Bab 2

1101 Words
Seperti yang telah direncanakan, sore itu Reza datang kembali ke kediaman Arumi. Arif telah pulang dari bekerja menjelang ashar, agar begitu Reza datang ia yang akan langsung menghadapnya. Reza masuk dan duduk setelah dipersilahkan tuan rumah. Ia teramat sangat tenang untuk ukuran orang yang akan menemui calon mertuanya. Seolah semua memang sudah disiapkan mental dan segala macamnya. Sara datang membawakan dua cangkir teh manis panas kemudian menyimpannya di atas meja. Reza mengangguk berterima kasih pada calon ibu mertuanya itu. Namun, Sara tetap ketus ia masih tak menerima kedatangan pria yang terasa bagai penculik gadisnya. Arumi sendiri menunggu di dalam kamar, karena itu syarat dari sang ayah jika dia mau semua berjalan dengan lancar. Dengan jantung berdebar kencang, Arumi memasang pendengaran dengan tajam untuk menguping pembicaraan yang akan dilakukan ayah dan pria pujaan hatinya. "Saya sudah mendengar maksud kedatangan Nak Reza kemarin dari istri saya. Tapi hari ini saya ingin mendengarnya langsung dari Nak Reza sendiri," ucap Arif lembut. "Betul, Pak. Seperti yang telah Bapak dengar, kedatangan saya ke sini bermaksud untuk melamar Arumi, putri Bapak." "Ini terlalu mendadak. Setelah kamu melukainya, meninggalkan selama hampir lima tahun, dan sekarang datang tiba-tiba. Sebagai seorang bapak, saya tentu saja ada rasa khawatir jika putri saya kembali dipermainkan!" "Saya akan menjamin kehidupannya, Pak. Memang sudah saya tekadkan, saya akan melamar Arumi saat saya telah sukses dan memiliki segalanya seperti sekarang." "Bahagia itu relatif, Nak. Dengan memiliki harta benda tidak menjamin kamu bisa benar-benar dipercaya untuk saya serahkan Arumi." "Tapi saya sungguh-sungguh, Pak. Saya mencintainya dengan tulus. Tak ada ubahnya dari terakhir kali saya menemuinya sebelum meninggalkannya." Arif bergeming, ia menatap lekat ke arah pria yang duduk di hadapannya. Mencari tahu apakah lawan bicaranya ini sungguh-sungguh atau malah sedang berbohong. Setelah beberapa saat Arif menarik nafas panjang, yang ia temukan di raut wajah Reza akan menjadi jawabannya. "Jadi bagaimana, Pak? Saya tidak akan memaksa, tapi alangkah senangnya jika Bapak mengizinkan saya menikahi Arumi." Arif masih bergeming. Ia memainkan jari-jemarinya berpikir, menimbang-nimbang keputusan demi kesenangan putri tunggalnya. "Ya, saya menerima lamaran, Nak Reza!" Seketika Reza menatap ke arah Arif, memastikan bahwa jawaban yang didengarnya benar-benar keluar dari mulut calon mertuanya. Kemudian matanya berbinar, sejak awal ia tahu semua akan mudah didapat tapi tak disangkanya semua akan sangat membahagiakan seperti ini. "Ya, saya menerima lamaran, Nak Reza!" Seketika Reza menatap ke arah Arif, memastikan bahwa jawaban yang didengarnya benar-benar keluar dari mulut calon mertuanya. Kemudian matanya berbinar, sejak awal ia tahu semua akan mudah didapat tapi tak disangkanya semua akan sangat membahagiakan seperti ini. Arumi yang juga tak percaya mendengar jawaban dari ayahnya segera keluar dari balik kamar. Ia ikut serta menatap ayahnya tak percaya dengan mata mulai mengembun siap meneteskan airnya. Kedua insan yang pernah terpisahkan itu sama-sama merasakan kebahagiaan tiada tara. Kecuali Sara. Ia menatap Arif dengan tatapan tak percaya sekaligus tak suka. Bukan hanya itu, bahkan ia berusaha menjauh dari mereka. "Terima kasih, Pak. Arumi akan bahagia setelah ini!" Arumi memeluk Arif seraya menciumnya. Kemudian ia duduk di sampingnya. "Ya, bapak sangat berharap akan kebahagiaanmu. Semoga dengan ini kamu benar-benar bahagia, Nak." "Pasti, Pak. Saya yang akan menjaminnya. Saya yang akan membahagiakan Arumi karena ini janji saya." "Bapak percayakan padamu. Semoga kalian bahagia selalu." Arumi terus menyunggingkan senyuman. Kentara sekali di kedua bola matanya serta pipi yang merah merona. Jika sedang sendiri mungkin ia sudah lompat-lompat saking senangnya. "Baik, Pak. Kalau gitu saya permisi. Nanti saya datang kembali untuk membicarakan tanggal nikahnya." "Baik, Nak. Hati-hati di jalan." Arumi serta ayahnya mengantar Reza hingga ambang pintu. Pria itu memang tak main, ia datang membawa mobil pribadi dengan harga yang cukup fantastis. Arumi tak tahu sekaya apa pujaan hatinya saat ini. Namun, yang pasti sudah barang tentu dia akan selalu bahagia jika bersama Reza. "Ibu ke mana?" tanya Arif setelah Reza hilang dari pandangan mereka. "Eh, iya. Ibu ke mana, ya?" Arumi ikut mencari. Ayah dan anak itu mencari ke beberapa ruangan hingga ditemukannya Sara di dapur. Ia sedang duduk dengan wajah datar tanpa ekspresi. "Ibu, kenapa melamun sendiri di sini?" tegur Arumi seraya menarik kursi lainnya ikut duduk di samping. "Ada apa, Bu? Kok, cemberut gitu?" tanya Arif lembut ia juga ikut duduk bersama. "Pak, apa Bapak yakin melamar anak itu? Kenapa gak memikirkannya dulu? Dia itu duda, apa kata orang nanti kita dapat menantu duda? Yang mau sama Arumi kan masih banyak juga yang bujangan!" "Bu, duda atau bukan itu gak penting. Toh, cowok sama aja mau bekas atau ori. Yang harus kita utamakan kebahagiaan Arumi dan kesungguhan Reza. Bapak tadi lihat dari semua cara menyampaikannya dia sungguh-sungguh ingin melamar dan menjadikan Arumi sebagai istri." "Ibu kenapa benci banget sih sama Mas Reza?" protes Arumi. "Bukan benci. Ibu itu sayang loh sama kamu. Takut malah malah kamu kembali dicampakkan." "Kalau udah dinikahi gak mungkin dicampakkan dong, Bu!" "Ya, semoga saja, Sayang!" "Jadi gimana? Sekarang ibu sudah setuju?" Arumi bergelayut di lengan ibunya. Sara tak bersuara hanya anggukan kecil yang menjadi jawaban. Arumi yang melihatnya berjingkrak-jingkrak seraya memeluk ibunya. "Makasih, Bu. Makasih, Pak. Aku gak sabar jadinya." Arumi beranjak dari tempatnya kembali ke kamar dengan berjalan sambil. menari-nari. "Ibu liat dia sebahagia ini malah semakin sedih, Pak," ucap Sara setelah Arumi tak terlihat. "Loh, kok jadi sedih?" "Gak bisa bayangin aja kalau akhirnya disakiti juga." "Huuuussss, jangan bilang gitu, ah! Buang pikiran buruk itu! Doakan selalu kebaikan untuknya." "Njih, Pak." *** Hari-hari Arumi diselimuti kebahagiaan. Senyuman tak pernah luntur barang sedetik pun. Ini karena rasa bahagianya yang tak berkesudahan. Setelah proses lamaran secara sederhana dan to the poin itu, Reza semakin sering menghubungi Arumi. Bahkan kini panggilan sayangnya selalu terdengar. "Ami sedang apa sekarang?" tanya Reza dari seberang telepon. "Lagi duduk aja, nunggu yang mau nentuin tanggal nikah nih. Gak sabar banget." "Aih, sabar dong, Sayang. Sore ini kan Mas ke rumah lagi buat beresin semuanya." "Iya, Mas. Kalau bisa jangan dilama-lamain ya, tanggal nikahnya. Udah gak tahan." "Wah, gak tahan apa nih, Sayang?" "Gak tahan ingin selalu bersama, Mas Reza." "Eh, kalau bersama Mas terus yang ada nanti Mas apa-apain loh!" "Hahaha ... ya, gak apa-apa. Kan udah halal!" "Mas bakal serahin semuanya sama Bapak. Terserah Bapak mau kapan pun, yang pasti semua biaya Mas yang tanggung. Mau mewah? Mau sederhana? Atau gimana?" "Emmm, aku mau sederhana aja. Yang penting sah." "Ih, ketauan banget ngebet pengen kawin! Kasian banget yang telat nikah." "Salah siapa? Kalau dulu gak ditinggal mungkin kita udah nikah sejak dulu." "Iya, iya, maaf. Tapi penantian kamu terbayar kan sekarang?" "Iya, Mas. Aku bahagia sekali." "Ya udah, nanti sore mas ke rumah. Sekarang tutup dulu teleponnya, ya. Sebentar lagi jam istirahatnya udah habis." "Baik, Mas. Selamat bekerja!" "Siap, Sayang. Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD