Bab 1

1057 Words
Reza beranjak dari tempat duduknya setelah sebelumnya ia memberikan kartu nama yang memuat nomor handphonenya. Arumi pun ikut beringsut mengantar Reza ke ambang pintu. Debaran jantungnya semakin berpacu kala mereka saling berdampingan. "Hubungi aku saja kapan pun kamu mau. Dan aku akan sangat menunggu kabar baik dari kedua orang tuamu. Aku pulang dulu ya, Ami," ucap Reza kembali. Ami, panggilan yang sudah lama tak didengar. Panggilan kesayangan dari pria yang sangat Arumi sayang. Kini, panggilannya terasa sangat bermakna kembali. Lagi-lagi membuat Arumi merasa gugup, ia hanya mampu mengangguk dan menunduk. Setelah kepergian Reza, Arumi bergegas masuk ke dalam rumahnya. Sara yang sedang menunggu momen ini segera menghampiri putrinya sebelum ia masuk ke dalam kamar. Sara perlu bicara serius sebelum menyampaikan pada suaminya. "Ibu!" panggil Arumi dengan mata berbinar dan senyuman yang terus melekat di wajahnya. Kentara sekali bahwa ia sedang benar-benar bahagia. Sehingga membuat Sara mengurungkan niatnya untuk menyadarkan Arumi. "Tolong cubit aku, Bu. Aku tidak sedang bermimpi, 'kan?" Arumi menyodorkan satu tangannya meminta ibunya mencubit untuk memastikan bahwa ini semua benar-benar nyata. Namun, Sara mengabaikannya. Ia mengajak Arumi kembali duduk. "Apa kamu benar-benar ingin kembali dengan Reza?" tanya Sara sedikit hati-hati. Ia tak ingin merusak suasana hati gadisnya. "Tentu saja. Ayo Bu, segera bicarakan pada bapak!" seru Arumi tak sabar. "Bagaimana jika bapak tidak setuju?" "Ibu harus membujuknya!" Tingkah Arumi kini seperti anak kecil yang merengek meminta mainan. "Bapak tidak semudah itu dibujuk, Sayang. Harus ada alasan logis yang membuat bapak berpikir bahwa kamu boleh menikah dengan Reza." "Memangnya saat ini tidak logis? Aku menikah dengan orang yang aku cintai. Apa itu salah, Bu?" "Bukan begitu, Sayang. Bukankah saat ia hendak meninggalkanmu, dia berkata akan menikahi gadis lain? Bukankah itu artinya dia telah memiliki istri? Jika memang mereka telah bercerai, maka itu artinya dia seorang duda. Kamu masih muda, haruskah kamu menerima lamaran seorang duda?" "Apa itu salah, Bu? Tak peduli dia duda atau bukan aku tetap mencintainya aku hanya ingin hidup bersamanya. Tidakkah Ibu merasakan betapa bahagianya aku sampai detik tadi? Jika Ibu dan bapak tidak merestui, seperti yang sudah kukatakan lebih baik aku tidak menikah sama sekali!" Air muka Arumi berubah seketika, kini ia kembali kecewa karena ucapan ibunya. Ia beranjak pergi masuk ke dalam kamar mengurung diri. Tak peduli panggilan ibunya yang masih berbicara baik-baik. *** Menjelang petang Arif pulang dari mencari nafkah sebagai supir taksi. Sara tergopoh-gopoh menyambut kedatangan suaminya. Ia mendudukkan suaminya itu lalu membuatkannya minuman. "Bagaimana Arumi, Bu? Sudah Ibu bujuk?" tanya Arif setelah menyesap kopi hitam yang menjadi minuman favoritnya. "Sudah, Pak. Tapi …." Sara ragu menyampaikan apa yang terjadi siang tadi. "Ada apa? Dia masih keras kepala menolak? Sangat disayangkan jika Arumi tetap tidak mau, anak pak Kades itu tampan juga masih muda. Sudah gitu, kehidupan Arumi pasti akan terjamin," imbuh Arif ia menghela nafas panjang. "Betul, Pak. Tapi bukan itu masalahnya." Sara masih kebingungan dari mana ia harus mulai bicara. "Lalu?" Kening Arif berkerut ia tampak penasaran apa yang membuat istrinya itu begitu ragu menyampaikan sesuatu. "Katakan saja, Bu!" "Tadi siang Reza datang bertamu." Lepas sudah tersampaikan hal yang sejak tadi tertahan di mulut Sara. "Reza? Mau apa dia datang ke sini?" "Dia melamar Arumi, meminta Arumi untuk dijadikan istrinya." "Apa?! Berani-beraninya dia! Apa dia tidak punya muka?" Arif tampak sangat kesal. Ia berbicara sedikit berteriak. "Tenang, Pak. Jangan sampai Arumi dengar!" cegah Sara halus. "Yang jadi masalah Arumi menerimanya dan memintaku untuk membujuk Bapak. Dia benar-benar terlihat bahagia." "Tapi Bu, bukannya Reza sudah menikah? Apa dia cerai dengan istrinya? Kalau begitu bukankah itu berarti dia seorang duda?" "Ibu belum bertanya sejauh itu, Pak. Ibu dilema karena Arumi tidak akan mau menikah jika bukan dengan Reza," ungkap Sara ia memijat pelipisnya yang terasa pening. "Ya sudah, biar bapak pikirkan lagi. Bapak akan cari tahu kebenarannya, ini terlalu mendadak," imbuh Arif ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Benar, Pak. Ibu juga berpikir begitu. Tapi asal Bapak tahu, Arumi kembali seperti dulu. Baru kali ini ibu melihat dia tersenyum lebar lagi." Ya memang, bagaimanapun orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya dan yang menjadi tujuannya adalah kebahagiaan. Saat mereka memaksakan kehendak padahal itu menyakiti Arumi tentu saja itu bukan yang terbaik. Namun, untuk menuruti permintaan putrinya pun mereka ragu karena belum tentu itu yang terbaik. Arif beringsut untuk segera membersihkan tubuhnya setelah ia merasa cukup istirahat sejenak. Sedangkan Sara segera memanaskan makanan untuk kemudian makan malam bersama. Setelah Arif selesai mandi, bersamaan dengan itu makanan tersaji hangat di atas meja. Bergegas Sara memanggil Arumi untuk kemudian makan bersama. Benar apa yang dikatakan istrinya, Arif melihat binar wajah putrinya yang lama tak terlihat. Walau Arumi sempat kecewa dengan ucapan ibunya, tapi ia kembali ceria karena dapat bertukar pesan dengan pujaan hatinya. Ya, setelah beberapa lama Reza pergi, Arumi mencoba menghubungi nomor yang diberikan olehnya. Makan malam saat itu terasa hidup. Walau tidak sedang membicarakan Reza, tapi Arumi banyak bicara. Ia bertanya tentang bagaimana bapaknya bekerja seharian ini yang padahal tak pernah lagi ia lakukan setelah ditinggalkan Reza. Arif pun menjawab setiap pertanyaannya hingga mereka berbicara ngalor ngidul seperti yang sering dilakukan lima tahun yang lalu. Dulu Arumi ini memang gadis periang. Karena putri tunggal, ia begitu dekat dengan kedua orang tuanya. Setiap hal selalu ia bicarakan dan tanyakan. Maka dari itu, Arif dan Sara kenal betul seperti apa Reza karena pria ini orang yang pertama yang selalu Arumi ceritakan. Arif akan tahu ketika nanti dia menghadap Reza secara langsung. Ia akan tahu apa pria itu sungguh-sungguh atau tidak. Begitulah rencananya. "Besok sore Reza suruh ke sini saja!" pinta Arif setelah mereka selesai makan. "Serius, Pak?" Lagi-lagi mata Arumi berbinar. "Dia harus bicara dulu dengan bapak, sebelum bapak menerimanya. Jadi, jangan senang dulu! Bapak masih belum memberikan lampu hijau!" tukas Arif menepis prasangka baik gadisnya. "Ah, hehe. Iya iya, Pak. Aku akan bicara padanya," jawab Arumi. Ia tampak tenang tidak lagi seperti kemarin-kemarin yang makan pun sudah jarang. Arumi kembali masuk ke kamar setelah selesai menyantap makan malam. Ia bergegas mengambil ponsel yang disimpan di atas meja rias. Kemudian diketiknya pesan yang ditujukan untuk Reza. [Bapak minta Mas datang besok sore] Lama tak ada balasan, ia pun kembali mengirim pesan ulang. [Siapkan diri ya, Mas. Ungkapkan semua rasamu pada bapak dengan tulus!] Arumi pun merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia terus tersenyum seraya memejamkan mata. Ia menggelengkan kepala dengan mata terpejam. Aaaaa … aku tidak sedang bermimpi, 'kan? teriaknya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD