Paling ngga bisa duduk hadap-hadapan sama kesayangan. Apalagi didengarin, diperhatiin, diambilin lauk, sampai disuruh makan dengan lemah lembut. Yang ada, jantung ikutan lemah dan mulut kepingin bilang sayang.
-Jomblo Kegeeran-
Dari sekian banyak tipe, yang dipilih Bumi adalah restoran dengan konsep alam. Lumayan sih, tempatnya Yuna suka, soalnya jarak antar meja ngga terlalu dempet, gubukannya juga banyak, desain outdoor-nya oke, interior design-nya juga cakep. Tinggal rasa makanannya aja nih yang belum tau gimana.
Bumi meminta tempat yang lebih private, tapi bukan berarti VIP room. Seorang pelayan mengarahkan mereka ke salah satu meja di sudut ruang – berkapasitas empat orang, dengan satu sofa panjang dan dua kursi ayunan.
“Favorit di sini, yang Indonesian dish apa?” tanya Bumi.
Buku menu hanya ia buka sampul depannya. Dan Bumi pusing seketika dengan font yang dipilih. Terlalu estetik, tapi buat seseorang yang mengidap disleksia seperti Bumi, malah jadi sulit dibaca.
“Best seller kita di varian nasi bakar, Kak. Kalau lauknya ada kepiting soka atau udang saus telur asin. Sayurnya kita ada karedok, sop iga, dan mushrooms hotplate,” jelas Lala sang waiters.
“Varian nasi bakarnya apa saja?” tanya Bumi selanjutnya.
“Ada teri, oncom, ayam, dan cakalang. Pedas semua, Kak.”
“Saya mau yang oncom deh.”
“Saya yang teri,” sambung Yuna.
“Neng lauknya mau apa?”
“A Bumi?”
“Ikut Neng aja.”
“Kepiting soka saus telur asin, Kak,” ujar Yuna. “Per porsi bisa untuk berapa orang ya?”
“Satu sampai dua orang, Kak,” jawab Lala.
“Oke,” sahut Yuna. “Sayurnya? A Bumi mau apa?”
“Yang tumisan teu aya nyak?” (ngga ada ya?)
“Yang tumisan, rekomendasinya apa, Kak?” tanya Yuna ke Lala.
“Ada kangkung, pakcoy, buncis, kailan, capcay.”
“A Bumi?” Yuna kembali ke Bumi.
“Mmm … capcay Neng suka ngga?”
Yuna terdiam sejenak, merasa didewikan, sampai mau pesan aja Bumi nanya dulu Yuna suka atau ngga. Logikanya sih, kalau beli sendiri-sendiri, pasti banyak banget itu makanan. Sementara kalau pesan tanpa kesepakatan kedua belah pihak, khawatir salah satunya memaksakan ngikut aja.
“Suka. A Bumi mau yang ayam atau seafood?”
“Neng aja yang pilih.”
Yuna mengangguk. “Yang ayam aja kalau gitu, Kak. Tadi kan sudah ada kepiting,” ujarnya pada Lala. "Minumnya, saya butterfly pea lemonade dan air mineral,” lanjut Yuna. “A Bumi?” tanyanya kemudian ke Bumi.
“Air mineral aja.”
Selepas pelayan pergi, Yuna menyapukan pandangannya, memerhatikan suasana restoran. Tanaman hijau menjuntai dari langit-langit, memberi kesan segar di tengah-tengah dekorasi nan mewah. Cahaya matahari melewati jendela-jendela besar yang diredupkan memungkinkan ruangan mendapatkan penerangan yang dramatis dan lembut, bagaikan berada di tengah hutan hujan. Lampu-lampu gantung menjadi penghias yang estetik, menerangi meja-meja kayu yang tertata rapi. Belum lagi aroma masakan yang menggugah selera.
Sementara Bumi justru lekat memandangi Yuna. Ia masih saja merutuki dirinya, mengapa bisa Yuna luput dari radarnya selama ini? Pantas saja Yuna tak bisa memercayainya, pasti sebegitu tak masuk akalnya sikap Bumi pada Utara dulu.
Beberapa saat berlalu, waiters tadi kembali, membawa minuman pesanan mereka lebih dulu. Juga setumpuk otak-otak bakar dan sambal kacang.
“A Bumi minum air putih aja ngga apa-apa?” tanya Yuna.
“Hmm,” gumam Bumi seraya mengangguk.
“Cobain lemonade Yuna mau?”
Atuh nanti jadinya ciuman tak langsung dong Neng. Kacau sudah pikiran Bumi. “Aa ngga suka soda," jawab Bumi.
“Hah? Serius, A?”
“Serius.”
“Kalau lagi nge-gig gitu minum apa?”
“Jahe hangat. Sama air putih minimal satu liter. Biasanya bawa dari rumah kalau nge-gig nya di bar gitu. Kalau kafe yang ngga jual alkohol sih pesan yang biasa," jelas Bumi panjang lebar.
“Yang biasa?”
“Iya.”
“Berarti, Aa kalau ke restoran atau kafe langganan pesannya selalu yang biasa?”
“Correct!”
“Ngga pernah coba yang lain?”
“Kalau pun coba yang lain, biasanya karena dipesanin. Misalnya kata Bintang atau Sam ada yang enak, baru Aa coba.”
“Alasannya?”
“Aa ngga suka baca buku menu.”
Yuna terdiam, sementara Bumi mencengir. Senyuman itu ... ingin sekali Yuna menangkup wajah Bumi, mengatakan pada pria di hadapannya jika ia begitu mengaguminya.
Bumi adalah pengidap disleksia. Dan itu membuatnya kesulitan dalam membaca dan menulis. Ia bisa, namun butuh waktu lebih lama dalam memahami apa yang dibacanya.
“Neng ngga tau kalau Aa disleksia?” tanya Bumi kemudian.
“Tau kok," jawab Yuna dengan santainya.
“Oh, Aa kira ngga tau.”
“Kenapa emangnya kalau Aa disleksia?”
“Mmm … ngga apa-apa sih.”
“Aa disleksia, tapi Aa lulusan ITB tuh. Nilai Aa juga bagus. Terus … di usia 23-tahun, pencapaian Aa udah oke banget sebagai seorang seniman. Karya Aa tersebar di kota Bandung dalam bentuk wall murals, kaligrafi di masjid-masjid, dan beberapa karya lain di gedung-gedung publik,” lanjut Yuna, matanya berbinar saat ia menyebutkan pencapaian-pencapaian Bumi. Ada kekaguman yang jelas terdengar dari suaranya.
Bumi terkekeh, agak salah tingkah mendengar pujian yang tak terduga tersebut. “Ah, itu kan kerja keras tim juga, bukan cuma Aa, Neng,” sahutnya merendah, meski dalam hati, sungguh berbunga-bunga. Dipuji kesayangan tuh rasanya Bumi tiba-tiba jadi jagoan yang berhasil melawan banyak kejahatan di dunia.
Lala sang pelayan kembali lagi. Kali ini menyajikan semua pesanan mereka.
“Neng mau coba nasi bakar yang pakai oncom?” tanya Bumi.
“Tukeran setengah-setengah Aa mau ngga? Jadi bisa sama-sama nyobain.”
“Mau.”
“Oke!” sahut Yuna, riang. Ia membelah nasinya yang berbentuk seperti lontong, begitu pula dengan Bumi. Lalu mereka saling bertukar main dish tersebut.
“Bagian paling sulit jadi seorang disleksia apa, A?” tanya Yuna kemudian. “Eh tapi, kalau Aa ngga nyaman ngomonginnya, skip aja, ngga usah dijawab pertanyaan Yuna.”
Jawab dong. Kan biar kamu lebih memahami aku. Bumi menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangannya sejenak ke luar jendela sebelum kembali pada Yuna. "Paling sulit waktu SD. Awal-awal kan Aa sekolah di SD umum. Belajar baca, yang orang lain anggap gampang, buat Aa ... kayak puzzle yang berantakan. Apalagi kalau tulisannya model estetik seperti di menu tadi, malah bikin tambah pusing. Mungkin Neng bisa bayanginnya, pas lagi baca, eta huruf-huruf pada goyang atau mutar-mutar.”
“Terus, A?”
“Home schooling. Aa SD aja yang di sekolah umum,” jawab Bumi seraya terkekeh. “Dan baru masuk sekolah umum lagi pas kelas XII SMA.”
“Oh gitu ….”
“Iya.”
“Sampai sekarang, kalau Aa baca, hurufnya masih pada goyang?” tanya Yuna lagi.
Bumi menggeleng sejenak. “Aa kan terapi juga, selain homeschooling. Nah terapinya itu untuk membantu otak Aa supaya bisa lebih fokus sama bentuk huruf-hurufnya," jelas Bumi. "Jadi, sekarang udah mendingan. Tapi, kalau tulisannya terlalu kecil atau terlalu fancy kayak tadi, ya kadang-kadang masih suka bingung juga."
Yuna menatapnya lekat dan teduh, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Bumi. Ia tak bisa memungkiri, ada perasaan kagum dan sayang yang semakin tumbuh di hatinya. "Terus, gimana Aa bisa sampai berhasil lulus kuliah dengan kondisi Aa? Kan pasti tantangannya lebih besar lagi."
Bumi tersenyum simpul, meneguk air untuk membersihkan tenggorokannya, lalu menghela napas sejenak. "Aa harus kerja dua kali lebih keras. Misalnya, kalau orang lain bisa baca dan paham materi dalam satu kali baca, Aa mungkin butuh dua atau tiga kali. Tapi karena itu sangat melelahkan buat Aa, Aa juga cari cara lain buat belajar — dengerin rekaman, bikin visual aids, atau minta teman jelasin ulang. Dan untungnya, dosen-dosen di kampus juga support. Mereka ngerti kalau Aa punya kesulitan, jadi kadang ada kelonggaran buat Aa. Misalnya diberi waktu lebih saat ujian tulis atau kalau ujian digital gitu kan ada vitur suara."
“I see,” gumam Yuna. “Tapi tetap ih, hebat!”
“Sudah ih, ngapain muji-muji mulu!”
“Kenapa emang kalau dipuji Yuna? Aa ngga suka?”
“Justru suka banget,” tanggap Bumi. “Takut aja sih.”
“Takut?”
“Hmm,” gumam Bumi setelah memberi anggukan.
“Karena?” Jadi penasaran kan Yuna.
“Mmm … takut Neng jadi ngga mau dekat sama Aa aja.”
Yuna sontak terdiam.
“Maksud Aa … ada beberapa orang yang sangat selektif memilih mereka-mereka yang boleh menjadi seseorang terdekat. Nah, kondisi kayak Aa begini kan, mungkin lebih banyak orang yang menghindari," jelas Bumi.
Yuna sebenarnya paham apa yang Bumi maksud. Ngga semua orang mau berjodoh dengan seseorang yang kemungkinan menurunkan ‘sesuatu’ yang agak sulit ditangani. Tapi, buat Yuna, itu kan hanya kekurangan Bumi. Selama spesiesnya masih manusia, pasti punyalah kekurangan. So, Yuna lebih suka fokus ke kelebihannya Bumi, semisal kegigihannya, keuletannya, kecerdasan seninya, dan lain sebagainya. Untuk apa sih fokus ke satu kekurangan sementara kelebihannya kalau di-list bisa sampai tumpah-tumpah.
“Memangnya, Aa mau sedekat apa sama Yuna sampai bisa takut? Kan selama ini kita cukup dekat. Kita keluarga kan?”
Kini Bumi yang terdiam. Betul sih, mereka memang keluarga. Keluarga besar lebih tepatnya. Tapi, Bumi kepingin lebih. Kepingin lebih dekat sama Yuna. Special di hati Yuna. Bahkan, Bumi ngga keberatan kok bikin keluarga kecil bareng Yuna.
“Aa, makan lagi atuh. Yuna sudah mau habis nih. Kok Aa belum makan kepitingnya sih?”
Yuna meletakkan sepotong kepiting ke piring Bumi, melumurinya dengan saus telur asin. Sementara Bumi sibuk menahan senyuman karena rasa geli namun menyenangkan di dad4 dan perutnya. I got butterflies!
“Makan, A,” ujar Yuna lagi serata tersenyum pada Bumi.
Pingin cium Neng da!
Sabar, Bum! Waras!
"A Bumi?" Kan jadi ketauan bengong.
“Dekat sekali," lirih Bumi. "Tapi, bukan karena kita keluarga besar,” lanjutnya, menjawab pertanyaan Yuna sebelumnya.
Yuna kembali terpaku, tak sanggup memalingkan wajah dari tatapan Bumi yang mengunci titik pandangnya.
“Tapi … karena kita yang mau dekat. Neng nyaman dekat dengan Aa, begitupun sebaliknya. Karena ... kita sayang ke satu sama lain, Neng Yuna.”