- Kilas Balik –
“Vale sayang,” panggil Robin lirih. Nadanya amat seduktif.
Cowok itu menutup buku yang tengah dibaca oleh Valentina.
Valentina menelengkan wajah dan mendelik tak suka sebab keasyikkannya membaca diusik.
“Eh, apa sih Rob?” protes Valentina tak kalah lirih. Dia tak ingin suaranya menarik perhatian atau bahkan mengganggu ketenangan para mahasiswa maupun mahasiswi di perpustakaan kampus yang mungkin saja ada di selasar lain atau duduk di area membaca yang letaknya tak jauh dari Bu Ayla Erdiyanti, sang penjaga perpustakaan yang kerap dipergokinya tengah duduk bersandar dan terkantuk-kantuk di kala menanti jam tugasnya berlalu.
Bukannya menjawab, Robin justru tersenyum nakal dan mengambil buku di tangan Valentina. Robin meletakkan buku tersebut begitu saja di ubin, tepat di samping kekasihnya itu duduk. Berbeda dengan kawan-kawannya yang lain yang senang membaca sambil duduk di deretan kursi yang tersedia di perpustakaan kampus ini, Valentina memang lebih suka duduk menyelonjorkan kaki atau bersila di atas lantai, dan sesekali menyandarkan punggungnya ke dinding, tepat ujung di selasar antara dua rak buku yang tingginya hampir menyentuh plafond bangunan.
“Eh kamu mau ngapain Rob?” bisik Valentina ketika Robin menarik tangannya dengan lembut. Dengan gerakan matanya, Robin memberi kode kepada sang kekasih agar menggeser posisi duduknya, terus mendekati satu sisi rak buku. Valentina menurut, tanpa perlawanan sama sekali.
“Ssst,” Robin menempelkan jari telunjuknya ke bibir, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah sang gadis. Dengus napasnya segera menerpa paras Valentina, bersamaan belaian lembutnya ke rambut gadis itu. “Rob, jangan ngacau deh! Itu, ada cctv. Aku nggak mau jadi terkenal dan masuk i********: kampus sama i********: perpustakaan karena hal negatif. Malu, tahu. Enggak banget deh,” bisik Valentina khawatir. Dia sudah dapat meraba, apa yang hendak dilakukan sang kekasih kepadanya.
Robin menoleh dan mengamati sekitar. Sepi. Jam-jam macam ini memang biasanya para mahasiswa maupun mahasiswi berada di kelas atau kongkow di kantin.
‘Aman,’ pikir Robin lega. Didekatkannya bibirnya ke telinga Valentina.
“Tenang, aku sudah tahu cctv-nya mengarah kemana, Vale sayang. Makanya aku minta kamu geser tadi. Nggak percuma kan, punya pacar orang yang dekat sama bagian it sampai bagian satpam kampus? Semua informasi lengkap bisa aku dapatkan,” bisik Robin.
Lantas, tidak ada lagi yang ucapan verbal yang keluar dari bibir mereka berdua. Valentina pasrah ketika Robin mengangkat dagunya serta sedikit memiringkan wajahnya ke kanan.
Dan seperti biasanya, jantung Valentina menggila, jedag-jedug tak keruan bak orang yang tengah melakukan tindakan berbahaya dan menantang maut saja.
Memang, ini bukan pertama kalinya Robin mencari-cari celah untuk mencium Valentina di tempat yang tidak terlalu umum. Cowok itu tampaknya senang dan menikmati beberapa eksperimen macam itu, dan herannya, sejauh ini Valentina selalu saja tak berkutik, tak dapat menolaknya. Valentina tak mau mengecewakan sang pacar, karena toh menurutnya yang namanya pacaran tanpa ciuman adalah kebohongan besar belaka. Yang penting baginya, sejauh ini Robin masih menurutinya dengan tidak meminta yang lebih dari itu.
Pernah Robin sengaja menciumnya ketika mereka berada di taman belakang kampus. Lain kali, Robin juga nekad mencium bibirnya tatkala mereka berdua berada di ruang tamu kost putri di mana Valentina dan Meisya tinggal, padahal setiap saat bisa saja ada orang yang keluar masuk ruang tamu tersebut. Okelah, mencium bibir Valentina ketika mereka berdua tengah menonton film di dalam bioskop tak perlu dimasukkan ke dalamnya. Itu sepertinya terlalu mainstream buat seorang Robin. Dia yakin, pasangan lain tentu juga melakukannya. Mencium Valentina di kelas ataupun di dalam laboratorium bahasa juga tampaknya telah terlampau sering dilakukan seorang Robin. Barangkali, dia memang selalu suka melakukan hal baru.
Entakan sengit sang jantung yang dirasakan oleh Valentina membuat d**a gadis itu sontak terasa sesak, bagaikan orang yang kekurangan oksigen saja. Tetapi anehnya, begitu bibir Robin menyentuh bibirnya, Valentina justru tergugah untuk membuka mulutnya. Seiring dengan sentuhan tangan Robin yang seringan bulu ke lehernya, Valentina mendesah kecil dan tergoda mengalungkan tangannya ke leher Cowok tersayangnya ini, Cowok yang dititipinya hati.
“Hem! Gue tahu. Elo tuh pasti di area sini! Gila lo Le! Gue tungguin di kantin sampai hampir dilalerin masih betah aja di perpustakaan!” terdengar suara Meisya dari ujung lorong. Meisya yang telah hafal spot favorit sang sahabat, tampaknya gusar karena terlampau lama menanti kedatangan Valentina.
Tubuh Valentina langsung membeku mendengar suara Meisya.
‘Mati deh! Kepergok,' pikir Valentina.
Lalu dengan kesadaran, gerakan yang dilakukan Valentina adalah mengurai tangannya dari leher sang pacar, juga mengakhiri ciuman mereka yang belum tuntas itu.
Tangan Valentina mendorong lembut d**a Robin agar segera menjauh darinya.
“Eeeh.., sorry. Gue enggak tahu kalau..,” ucap Mesiya dari ujung lorong di antara rak. Entah sudah seberapa banyak yang disaksikan oleh Meisya. Yang jelas, ketika Robin menoleh ke arahnya dan tatapan mata mereka saling tertaut satu sama lain, gairah yang dengan susah payah berusaha ditekannya hingga ke titik nol tatkala memergoki sahabatnya tengah dicium Robin di dalam perpustakaan, rasanya kian melambung saja. Meisya menggigiti bibirnya sendiri.
‘Sial! Cowok satu ini benar-benar bahaya! Kuat banget mental sohib gue jadi pacarnya dia. Bisa tidur nyenyak apa si Lele begitu memutuskan pacaran sama dia? Bisa apa, dia jagain Cowok satu ini? Orang si Robin ini, nggak usah sibuk tebar pesona, nggak usah ngomong apa-apa juga sudah menggoda banget. Tatapan matanya itu lho, gila banget bikin dengkul lemes. Dan sialnya, dia itu justru takluk sama sahabat gue sendiri. Enggak tahu deh si Lele pakai pelet dari dukun mana. Sahabat gue juga mau ambil resiko dengan memacari dia. Ya ampun Le, bahkan sebelum kalian berdua resmi jadian pun, gue yakin berat, sudah banyak korban Robin. Mungkin statistiknya juga mengerikan. Pasti banyak hati yang jatuh bergelimpangan, ada yang cuma patah jadi dia, terus sebagian lainnya bisa jadi malahan hancur berkeping-keping. Enggak jelas deh, apa ada yang sudah bunuh diri atau belum, gara-gara bertepuk sebelah tangan, dikasih harapan palsu, salah menerjemahkan sikap Robin yang terkesan mau mengoda dan digoda pada saat bersamaan tapi nyatanya halusinasi doang,’ kata Meisya dalam hati.
Sikap yang berbeda diperlihatkan Robin serta Valentina ketika tersadar ulah mereka dipergoki oleh Meisya.
Dengan santai, Robin tersenyum kepada Meisya. Bisa jadi itu merupakan efek 'jam terbang'nya yang sudah kelewat tinggi menghadapi hal serupa. Dia tak tahu saja, senyum mautnya itu membuat d**a Meisya berdesir.
‘Hei! Hei! Stop, Meisya! Ingat, Robin ini Cowok berbahaya, itu satu! Dua, dia itu milik sahabatmu sendiri! Memangnya mau dikatain friend makan friend?’ suara hati Meisya menegurnya keras. “Hai Sya! Mau ke kantin lagi nggak? Ayo Val, kita ke kantin sekarang,” Robin menggenggam tangan Valentina dengan santainya. Tidak ada rasa grogi atau gugup yang diperlihatkannya. Seakan-akan, apa yang barusan dilakukannya di perpustakaan wajar-wajar saja.
Valentina berusaha menyingkirkan sisa-sisa kerikuhannya.
Entah mengapa, dia merasa bersalah. Bukan, bukan merasa bersalah karena barusan telah melakukan hal yang tak sepantasnya dilakukan di dalam perpustakaan. Melainkan rasa bersalah yang ganjl, kala melihat tatap mata Meisya yang seperti orang menahan luka.
‘Eh, apa ini? Kenapa gue merasa d**a gue nyesek ya, melihat si Melo seperti bengong begitu pas mergokin gue sama Robin lagi ciuman? Memangnya gue salah apa sama dia? Si Melo kan nggak ikutan bursa memperebutkan hatinya si Robin dulu itu? Lagi pula, bukan salah gue juga kalau akhirnya Robin malah memilih gue di antara para Cewek di kampus. Nah, gue kan usahanya juga sedikit, kok. Sekadar cari perhatian dan Robin tertarik, terus dia malah berbalik nguber gue. Enggak masalah dong?’ tanya Valentina dalam hati.
* LL