“Tanaman yang kalian cari adalah mahkota dari hutan ini. Sudah sejak lama kami mempertahankan tanaman itu tetapi orang-orangmu menghancurkan habitatnya dan membuat populasi tanaman itu hanya tersisa sedikit.” kata wanita itu dengan nada marahnya dalam pengucapan setiap kata.
Syahquita melangkahkan kakinya mendekati wanita itu, “Kami bukan bagian dari mereka. Kami ke sini untuk mencari tanaman yang dapat menyelamatkan hidup keluarga kami. Hanya satu tangkai, kami hanya membutuhkan satu tangkai saja.”
Langkah Syahquita terhenti sekitar 3 meter dari posisi wanita itu dan ia tidak bisa lebih dekat lagi karena ada beberapa orang yang muncul dari balik semak, atas pohon, balik pohon dengan panah di tangan mereka mengarah ke Syahquita. Albert melesat cepat melindungi tubuh istrinya.
“Jika kalian melepaskan panah itu maka aku tak akan segan-segan membunuh kalian satu per satu.” desis Albert.
Wanita yang sepertinya adalah pemimpin itu mengepalkan tangan kanannya di udara seakan memberi tanda kepada anggotanya untuk tidak melepaskan anak panah mereka.
“Kami tidak ingin menyakiti kalian ataupun merusak hutan ini. Kami hanya..”
“Membutuhkan anggrek hitam.” sela wanita itu dengan lantang.
Syahquita mengangguk pelan, “Iya, kami sangat membutuhkan tanaman itu.”
“Kami tidak bisa memberikan mahkota kami begitu saja pada orang asing.” kata wanita itu lalu memutar tubuhnya dan membuat hembusan angin kembali terasa.
Syahquita melangkah mendekat ke wanita itu, “Tunggu, aku mohon padamu. Jika tidak satu tangkai maka kami hanya meminta satu saja bunga itu. Kami sangat membutuhkannya.”
Wanita itu tak mau mendengarkan apa yang Syahquita katakan, hembusan angin perlahan-lahan mulai kencang dan membuat Syahquita semakin tidak mengerti dengan apa yang harus dilakukannya.
“Aku akan melakukan apapun untukmu, aku mohon. Bantu aku.” pinta Syahquita berteriak sekencang mungkin.
Wanita penjaga hutan itu tetap tidak mau mendengarkan apa yang Syahquita katakan padanya meski ia sampai memohon. Hembusan angin bertambah kencang hingga menerbangkan gulungan kertas lusuh ke kaki Syahquita. Ia mengambil gulungan itu dan membukanya dengan sangat hati-hati, gulungan kertas itu ternyata adalah sebuah peta yang menunjukan suatu tempat.
“Peta apa ini?” tanya Syahquita memperhatikan baik-baik gulungan kertas di tangannya.
Wanita penjaga hutan menoleh ke Syahquita, mata wanita itu terbelalak lalu berjalan mendekti Syahquita dan mengambil paksa gulungan kertas itu dari tangan Syahquita. Hal itu membuat Syahquita sedikit tersentak dengan sikap wanita itu padanya.
“Peta apa yang ada pada kertas itu? Apakah peta harta karun?” tanya Syahquita pada wanita penjaga hutan yang membelakangi tubuhnya.
“Bukan apa-apa. Kau tidak perlu mengetahuinya!” ketus wanita itu berjalan menjauh dari posisi Syahquita dan Albert.
Hembusan angin bertambah kencang hingga terasa seperti badai, Syahquita dan Albert kembali merasa tubuh mereka melayang bagaikan kupu-kupu. Sedikit demi sedikit hembusan angin berkurang hingga tak ada hembusan angin lagi. Wanita penjaga hutan dan kawanannya menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak.
Syahquita menoleh ke kanan dan kirinya, ia baru sadar bahwa hutan tempatnya berdiri saat ini berbeda dengan kondisi hutan saat ia bertemu wanita penjaga hutan. Ketika ia melihat wanita penjaga hutan, kondisi hutan itu begitu asri penuh dengan kehijauan dan indah selayaknya negeri dongeng sedangkan kondisi hutan tempatnya berdiri sekarang masih menampilkan hijaunya daun tapi suasananya tak seindah dan seasri hutan tadi, hutan ini nampak seperti hutan pada umumnya.
“Ada apa, Syah?” tanya Albert yang mendapati kebingungan dari raut wajah istrinya.
Syahquita menoleh ke arah suaminya dengan sorotan matanya yang bingung luar biasa, “Tidak ada, aku hanya merasa tidak enak badan.”
“Lebih baik kita lanjutkan besok saja, hari sudah semakin sore.” kata Albert menarik tubuh Syahquita ke dalam pelukannya, ia akan menggunakan kemampuannya ber-teleportasi.
Tak berapa lama keduanya sampai di home stay, Albert membawa Syahquita ke dalam kamar dan meminta istrinya untuk beristirahat sementara dirinya menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Syahquita terduduk di atas tempat tidur, pikirannya masih tertuju dengan beberapa hal yang sangat ganjil menurutnya. Mulai dari hembusan angin yang seperti badai, dua sisi hutan yang berbeda, penjaga hutan dan kawanannya serta perbedaan waktu yang sangat jauh. Syahquita ingat betul ketika ia dan Albert memasuki hutan saat itu waktu menunjukan pukul 10 dan Albert membawanya pergi dari hutan pukul 17.15 padahal ia merasa percakapan antara dirinya dan penjaga hutan itu sangat singkat tidak memakan waktu hingga berjam-jam, apapun yang dialaminya hari ini di luar akal sehatnya.
***
Langit gelap nan cerah tak membuat pikiran Syahquita tenang ketika melihatnya bahkan saat ini ia tidak bisa memejamkan matanya meski sudah berusaha untuk tidur sejak lima belas menit lalu sedangkan Albert sudah berada di dalam alam mimpinya sedari tadi.
Hembusan angin menerpa gordyn kamarnya karena jendela yang terbuka, Syahquita beranjak dari atas tempat tidur untuk menutup jendela itu. Tangannya meraih daun jendela dan bersiap menutupnya akan tetapi matanya menangkap sesuatu yang mengurungkan niatannya itu. Syahquita membuka lebar-lebar daun jendela.
“Kami membutuhkan bantuanmu.” ucap seorang wanita.
Syahquita memperjelas pandangannya ke arah wanita itu, ia tidak menjawab apapun untuk merespon wanita itu. Hembusan angin kencang membuat Syahquita memejamkan matanya dan seketika tubuhnya sudah berada di depan beberapa orang itu.
“Apa yang dibutuhkan penjaga hutan dan kawanannya dariku?” tanya Syahquita begitu hati-hati.
Wanita yang ternyata penjaga hutan itu memberikan gulungan kertas lusuh ke Syahquita, dengan penuh keraguan Syahquita menerima gulungan yang diberikan padanya. Ia membuka gulungan secara perlahan-lahan.
“Apa yang kau lihat dalam kertas itu?” tanya penjaga hutan.
Syahquita menatap wajah penjaga hutan dan gulungan kertas lusuh yang ia lihat siang tadi di hutan dalam genggamannya secara bergantian, “Sebuah peta, mengapa kau memberikan ini padaku?”
“Karena hanya kau yang dapat melihat isi dari kertas itu.” jawab penjaga hutan.
Syahquita tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh penjaga hutan itu, “Apa maksudmu? Aku dapat melihatnya dengan jelas, apa kau ataupun kawananmu tidak dapat melihatnya?”
Penjaga hutan itu menggeleng dengan senyuman kecilnya, “Tidak sama sekali. Hanya pemercaya sejatilah yang dapat melihatnya.”
Syahquita terdiam memandangi wajah penjaga hutan itu, ia pernah mendengar Arla mengatakan hal itu padanya. Dan Syahquita tahu apa arti dari pemercaya sejati, semoga saja kali ini ia tidak akan berhadapan dengan Mulgarath atau semacamnya.
“Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?” tanya Syahquita.
Penjaga hutan itu tersenyum kecil kepada Syahquita, “Kami memintamu untuk membawa kami ke dalam tempat yang tertera pada peta itu.”
Syahquita memperhatikan peta dalam genggamannya, ia menghela napas pelan lalu mengangguk setuju dengan permintaan dari penjaga hutan, “Baiklah, aku akan mengantarkan kalian pada tempat itu.”
Penjaga hutan memegang tangan Syahquita sangat erat, hembusan angin kencang dapat Syahquita rasakan bahkan ia melihat bahwa dirinya berada di pusaran angin yang sangat besar. Sejujurnya Syahquita masih tidak mengerti mengapa setiap kali ada penjaga hutan maka akan ada angin yang berhembus begitu kencang selayaknya badai.
Pusaran angin membawa Syahquita, penjaga hutan beserta kawanannya ke dalam hutan tempat mereka bertemu pertama kalinya. Hembusan angin mulai menghilang, Syahquita memperhatikan sekelilingnya yang menampilkan sisi lain dari hutan.
“Sebenarnya tempat apa ini? Mengapa hutan ini sangat mirip dengan yang ada di negeri dongeng?” tanya Syahquita.
Penjaga hutan itu tertawa kecil mendengar pertanyaan Syahquita, “Kau memang pemercaya sejati yang selalu membandingkan dengan kepercayaanmu. Tempat ini adalah rumah bagi penjaga hutan, ya memang sangat berbeda dari hutan pada umumnya agar orang asing tidak bisa merusak rumah kami yang sesungguhnya. Tapi meski begitu ada beberapa bagian yang sudah rusak seiring dengan rusaknya hutan manusia.”
“Apa tempat ini hanya sebuah khayalan belakang?” tanya Syahquita lagi.
“Bagimu mungkin iya tapi bagiku tempat ini sungguh nyata. Dahulu kala penampilan dan kondisi hutan kami dan hutan manusia sangatlah sama. Kesejukan, keindahan, keragaman flora dan fauna, keasrian yang sama. Manusia terlebih orang asing datang ke hutan ini merusak ekosistem di dalamnya dan menyisahkan kenangan bagi kami semua.” jawab sang penjaga hutan dengan nada sendu.
Syahquita memperhatikan baik-baik raut wajah penjaga hutan yang berubah menjadi sedih seiringan dengan kata demi kata yang dikeluarkannya. Kalimat yang terucapkan seakan mengambarkan keindahan dulu.