Pergolakan Hati

1740 Words
Mereka akhirnya tiba di tempat tujuan selanjutnya. Setelah menghabiskan perjalanan selama belasan jam di mobil, mereka akhirnya tiba di Charleston, South Carolina. Mereka menghabiskan waktu dua hari untuk berkeliling di Washington DC dengan lebih lama dan lebih puas. Sebagai anak arsitek, ketiganya kompak memilih bangunan-bangunan seperti United State Capitol, the White House, Lincoln Memorial, Smithsonian Institution Offices, Washington Monument, Thomas Jefferson Memorial, Smithsonian National Air and Space Museum, National Gallery of Art, Smithsonian National Museum of Natural History, Library of Congress, International Spy Museum, World War II Memorial, Smithsonian Castle, John F Kennedy Center of Performing Artis, dan Old Stone House. Mungkin bagi sebagian besar orang, perjalanan ini terlihat membosankan. Apalagi yang mereka bahas adalah arsitektur geudng baik interior maupun exteriornya. Bahkan setiap datang ke tempat-tempat itu, mereka selalu mengabadikan momen. Walau lebih banyak foto-foto dari bangunan-bangunan itu. Bagi lelaki berbaju biru yang kini sibuk melihat hasil jepretannya, ia paling menyukai Smithsonian Castle dan Old Stone House. Ia menyukai gaya arsitektur dari castle tersebut. Kemudian menginspirasinya untuk membuat rumah dengan warna merah dan dibangun dengan batu yang menurutnya unik. Sama halnya dengan The Old Stone. Smithsonian Castle dibangun dengan menggunakan batu merah saneca. Arsitekturnya bergaya faux Norman (kombinasi motif Romanesque akhir dan Gothik awal abad ke 12) dan menjadi landmark sejarah nasional pada 1965 di Amerika Serikat. Selain itu, perpaduan gaya gothic dan romanesque dipilih untuk membangkitkan Collegiate Gothik di Inggris. Bangunan ini disebut bergaya gothik karena memiliki struktur yang ramping dan kuat. Dinding-dindingnya terlihat tipis tetapi kuat dan jendela-jendela rangka besinya ramping dan tinggi. Di sebut bergaya romanesque karena memiliki penanda berupa lengkung berujung. Keunikan lainnya adalah konstruksi bangunannya tinggi dengan tiang-tiang tegas dan menara-menara berbentuk lancip. Daun jendela bangunan ini berwarna merah dan langit-langitnya menjulang ke atas sehingga membuatnya tampak kokoh dan kece sekali. "Tidur, Bung! Besok masih ada tempat keren lagi yang akan kita kunjungi!" tegur sahabatnya yang baru selesai mandi dan mendapatinya masih asyik di depan laptop. Tiba-tiba terpikir sebuah desain untuk membuat rumah dari batu. Ia terinspirasi dari Smithsonian Castle dan The Old Stone. Kedua konsep bangunan itu bisa ia gabung dengan gaya arsitek khas Indonesia seperti rumah Gadang dengan gaya modern. Bukankah akan keren? "Duluan aja," tuturnya. Ia memang terkadang lupa jam istirahat. Ia lebih suka menghabiskan waktu di depan laptop dengan beragam desain bangunan. Dibandingka bila harus duduk termenung, itu akan membuatnya merasa kesepian sekali. Lalu hatinya akan menjadi sendu karena teringat seseorang yang jauh di sana. Dan dikala seperti ini, ia hanya diam dalam waktu yang lama. Memikirkan apa yang seharusnya tak perlu ia pikirkan lagi. Karena masing-masing orang telah memiliki kehidupan. Ia tak perlu mengorek masa lalu. Ia hanya perlu fokus ke depan untuk meneruskan hidup. Walau tak yakin pula. Ia menghela nafas. Nyatanya, sekalipun ia membuat otaknya bekerja keras, ia tak bisa membohongi hatinya yang masih merindu. Merindukan seseorang tetapi ia tak pernah berani menyampaikannya. Bertemu dan melihatnya pun tak berani. Namun dorongan ini begitu kuat menyala di d**a. Hingga tak lama, pintu yang terhubung ke balkon apartemen itu pun terbuka. Mereka memang menyewa apartemen selama tinggal beberapa hari di sini. Alasannya? Hanya agar nyaman saja dibandingkan tinggal di hotel. Dan lagi, mereka tak pernah membayar penginapan selama liburan panjang sebelum kembali ke tanah air. Apartemen-apartemen ini tentumilik orang-orang Indonesia yang berbaik hati memberikan tumpangan. Kebanyakan dadi mereka memang mahasiswa yang kebetulan juga sedang berlibur ke daerah lain di Amerika Serikat. Mata salah satu sahabatnya menyipit ketika melihat lelaki itu sudah berdiri memunggunginya sembari menatap bangunan-bangunan modern yang ada di Charleston. Kemudian ia geleng-geleng kepala dan memutuskan untuk tidur lagi. Mereka memang tak pernah tahu apa yang digalaukan lelaki itu ketika sedang termenung. Setiap ditanya, apakah ada masalah? Lelaki itu hanya akan tersenyum tipis. Padahal ekspresi wajahnya berbicara dan tak bisa berbohong sama sekali. "Kejar dong, Dit! Masa pergi sih? Kalo emang sayang ya perjuangin lah! Sekalipun katanya dia mau menikah sama orang lain, tapi kan dia cintanya sama lo! Keluarganya juga tahu kan?" Itu kata-kata Nara yang mengomelinya ketika tahu kisahnya seperti apa. Gadis itu pula yang mengabarkan kalau Dina di kejauhan sana belum kunjung menikah dan itu artinya, ya menurut Nara, tidak berlanjut. Hubungan gadis itu dengan lelaki lain sudah selesai. "Lagipula, kalo dia memang mau menikah, harusnya di posting dong, foto lamaran kek persiapan pernikahan kek," dumelnya lagi. Namun ia sadar dan tahu betul kalau itu tidak mungkin. Karena Dina memang bukan gadis seperti itu. Bukan yang hobi memamerkan hidupnya. "Batal," begitu tutur Husein. Ia tak tahu Husein tahu dari siapa kabar itu. Tapi sebetulnya, ia sudah tahu lebih dulu. Dari mana ia tahu? Hohoho. Saat mendengar kabar itu dua tahun lalu, sejujurnya ia sangat goyah. Sangat bimbang. Sangat dilema. Sangat galau. Tapi akhirnya, ia tetap menguatkan tekad untuk berangkat ke Amerika Serikat. Ia percaya jika jodoh tak akan ke mana. Tapi omelan Teo juga ikut membuatnya pusing kepala. "Jodoh emang gak ke mana, Dit. Tapi kalo gak di perjuangin ya sama aja dodol!" Ia hanya bisa menghela nafas setiap mengingat perkataan-perkataan mereka. Ia tahu kalau mereka perduli. Tapi ya sudah lah. Semua sudah berlalu dan ia hanya perlu menatap ke depan. Sekalipun Dina tak menikah hingga sekarang, ia tak yakin jika gadis itu belum menemukan penggantinya. Ingat dua tahun pertama ketika ia dan gadis itu berpisah bukan? Gadis itu sudah menemukan lelaki yang baru. Lalu apa bedanya dengan sekarang? Haaah. Dalam hati, ia memang masih ingin memperjuangkan. Bahkan ketika akhirnya berada di titik ini. Meski segalanya sudah berubah. Seiring berjalannya waktu, Fasha pun sudah melupakannya. Ia tentu thah kalau gadis itu sudah punya pacar sejak dua tahun terakhir. Walau masih mencarinya sebagai sahabat. Ia saja yang menjauh. Ia perlu sendiri. Ia perlu menata hati dan juga hidupnya. Ia ingin memperbaiki segalanya dan itu memang tak mudah hingga akhirnya datang hari ini. Hari di mana ia bisa dengan bangganya menunjukan pada dunia bahwa Adit, ya Adit, yang sekarang sudah jauh berbeda dengan dulu. Walau namanya belum tumbuh besar dan terkenal. Tapi secara materil, ia sudah lebih mapan dan mandiri. Tidak lagi bergantung pada perusahaan milik orang lain. Meski harus merintis semuanya dari nol. Meski harus pergi meninggalkan Indonesia. Walau akhirnya, ia sendiri yang memilih untuk kembali. Awalnya memang karena bujukan kakaknya tapi kini? Ia sudah tak yakin lagi. "Ini Charleston, bro!" seru sahabatnya ketika mereka sudah tiba di tempat wisata pertama yang akan mereka kunjungi hari ini. Usai sarapan pagi dengan memasak mie instan perbekalan di apartemen, mereka memang langsung berangkat karena tak mau membuang-buang waktu. Sebab perjalanan mereka setelah ini akan lebih panjang. Walau rencana ke Kanada agaknya gagal karena mereka tak punya waktu cukup banyak. Charleston merupakan kota tertua dan terbesar di antara tempat wisata di Amerika Selatan. Charleston dikenal karena budayanya yang unik, yang memadukan unsur tradisional Amerika Selatan, Inggris, Perancis, dan Afrika Barat. Perjalanan wisata pertama mereka di Charleston dimulai dengan berjalan-jalan melewati distrik bersejarah. Adit sibuk mengalungkan kameranya kemudian memotret bangunan-bangunan yang bagus. Ini akan sangat berguna ketika ia harus mendesain proyek nanti. Meski ia sendiri masih membawa gaya bangunan tradisional Indonesia sebagai daya tarik utama dalam setiap desainnya, tapi memadukan dengan gaya tradisional barat juga tak ada salahnya. Sepertinya akan tampak keren sekali karena ia sudah terbayang akan seperti apa bangunan rumah impian yang ingin ia bangun nanti. Entah di mana ia akan membangunnya, ia belum tahu. Tapi akan tampak indah. Matanya bahkan tak berkedip setiap mengambil jepretan foto. Ia terpesona dengan kawasan ini Karana bagai membawanya kembali ke masa lalu Charleston. Adit sempat mempelajari sejarah Amerika Serikat dan menurutnya keren. Ia memang penyika sejarah karena ia tahu jika setiap sejarah akan mempengaruhi gaya arsitektur bangunan yang dibangun saat itu. Sama seperti yang terjadi di Indonesia di mana kita bisa menemukan bangunan-bangunan peninggalan Belanda di Kota Tua, Jakarta, karena terhubung dengan sejarah bangsa Indonesia yang pernah dijajah Belanda. Terakhir, ketika ia datang ke Belanda, ia juga banyak melihat bangunan-bangunan di sana yang mirip dengan bangunan-bangunan yang ada di Indonesia. @@@ Dina cuma tersenyum tipis atas ledekan-ledekan yang datang saat om-nya mengenalkannya pada rekan-rekan kerjanya di rumah sakit. Karena ia mulai mengisi acara televisi, ada beberapa yang mengenalnya. Bahkan ada yang terang-terangan menanyakan status. Siapa tahu berjodoh dengan anak-anak mereka, begitu katanya. Fadlan sih cuma senyam-senyum menahan tawa. Ia pasti akan diomeli ponakannya ini setelah ini. Apa boleh buat lah, toh ia juga tak tahu kalau Dina akan mengantar langsung pesanannya kemari. Benar saja, baru saja rekan-rekan kerjanya menghilang, Dina sudah mengomel. "Ya, namanya juga obrolan. Kan kali aja berjodoh." "Iish! Om udah kayak mama aja!" Fadlan terkekeh lantas merangkul ponakannya itu. Mengajaknya untuk makan siang yang sudah lewat dua jam lalu di kantin. Mumpung Dina kesini, pikirnya. Adiknya pasti sibuk di ruang operasi. "Emangnya ada lagi yang dikenalin sama mama kamu?" Haiish. Dina menghela nafas sambil mendelik. Hal yang membuat Fadlan terkekeh. Tentu saja tak ada yang mamanya kenal kan semenjak Andra sering datang ke rumah. Walau mamanya sering berkomentar soal Andra tapi melihatnya yang merespon dengan ogah-ogahan, kini sudah jarang diangkat sebagai bahan pembicaraan oleh mamanya. Sementara Fadlan hanya merasa perlu membantu. Toh anak gadisnya sudah menikah. Kedua anak lelakinya belum memikirkan pernikahan dan lagi pula mereka lelaki. Jadi santai saja seperti ia dulu. Dibanding Fasha, Dina lebih darurat. Karena Fadlan sudah tak pernah lagi mendengar kabar Dina sedang dekat dengan siapa. "Perempuan itu kan gak baik kalau lama-lama sendiri." "Kak Aya?! Dulu?" Fadlan menepuk-nepuk bahu ponakannya itu. "Kan takdir jodohnya." Dina berdecak. "Ih, om. Kak Aya dulu juga kan kayak gini. Ya udah jalani aja dulu. Kalau emang kudu sendiri dulu ya udah," tuturnya dengan cuek. Fadlan terkekeh. Ia jadi serba salah membicarakannya. Maksudnya Fadlan sih, kalau Aya kan dulu juga tetap mencari walau tetap mentok juga. Pada akhirnya, Aya bertemu jodoh justru disaat ia sudah pasrah dan berpikir gak dapat jodoh di usia yang menjelang tiga puluh tahun. Kalau Dina kan beda. Cuek aja. Maksudnya, lelaki yang suka sama Dina itu banyak. Hanya saja Dina tak memerdulikannya. Kalau Aya dulu kan enggak ada yang naksir sampai akhirnya ada yang datang melamar ke rumah. Jadi Dina punya lebih banyak kesempatan dan pilihan tapi tak diambilnya. Begituuu! "Sendiri itu biasa kali, om. Ih om! Kayak gak pernah jomblo aja," tuturnya yang membuat Fadlan terkekeh. Kalau membicarakan jomblo sih, Fadlan lebih paham rasanya. Apalagi saat saudara kembar sablengnya lebih dulu menikah. Bah! @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD