“Val..,” panggil Marvin pelan.
“Iya, apa?” desak Valentina yang sudah tak sabar. Ditengadahkannya wajahnya, menanti keterangan dari Marvin.
Marvin menelan ludah lantas berdeham kecil.
“Menurutku, pindah kembali ke rumah bukanlah solusinya,” ucap Marvin sehati-hati mungkin.
Valentina mengerutkan kening mendengarnya. Itu benar-benar bukan jenis pernyataan yang ingin didengarnya saat ini.
“Maksudnya gimana Vin? Coba, bisa lebih spesifik lagi, Vin?” tanya Valentina. Dihalaunya prasangka yang muncul di dalam pikirannya. Prasangka buruk seolah Marvin berkata bahwa masalahnya bukanlah pada tempat di mana dirinya tinggal, namun lebih kepada ‘dirinya’. Jadi kalau mau membereskan, ya mulai dari pangkal ‘masalah’, dia!
Menatap paras Valentina yang menampilkan bingung bercampur protes, Marvin terbayang lagi isi mimpinya. Sebuah visi yang buram terlintas begitu saja, sepersekian detik. Ia melihat Valentina. Valentina yang tegar. Valentina yang percaya diri. Valentina yang kuat dan berani, di seberang jembatan.
‘Aku tahu kamu pasti bisa melaluinya Val. Seberat dan semenakutkan apapun proses yang harus kamu lalui untuk mencapai semua itu. Dan aku mau jadi bagian dari perjalananmu menuju ke seberang jembatan,’ tekad Marvin di dalam hati.
“Val, jangan menghindar. Hadapi saja. Aku yakin, semua yang ditampakkan kepadamu, pasti ada maksudnya,” kata Marvin.
Ucapan standar, tetapi untuk alasan yang sulit untuk dimengertinya, Valentina merasa gentar.
“Val, aku hanya yakin, kamu bisa melalui proses ini. Nantinya semua akan seperti buku terbuka di depanmu. Aku juga nggak tahu dan belum terpikir bagaimana caranya sih, tapi aku yakin saja, bahwa kamu..,” Marvin menggantung kalimatnya.
‘Mana mungkin aku bilang bahwa kamu terpilih menjadi sosok yang spesial? Dalam keadaan sekarang ini, bisa jadi kamu malah semakin ketakutan dan ingin sesegera mungkin kembali ke rumah, nggak mau menjalani prosesnya,’ sambung Marvin. Tentu saja di dalam hati.
“Bahwa aku apa?” kejar Valentina. Pantang baginya dibuat penasaran begini.
‘Enggak Ivan, enggak Marvin, omongannya serba kentang. Nanggung. Jangan-jangan orang-orang di apartemen modelnya begini memang semua,’ batin Valentina gemas.
“Tenang saja Val, kamu ijinkan atau tidak, aku akan berusaha menemanimu dalam proses pencarian itu,” ucap Marvin lirih, nyaris seperti sebuah bisikan.
Valentina langsung terperangah.
“Hah?” sentaknya.
Mendengar tingginya nada suara Valentina, Marvin bagai tersadar bahwa dirinya telah melontarkan sesuatu hal yang menjurus kepada sebuah komitmen. Dia sendiri juga merasa geli, mengingat perkenalan mereka yang belum terlalu lama, serta belum adanya hubungan khusus di antara mereka. Hanya sebatas dekat, dan semakin dekat.
“Eh, itu aku dikasih kode untuk ke sana. Aku sama bu Indira foto dulu ya, biar sekan-akan formalitas serah terima jabatan, begitu. Aku tinggal dulu Val,” kata Marvin cepat. Tanpa menunggu jawaban dari Valentina, Marvin segera beranjak dari sisi gadis itu.
“Ooooh, iya,” sahut Valentina sambil menatap kepergian Marvin.
“Apa sih! Ngomong kok nggak jelas. Ini kenapa sih, semakin hari semakin dibuat pusing akunya. Seperti kehilangan diriku yang sebenarnya,” gerutu Valentina pelan.
**
“Le, sudah terima kiriman gue?” tanya Meisya melalui telepon, sore itu.
Ini adalah hari pertama Meisya kembali masuk kerja, setelah kembali dari perjalanan dinasnya ke Tokyo. Dia sengaja mengirimkan oleh-oleh untuk Valentina memakai jasa ojek daring, bukannya menitipkan kepada kurir kantor yang hampir setiap hari mempunyai rute dari kantor cabang k kantor pusat. Alasan Meisya, ogah menimbulkan kecemburuan karena dirinya tidak membelikan oleh-oleh untuk yang lainnya, di kantor pusat.
“Sudah, tadi siang. Thanks berat ya Lo. Sorry gue belum sempat kasih kabar. Biasa, ada meeting marathon dari siang dan baru kelar. Yang nerimain si Dinda,” terang Valentina yang tengah membereskan sketsanya.
“Val? Eh, lagi telepon? Terusin dulu,” terdengar suara Marvin dari luar kubikel Valentina.
“Sebentar, Lo,” kata Valentina.
Lalu gadis itu menoleh dan bertanya, “Kenapa Vin?”
Marvin menunjuk ke arah telepon genggam Valentina, seolah menggantikan kalimat, “Itu? Masih on the line kan?”
Valentina menggeleng dan menyahut, “Nggak apa. Si Meisya ini. Kenapa?”
Marvin mengangguk.
“Mau pulang jam berapa? Nanti kalau mau pulang, kasih tahu aku ya. Nanti aku kemari. Atau, mau ketemu langsung di parkiran?” balas Marvin.
“Sekitar sepuluh menit lagi. Ini lagi ngecek sketsa sebentar. Ya sudah nanti ketemu di parkiran. Thanks ya Vin,” sahut Valentina, yang bersambut acungan jempol dari Marvin. Cowok itu lekas berlalu setelah memberi isyarat supaya Valentina melanjutkan saja obrolannya dengan Meisya.
“Iya Lo, gimana? Sampai mana, tadi?” tanya Valentina kemudian. Tangannya cekatan memasukkan lembaran sketsa ke dalam map bening lalu mematikan laptopnya.
Yang didengar Valentina adalah suara batuk-batuk kecil. Jenis batuk yang dibuat-buat. Valentina dapat merasakannya.
“Kenapa sih? Bengek, pulang dari jalan-jalan gratis ke negeri Sakura dibayarin kantor?” cela Valentina sarkas, sebagaimana biasanya.
“Anjrit! You don’t know how hard it was,” bantah Meisya cepat.
Valentina mencibir.
“Halah! Gonta-ganti profile picture melulu. Pamer! Pasti si Randy menyesal ngirim elo ke sana,” kata Valentina dengan nada mencemooh.
“Cela terus! Cela gue semau elo. Gue rela, Le. Yang penting elo bahagia. Eh, jangan pengalihan issue! Mau sengaja bikin gue lupa, ya? Wah, ada yang sudah pulang pergi dari tempat tinggal ke kantor barengan nih. Asyik! Ehm! Baru sebentar gue tinggal, gerak cepatnya luar biasa, teman gue satu ini,” olok Meisya.
“Apa sih? Mobil gue lagi dipinjam sama Veranda. Dia ada jadwal interview, hari ini. Tempatnya lumayan jauh. Kasihan dong, kalau harus naik taksi segala. Bisa luntur itu bedak selama dia ngomel-ngomel nggak jelas nunggu taksi datang,” elak Valentina, memberikan klarifikasi yang sesungguhnya tidak penting.
Meisya terkikik.
“Hih! Jelek banget itu suara. Kayak kuntilanak tahu! Ngeri amat! Kesurupan kuntilanak di mana, Lo? Di kantor situ?” ejek Valentina sekenanya. Usai mengatakannya, baru dia tersadar telah kelepasan ‘asal bicara’. Sesuatu hal, yang selalu diperingatkannya kepada Veranda maupun Meisya.
“Kesurupan di apartemen elo, kan banyak tuh di situ. Sudah akrab belum , sama mereka?” sahutan tak kalah ngawur dari Meisya membuat Valentina terbungkam.
“Le? Masih di sana Atau tidur? Suara gue enggak semerdu itu, lho buat nina boboin orang. Apalagi edisi bangkotan seumur elo. Atau jangan-jangan, di kantor pusat, yang sekarang banyak makhluk gaib dan elo kemasukan salah satunya?” ejek Meisya.
“Asal! Eh, elo barusan pulang dari perjalanan dinas kok santai banget sih, bukannya bikin laporan?” tegur Valentina, yang mendapatkan celah untuk mengalihkan pembicaraan mereka.
“Sudah beres, laporannya. Itu gue kerjain di rumah, kemarin sama tadi pagi di kantor. Makanya baru sempat kirim upeti buat elo hari ini. Eh, ngomong-ngomong, si Veranda mau pindah kerja? Bukannya belum satu tahun dia kerja di tempatnya yang sekarang?” secepat kilat Meisya sudah meloncat ke topik bahasan yang berbeda.
“Ah ceritanya panjang, Lo,” tepis Valentina enggan.
“Never mind. Tadi gue sekadar komentar. Ya gue juga enggak terlalu tertarik ngomongin dia sih, ha ha ha! Gue lebih tertarik membahas ‘pajak jadian’. Enggak bisa yang kaleng-kaleng nih Le. Apa ya enaknya? Kalau sekadar fine dinning sih nggak worth it. Entar gue kabarin, gue minta dibeliin apa? Kalau misalnya voucher escape di akhir pekan buat ke Bali atau ya, yang lebih dekat deh, Pulau Bira aja, di kepulauan Seribu, boleh kali ya,” kata Meisya seenak udelnya.
Valentina berdecak gemas.
Namun sebelum dia sempat menyahut, Meisya sudah lebih dahulu melanjutkan, “Enaknya gue nagih ke elo atau ke si Marvin, ya? Marvin aja kali ya. Hitung-hitung salam perkenalan.”
Valentina terkesiap. Dia ingat benar bagaimana ‘gila’nya temannya satu ini. Bukan tak mungkin Meisya yang urat malunya sudah putus ini akan nekad 'menodong' Marvin seenak jidatnya. Padahal seingat Valentina, Meisya dan Marvin itu ketemu langsung juga belum. Marvin belum sempat ke kantor cabang. Sebaliknya, Meisya sendiri juga belum pernah ke kantor pust lagi semenjak Marvin resmi bergabung di perusahaan yang sama dengan mereka.
* * Lucy Liestiyo * *