Part 4 (c)

1263 Words
            “Daddy.” seru Oliver menatap Albert dengan berlinang air mata.             Albert terduduk lemas di kursi samping brankar, ia tak sanggup harus melihat keadaan ini. Di satu sisi istrinya dan di sisi lain anaknya, ia tidak bisa melakukan apapun.             Albert meraih tangan kanan Syahquita, menempelkan keningnya di punggung tangan istrinya, “Maafkan aku, Syah.”             Albert menangis tersedu-sedu, tangisannya begitu lirih bahkan lebih lirih dan sendu dari tangisan Oliver. Tanpa Syahquita hidup anak dan suaminya dalam masalah.                                                                                            ***             “Mommy.” seru Oliver memasuki ruang pengobatan bersama Arla.             “Hi, sayang.”             “Hii, Syah. Bagaimana keadaanmu?” tanya Arla.             Syahquita mengembangkan senyuman di wajah pucatnya, “Sejauh ini aku merasa baik.”             Sejak dua hari yang lalu Syahquita membuka matanya setelah tak sadarkan diri tiga hari lamanya. Hal itu pun membuat Oliver terlebih Albert merasa sangat bahagai, cahaya dalam hidupnya telah kembali. Tetapi, Syahquita belum mau bicara dengan Albert bahkan suaminya itu mendapat informasi perkembangan kesehatan Syahquita melalui Arla dan saudaranya yang bertemu dengan istrinya.             Meski begitu Albert selalu setia menunggui istrinya di depan ruang pengobatan, Albert rela tidur beralaskan lantai demi istrinya. Ia tak bisa jauh dari istrinya. Katakanlah Syahquita kejam atau jahat pada suaminya sendiri, di saat semua orang di perbolehkan menemuinya kecuali Albert, hanya Albert. Bahkan kemarin Yashita dan Devian serta Drake yang notabane-nya adalah mantan musuhnya tetap di perbolehkan untuk bertemu dengannya.             “Arla, apa kau melihat Alger?” tanya Syahquita.             “Hmm, Alger sedang ke istana. Ada apa?” tanya Arla balik bertanya.             “Aku sudah bosan berada di ruangan ini. Aku ingin pindah ke kamarku.” jawab Syahquita dengan wajah murung.             Oliver memainkan ibu jari dan jari telunjuknya di kedua sudut bibir Syahquita, membentuk sebuah senyuman yang selalu ingin dilihat olehnya.             “Mommy, jangan bersedih.”             Syahquita tersenyum lebar melihat tingkah anaknya, ia menarik tubuh Oliver ke dalam pelukannya. Ia memeluk begitu erat tubuh mungil anaknya.             “Mommy merindukanmu, Nak.” gemas Syahquita.             “Aku juga merindukan, Mommy.” sahut Oliver.             “Hmm macam teletabius saja lah kalian ini.” kata Arla. Syahquita dan Oliver tertawa bersamaan mendengar perkataan Arla.             Arla dan Oliver menemani Syahquita di ruang pengobatan hingga sore hari, mereka melakukan kegiatan yang tak akan membuat Syahquita bosan berada di ruangan itu. Ketika Dawin datang, Arla dan Oliver pergi dari ruang pengobatan sebab Arla harus memandikan Oliver terlebih ia juga harus menyiapkan makan malam untuk semuanya.             “Bagaimana keadaanmu, Syah?” tanya Dawin.             “Aku sudah sangat baik. Jadi katakan pada Alger untuk mengeluarkanku sesegera mungkin. Aku sudah bosan, Dawin.” protes Syahquita.             Alger melarang keras Syahquita keluar dari ruang pengobatan bukan tanpa alasan, hal itu pun dipicu oleh desakan para pangeran yang memang menginginkan kondisi Syahquita benar-benar pulih barulah ia di perbolehkan pindah ke kamarnya. Sebenarnya Alger tak masalah jika Syahquita ingin pindah ke kamarnya toh tidak ada hal serius yang diderita oleh Syahquita. Sejauh ini luka di kepalanya tidak berefek pada apapun.             “Ya kita tanyakan saja pada Alger dan Joven.” sahut Dawin.             “Kalian memang jahat. Kau tidak tahu betapa membosankannya berada di ruangan ini seorang diri. Terlebih ketika malam aku merasa takut.” keluh Syahquita.             “Bukankah Arla menemanimu di sini. Jadi untuk apa kau takut?” ejek Dawin.             “Iya, tapi tetap saja, aku tidak suka suasananya. Akan lebih menyenangkan jika berada di kamar.” geram Syahquita.             Dawin memicingkan matanya seraya tersenyum jahil, “Kau merindukan kamarmu atau suamimu?”             Syahquita memutar matanya jenuh, “Jika aku merindukannya maka aku akan memintanya datang ke sini.”             “Sungguh ironis. Pantas saja Albert seperti orang yang hilang akal. Jika aku di posisinya mungkin akan lebih baik kau memukulku hingga babak belur daripada diacuhkan oleh istriku sendiri. Sakit, sungguh sangat sakit, Syah.” ucap Dawin dengan wajah dibuat meringis seakan menahan tangis.             Syahquita memukul pelan kepala Dawin, “Dasar bodoh! Aku tidak mengacuhkannya hanya saja aku… Entahlah aku tidak tahu.”             “Kalian berdua sangat rumit.” cibir Dawin.             Syahquita menundukkan pandangannya sejenak lalu mengangkatnya kembali, matanya tak sengaja melihat ke arah jam dinding di seberangnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.30 waktu setempat.             “Dawin, kau tidak mau makan malam? Pergilah, aku juga mau mandi.” kata Syahquita.             “Baiklah, mari aku bantu kau ke kamar mandi.” sahut Dawin.             Perlahan-lahan Syahquita menurunkan kakinya dari atas tempat tidur sementara Dawin membenarkan selang infus Syahquita agar tidak terlilit. Dawin memegang erat lengan tangan Syahquita dan menuntun kakak iparnya ke kamar mandi, Syahquita mengambil alih infusan-nya.             “Terima kasih, Dawin.”             “Oke, aku akan naik ke atas dan meminta Arla menemanimu.” ujar Dawin mendapat anggukan mantap dari Syahquita.             Syahquita masuk ke dalam kamar mandi lalu menutup rapat pintu kamar mandi. Dawin pun melenggang pergi dari ruang pengobatan untuk makan malam dan memanggil Arla menggantikan nya menjaga Syahquita.                                                                                     ***             Matanya sangat mengantuk tapi entah mengapa sulit untuk di pejamkan. Syahquita sudah berusaha untuk mengistirahatkan matanya sejak setengah jam yang lalu namun usahanya gagal. Tak ada Arla yang menemaninya seperti biasa, ia pun tak mau merepotkan Arla untuk terus menemaninya di ruangan ini.             Perlahan Syahquita mengibaskan selimutnya, menurunkan kakinya dari atas brankar lalu memakai slipper yang tersedia di bawah brankar. Syahquita meraih tiang infus dan melangkahkan kakinya keluar dari ruang pengobatan.             Saat pintu ruang pengobatan terbuka matanya terbelalak saat melihat suaminya tertidur di atas lantai dengan lengan sebagai bantal. Syahquita berjalan ke sisi kirinya yang mengarahkan ke lantai atas, ia mencoba untuk tidak peduli tapi hati kecilnya tidak setuju dengan tindakannya. Syahquita memutar tubuhnya kembali, berjalan ke posisi Albert tertidur, ia berdiam diri sejenak lalu kembali melangkah masuk ke dalam ruang pengobatan.             Syahquita meraih selimutnya di atas brankar kemudian melangkah keluar, ia menutup pintu ruangan itu secara perlahan-lahan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun karena takut membangunkan suaminya. Syahquita membentangkan selimut ke tubuh Albert dan mengambil tempat di samping suaminya, ia mengangkat kepala suaminya sangat hati-hati dan meletakkannya di atas pangkuannya.             Semarah apapun Syahquita tak akan bisa melihat suaminya kesusahan. Ini kali pertama Syahquita melihat Albert terbaring di depan ruang pengobatan, ia tidak pernah menyadari kebiasaan baru suaminya belakangan ini. Tangan Syahquita mengelus pelan rambut-rambut hitam suaminya seakan menyalurkan kelembutan dan kenyamanan untuk suaminya.             Mata Syahquita mulai terasa berat untuk tetap terjaga, perlahan namun pasti matanya tertutup rapat dalam posisi terduduk. Tangannya yang semula bermain ke atas kepala suaminya sudah tidak ada pergerakan lagi. Kenyamanan dan kelembutan yang Albert rasakan hilang begitu saja alhasil membuat matanya terbuka dan sedikit terkejut dengan kehadiran sang istri di sampingnya.             Tanpa membuat gerakan Albert bangun dari posisinya, ia menyandarkan punggungnya di dinding belakangnya, membentangkan selimut ke tubuh mereka dan merangkul pundak istrinya. Albert merapatkan tubuhnya ke tubuh Syahquita, ia mencium pucuk kepala istrinya begitu lembut. Albert kembali memejamkan matanya.             Selama berjam-jam mereka tertidur dengan posisi terduduk dan saling berdempetan membuat punggung Syahquita sedikit pegal, ia membetulkan posisinya dan merasakan sesuatu yang janggal di atas pahanya yang semula berat kini sangat ringan. Syahquita membuka matanya dan tak dapat menemukan suaminya di atas pangkuannya, dari ekor matanya ia mendapati suaminya sedang terlelap.             Syahquita membuat pergerakan yang membuat Albert terbangun, “Hei, apa yang kau lakukan?” tanya Albert dengan suara seraknya.             “Punggungku sakit.” keluh Syahquita memajukan sedikit tubuhnya.             “Sebaiknya kau kembali ke dalam.” saran Albert.             Syahquita menggeleng pelan, “Tidak, aku sudah bosan berada di sana.”             Albert mengangguk pelan dengan kepala tersandar di dinding, “Bagaimana keadaanmu?” Albert melirik Syahquita.             “Sudah membaik. Kau bagaimana?” tanya Syahquita balik bertanya.             “Sedikit membaik.” jawab Albert.             Syahquita tertawa kecil mendengar jawaban konyol suaminya, “Sedikit membaik?”             Albert menoleh ke arah kirinya, “Ya, sedikit membaik karena aku bisa melihatmu secara langsung.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD