ia menyembunyikan kebahagiaan yang akan menantinya dimasa yang akan datang. "Dek, pikirkan lagi. Pernikahan itu bukan mainan. Tidak bisa sesuka hati kita saja kapan mau menikah dan kapan mau berpisah. Tidak hanya tubuh sepasang manusia yang disatukan tapi juga hati dan perasaan." Lyra cemberut mendengar kata-kata Rasyad, kemaren dia sudah setuju untuk menikah sekarang kenapa bisa berubah lagi? "Abang kemaren sudah setuju." kata Lyra manyun. "Adek sudah carikan gadis yang baik, dia juga setuju dengan perjanjian yang adek minta. Dia tidak akan menuntut apa-apa, ini perjanjiannya." kata Lyra sambil menyodorkan lagi surat perjanjian yang sudah ia buat dengan Zahra. "Adek sudah merencanakan ini sebaik-baik nya Bang. Abang mau ya..., Mau ya Bang?" Akhirnya dengan seribu satu bujukan, Rasyad menganggukkan kepalanya. Ia menyetujui permintaan Lyra meskipun di dalam hati, ia masih berat untuk melakukannya. "Alhamdulllilah, Makasih Bang..." Dipeluknya Rasyad, lalu Rasyad pun membalas pelukan Lyra. *** Akhir-akhir ini Lyra sibuk mengurus pernikahan Rasyad dengan Zahra. Ia terlalu bersemangat dan tidak sabar menunggu hari pernikahan yang telah ia tetapkan sampai ia tidak menyadari kalau sikap Rasyad agak sedikit berubah. Rasyad tampak lebih cuek dan menyibukkan diri dengan urusan kantor. Pergi pagi-pagi sekali dan pulang larut malam. Biasanya ia selalu mengabari Lyra jika telat pulang atau lembur karena banyak pekerjaan. Lyra yang terlalu sibuk juga tidak pernah bertanya kepada Rasyad. Sepertinya ia marah atau kesal dengan permintaan Lyra, tapi Lyra yakin, yang ia lakukan murni untuk kebahagiaan mereka. Tidak masalah bagi Lyra membesarkan anak Rasyad dengan wanita lain, meskipun bukan ia yang melahirkannya namun ia bisa menjadi ibu yang baik untuk anak tersebut. Lyra akan menjaga dan mengasihinya seperti kasih sayang seorang ibu kandung pada anaknya. Bisa saja mereka mengambil dan mengangkat anak dari panti asuhan, tapi alangkah baiknya jika anak yang mereka besarkan adalah anak Rasyad sendiri. Dengan begitu, garis keturunan Rasyad tidak terputus. Dan Zahra, gadis yang masih berumur sembilan belas tahun itu tidak mempermasalahkan perjanjian yang Lyra buat dengannya. Awalnya Zahra tidak setuju dan marah dengan permintaan Lyra yang katanya tidak bermoral, namun entah kenapa besoknya dia menghubungi Lyra dan menyatakan bersedia menjadi istri Rasyad sampai ia melahirkan anak mereka, Zahra berjanji akan menyerahkan anaknya pada Lyra dan tidak akan menuntut apa-apa di kemudian hari. Asalkan ia diberi modal untuk membuka toko sendiri di kampungnya. Tidak masalah bagi Lyra, Lyra sudah menyiapkan uang dengan jumlah yang sangat besar. Sebenarnya Zahra adalah gadis yang baik, Lyra bersyukur dia menerima lamaran Lyra saat itu. Siang itu, Lyra mendatangi Zahra ke kampungnya, mereka makan siang di sebuah rumah makan padang tidak jauh dari tempat Zahra bekerja. Setelah makan, Lyra mengutarakan tujuan kedatangannya pada Zahra. “Mbak melamarku untuk menjadi istri kedua?” tanya Zahra dengan alis terangkat. Ia tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. “Iya Dek, mbak ingin kamu menjadi adek madu mbak.” Jawab Lyra. “Ta-tapi kenapa Mbak?” Lyra melihat bibir Zahra yang gemetar ketika menanyakan itu. Mungkin dia berfikir yang tidak-tidak dengan permintaan Lyra. Mana ada seorang istri yang mencarikan istri lagi untuk suaminya. Sebelum dia berfikir yang buruk, Lyra menjelaskan semuanya. Lyra memilih untuk jujur agar Zahra mempertimbangkan dan menerima lamarannya. “Mbak tidak bisa punya anak, mbak mandul. Dan mbak ingin memberi Bang Rasyad seorang anak. Walaupun anak itu tidak berasal dari rahim mbak, setidaknya ia berasal dari benih Bang Rasyad sendiri. Bang Rasyad anak satu-satunya, jika kami membesarkan anak orang lain, maka....” Lyra berhenti berkata, matanya menatap mata Zahra yang dari tadi serius mendengar ucapan Lyra. “Akan lebih baik jika mbak membesarkan anak kandung Bang Rasyad ketimbang anak orang lain.” kata Lyra memelan namun dengan penekanan yang kuat. “Maksud Mbak?” tanyanya lagi, matanya setengah melotot menatap Lyra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD