Meisya mengentakkan tangannya dengan keras, sehingga cekalan Valentina terlepas. Wajahnya tampak amat gusar.
“Apa sih Le! Lo pikir gue salah apa sampai elo berhak begini ke gue?” sentak Meisya.
Sentakan Meisya sontak membuat Valentina membulatkan matanya. Ia langsung terkenang pada segala cara yang dilakukan oleh sahabatnya ini, termasuk sandiwara kecil yang kerap dilakukan Meisya untuk mempengaruhi pemikirannya.
'Hm. Gue sudah mulai hafal gaya baru elo ini, Lo. Apalagi kalau lagi ada maunya, minta gue untuk beliin elo sesuatu, huh! Acting yang elo lakukan itu sungguh total!' batin Valentina, yang langsung teringat akan kepanikannya yang sia-sia, ketika Meisya memaksa dibelikan blazer pada detik itu juga, tidak peduli betapa dirinya tengah sibuk berkutat dengan sejumlah tugas kantor yang dibawanya pulang.
Valentina tersenyum miring.
“Melo, elo pasti acting lagi kayak biasa deh. Lo pasti mau mendistraksi gue kan, mau bikin gue lupa apa yang mau gue tanya? Mau menghindar, pakai akal bulus elo? Pakai strategi basi lagi?" tuduh Valentina.
Wajah Meisya makin disetel kencang. Valentina tak menghiraukannya.
"Hayo, sekarang elo musti klarifikasi ke gue, ada hubungan apa sama Pak Darwin? Jelas-jelas dia itu General Manager dan enggak semestinya elo langsung main loncat, ngelangkahi Manager elo untuk bisa dipromosikan,” korek Valentina. Otaknya mulai menghubungkan dugaaan yang didapatnya secara tidak sengaja ini dengan sikap Eleonara yang dikatakan kurang bersahabat oleh Meisya.
‘Nggak heran. Kalau gue yang jadi Eleonara juga bisa kecewa. Orang sudah kerjanya super lempeng, performanya bagus, profesional banget, tapi karena hal-hal external jadi terhambat dipromosikan. Tapi gila, gue enggak nyangka kalau sahabat gue ada affair sama si calon duda itu. Ya andaipun si Pak Darwin itu sudah resmi cerai, tetap nggak etis deh ngedekatin dia dengan tujuan mengambil untung begini,' pikir Valentina.
“Lo.., serius deh. Gue nggak nyangka, bisa-bisanya elo menempuh cara seperti ini demi peningkatan karir elo. Ini..., ini kurang fair buat Eleonara. Kenapa elo harus begini sih? Elo kan bisa berjuang dengan otak elo, kemampuan elo?” sesal Valentina. Diguncangnya pundak Meisya. Tatap kecewanya dihujamkan ke bola mata Meisya.
Meisya membuang muka. Wajahnya sungguh tak sedap dipandang. Sedetik kemudian dia bergegas masuk ke dalam kamar.
Valentina tersentak melihat reaksi Meisya. Sigap disusulnya sahabatnya yang sedang ngambek itu. Dia takut, Meisya akan nekad pulang seperti ancaman pura-puranya dulu.
Benar saja. Sesampainya di dalam kamar, dia melihat Meisya tengah menyambar pakaiannya yang digantung dan memasukkannya secara asal ke dalam travel bag yang dibawanya.
“Hei, hei, hei! Jangan seperti anak kecil deh! Mau ngapain itu?” lebih dari mencegah Meisya, Valentina menyambar travel bag tersebut hingga isinya nyaris berhamburan.
“Balikin Le! Gue mau pulang aja kalau elo masih tanya-tanya terus soal Pak Darwin atau nuduh-nuduh gue yang enggak-enggak,” ketus Meisya yang berusaha menarik kembali travel bag miliknya.
Valentina mengembuskan napas dengan kesal. Dikembangkannya tangannya.
“Fine! Gue enggak akan tanya lagi,” kata Valentina pelan.
“Lagi pula, punya hak apa elo ngurusin urusan pribadi gue sampai seperti itu?” sahut Meisya.
Valentina mengernyitkan kening. Alangkah ingin ditoyornya kepala Meisya dan berkata, “Halouuuu! Apakah saya berbicara dengan sahabat kental saya, Meisya Indriyanti Prawira?”
Namun entah mengapa, hati kecilnya mencegahnya melakukan hal itu. Hal yang telah sekian lama menjadi bahasa persahabatan mereka.
Dalam gamang yang mendadak menyapa, Valentina jadi memikirkan kemungkinan lain.
‘Apa lagi ini? Gangguan jenis baru dalam hidup gue? Setelah periode si Robin yang membayang-bayangi, merasa diri gue melompat-lompat ke pusaran waktu berbeda seperti jumper, penglihatan yang mengganggu, berbagai mimpi buruk, pesan misterius, bayangan-bayangan yang aneh yang datang silih berganti, terus sekarang gue harus menghadapi ini? Ini apa? Persahabatan gue sama si Melo sekarang diusik juga? Sejak kapan dia bisa pakai istilah urusan pribadi segala? Atau..., gue yang terlalu naif, sebetulnya dari dulu tapi gue nggak ‘ngeh’? Aduh! Kenapa sekarang gue jadi malah curiga sama diri gue sendiri! Iya, rasanya gue juga berubah tanpa bisa gue cegah. Gue merasa lebih ekspresif, lebih bisa mengungkapkan apa yang ada di pikiran gue, dan lebih spontan. Ini gue kenapa? Apa ini yang dimaksud sama Marvin, bahwa gue enggak boleh menghindari buat menjalani prosesnya? Gila aja kalau harus se-random ini hidup gue, untuk sesuatu hal yang gue enggak tahu ke depannya bakal seperti apa!’ berbagai percakapan memenuhi kepala Valentina.
Valentina menggoyangkan kepala keras-keras.
“Cukup!” tak sadar, Valentina mengucapkannya dengan keras.
Gantian Meisya yang mengerutkan kening. Gadis itu terkaget. Dia terheran dengan reaksi Valentina yang amat di luar perkiraannya.
“Kenapa elo yang jadi marah, Le? Gue kan...,” nada suara Meisya menurun, seperti orang yang ketakutan.
Valentina menyadari kesalahannya.
“Sorry, sorry. Belakangan ini hari-hari gue lumayan berat, Lo. Barusan itu, sama sekali enggak ada niat buat ngebentak elo,” ucap Valentina pelan.
Meisya terperangah.
“Oh! Soal apa? Marvin ternyata bukan Cowok lajang dan itu yang membuat elo masih saja ragu untuk bilang ke gue bahwa kalian sudah sedekat ini?” tebak Meisya.
Valentina memejamkan mata dan menggeleng samar.
‘Gila. Elo pikir hubungan gue sudah sejauh apa, sampai detektifin dia sejauh itu? Selama ini gue baru tahu keluarga dia dari foto-foto yang ditunjukkan sama dia. Foto Papanya, Mamanya, kakak laki-lakinya, kakak perempuannya, dan keponakan dia dari kakaknya yang perempuan, yang sudah menikah duluan. Sedangkan kakak laki-lakinya, disebutnya bakalan menikah tahun depan. Astaga Lo, Lo! Kenapa gue jadi mikir hal yang berbeda, ya? Jangan-jangan, elo tanya begitu, bercermin dari diri elo? Jangan bilang iya! Gila lah, ternyata gue enggak mengenal elo sebaik yang gue sangka. Ini kenapa sih? Apa lagi-lagi, ini proses yang disebut sama Marvin? Huh! Kalau gue bisa milih, mendingan gue enggak usah tahu apa-apa!’ batin Valentina berkecamuk.
Meisya menyentuh pundak Valentina. Ditampilkannya mimik muka penuh perhatian.
“Bener, ya? Ya ampun Le, sorry banget ya. Nggak tega deh gue dengarnya,” kata Meisya lirih.
Hati Valentina sedikit melumer. Ia menggoyangkan telapak tangannya, menyadari bahawa gelengan kepalanya tadi mungkin terlampau samar sehingga tidak tertangkap oleh pandangan mata Meisya.
“Bukan itu, Lo. Sama sekali bukan urusan macam itu. Lo salah kira,” desah Valentina.
“Oh! Gue ngerti. Paling soal Adek lo bikin ulah? Ngapain dia, kali ini? Si Richard bos ganteng lo cari gara-gara ngasih elo tenggat waktu mepet dan meremehkan elo lagi? Atau apa?” selidik Meisya.
“Hm... sebentar gue tebak. Atau jangan-jangan..., elo mulai kontekan lagi sama Robin terus jadi galau memutuskan mau balikan sama Robin atau terus sama si Marvin? Betul ya, dugaan gue? Eh, di mana dia sekarang tuh? Masih, di apartemen-nya yang dulu itu?” tambah Meisya. Khusus di kalimat tanyanya yang ini, dia benar-benar ingin tahu, sangat ingin tahu. karenanya, ia sungguh-sungguh mencermati semua ekspresi yang tergurat di paras sahabatnya itu.
“Sudah deh. Ini kita nggak makan kambing di unit Marvin, tapi kita malah jadi nyolot-nyolotan begini seperti orang darah tinggi. Kayaknya kita berdua lagi capek, sama urusan masing-masing. Kita istirahat dulu yuk. Kalau diomongin sekarang, takutnya bakal jedar-jeder,” kata Valentina lunak.
Meisya mendesah kecewa. Padahal dia sungguh memerlukan informasi mengenai Robin yang bagai hilang ditelan bumi itu.
“Ya udah. Sorry kalau tadi gue ngomongnya enggak enak, Le,” kata Meisya.
Valentina tersenyum tipis.
“Sudahlah Lo. Gue juga salah, terlalu banyak ngurusin urusan pribadi elo. Kita istirahat yuk,” sahut Valentina.
Meisya mengangguk dengan matanya.
*
Meisya terjaga dari tidurnya. Perasaannya tak tenang. Dia melirik Valentina yang tidur di sebelahnya sambil memeluk guling. Tampaknya cukup pulas.
Meisya menghela napas panjang. Perselisihan kecil mereka seusai makan malam di unit apartemen Marvin, mau tak mau mengusik perasaannya.
Meisya duduk memeluk lututnya.
“Robin, semuanya ini bermula dari elo. Gue sampai di titik ini, juga gara-gara elo. Dan bahkan sekarang juga gue enggak tahu harus melacak ke mana lagi keberadaan elo. Robin, ini bukan sekadar soal cinta yang bertepuk sebelah tangan. Elo itu sudah mengambil sesuatu yang berharga dalam hidup gue. Dan secara nggak langsung, itu juga yang bikin langkah gue selanjutnya juga keliru dan akhirnya keterusan sampai sekarang. Elo jahat, Robin,” desah Meisya lirih.
Rasa marah, benci, rindu, penasaran serta sesal yang bercampur harap memenuhi benak Meisya.
Setetes air mata jatuh membasahi pipi Meisya, ketika peristiwa di masa lalu itu terbayang olehnya...
* Lucy Liestiyo *