Veranda menyenggol legan Valentina.
“Kenapa sih Mbak? Ada sesuatu, dengan anak kecil itu?” ulang Veranda lagi, yang menduga sang kakak terintimidasi oleh anak kecil bernama Ivan itu.
Marvin menanti apa yang hendak diucapkan Valentina. Dia benar-benar ingin tahu, dan dia memang sedang berusaha merangkai semua kepngan puzzle ini. Dia ingin mendapatkan petunjuk yang jelas agar dapat bertindak tepat.
Akan tetapi, Valentina mengibaskan tangan dan berkata, “Nggak usah bahas itu dulu boleh nggak Ver? Ngomongin yang lain saja. Semakin kamu tanya soal itu, semakin pusing dan stress, Mbak-mu ini.”
Usai mengatakannya, Valentina menatap wajah sang adik lekat-lekat. Veranda langsung mengangguki Valentina.
“Iya deh,” sahut Veranda pelan, berusaha memaklumi rasa takut bercampur keengganan yang tampak nyata di paras sang kakak.
**
“Val, teman-teman bilang, makanannya enak dan pilihannya juga beragam. Mereka suka,” kata Marvin di tengah-tengah acara farewell dinner dengan Bu Indira. Sengaja dihampirinya gadis itu, yang tampak menyendiri dan mengamati gerak-gerik dua orang yang berada tak jauh darinya : Vanya serta Richard.
Saking serius memperhatikan Vanya serta Richard yang masing-masing memasang tampang masam, Valentina tidak mendengarkan perkataan Marvin.
“Val,” panggil Marvin. Kali ini disempatkannya menjawil pundak Valentina.
Valentina memalingkan wajahnya.
“Hah? Apa Vin? Sorry, aku nggak dengar, tadi,” tanya Valentina.
“Aku mau mengucapkan terima kasih, soalnya teman-teman senang dengan pilihan menu dan cita rasanya,” kata Marvin.
“Ooooh..., sama-sama,” sahut Valentina.
Marvin mengamati arah pandangan Valentina.
“Lihatin apa sih?” tanya Marvin.
“Tuh!” sahut Valentina pendek sembari mengedikkan dagunya.
“Vanya sama Richard? Kenapa memangnya?” tanya Marvin.
Valentina menggeleng.
“Kamu menangkap ada yang aneh nggak, dari mimik muka mereka?” tanya Valentina. Entah mengapa, dia mendadak kepo dan menghubung-hubungkan penolakan pengajuan cutinya kepada Richard, dengan tampang merengut Richard serta Vanya saat ini. Firasatnya mengatakan, keduanya baru saja bertengkar hebat, meski dia tidak tahu apa yang dipertengkarkan.
Marvin mencermati mimik muka dua orang yang dimaksud oleh Valentina.
“Oh, itu. Aku dengar-dengar mereka berdua memang bersaing, kan?” Marvin balik bertanya.
“Ya tapi enggak segitunya juga, sih. Enggak jelas lagi deh apa pasalnya. Masa iya si ‘bos kecilku’ itu segitu resek? Pasti tuh, gara-gara mood-nya enggak enak, aku nggak dibolehin cuti. Nyebelin banget. Padahal cuma mau cuti satu hari dan sudah aku perkirakan minggu depan itu nggak akan ada tanggungan pekerjaan. Akukan butuh berbenah untuk balik ke rumahku. Kalau aku ambil hari Jumat atau Senin, kan bisa dapat tiga hari tuh, untuk angkut-angkut barang,” papar Valentina lirih.
Hampir saja Valentina menyambung dengan kalimat, “Aku kok curiga, yang membuat dua orang itu berwajah masan seperti sekarang, bukan didasari urusan pekerjaan. Jangan-jangan ada hubungan pribadi tuh, di antara mereka.”
Namun, buru-buru ditelannya pemikirannya itu. Apalagi ketika Valentina terkenang, kemarin sepulang dari makan siang di kafetaria sebelah kantor, dia berpapasan dengan Vanya yang baru saja di-drop oleh pacarnya ke kantor. Sepertinya, mereka berdua baru saja makan siang bersama. Dan untuk alasan yang kurang dimengertinya, kemarin itu Valentina tergoda, hendak ingin tahu sisi lain dari Vanya yang terbilang rapi menyimpan hal-hal yang berhubungan dengan urusan pribadinya.
Valentina mengamati wajah lelaki yang mengantarkan Vanya, dan diam-diam membandingkan Cowok itu dengan Richard. Sebetulnya juga Valentina tidak berlebihan kalau berpikiran macam itu. Sebab, kemunculan pacar Vanya yang mengendarai Nissan Terrano berwarna hijau di kantor, baik untuk menjemput Vanya atau bahkan mengajak Vanya makan siang bersama itu, amat jarang. Barangkali malah bisa dihitung dengan sebelah tangan saja. Valentina hanya mengenali dari jenis dan warna mobil yang dipakai saja.
“Sama-sama pendiam kelihatannya. Yang satunya malah rasa misterius. Kayak apa model pacarannya itu?” gumam Valentina lirih saat melihat Vanya turun dari mobil.
Ia mengangguk santun ketika pacarnya Vanya yang duduk di belakang kemudi mengangguk kepadanya.
“Siang Mbak Vanya,” sapa Valentina.
“Siang Val,” sahut Vanya.
Sahutan yang pendek itu membuat sejumlah pertanyaan basa-basi yang ada di kepala Valentina, tertelan kembali. Padahal ada desakan dalam hati Valentina, desakan yang sulit dipahaminya. Ada dorongan untuk memanfaarkan sedikit waktu ini untuk mengobrol singkat dengan Vanya dan lebih mengenal gadis satu itu. Entah mengapa, Valentina tersapa rasa bersalah karena memutuskan memilih Richard sebagai atasannya.
“Duluan ya Val,” ucapan Vanya ampuh menyurutkan semua keinginan Valentina.
Valentina tergeragap.
“Silakan Mbak Vanya,” sahut Valentina pula.
Dan anehnya, malam hari tadi hingga saat ini, pikiran Valentina bisa terus-menerus tertuju kepada Vanya.
‘Apa gara-gara aku baper, ya, karena permohonan cutiku ditolak sama si ‘ganteng yang irit ngomong’, terus jadi seperti orang yang menyesali keputusanku dulu? Padahal, kalaupun aku masuk dalam tim-nya Mbak Vanya juga, belum tentu keadaanku bakalan lebih baik,’ batin Valentina.
“Lho, kamu jadi mau pindah dari apartemen, Val?” tanya Marvin. Dia kurang tertarik membicarakan tentang Vanya dan Richard.
Valentina menghela napas.
“Kan kamu tahu, Vin, Veranda juga tahu kenapa. Sudahlah, intinya aku berani mengambil resiko kalau dihantui sama si mantanku itu saat kembali ke rumah nanti. Cuma satu orang, kan Dari pada tetap tinggal di apartemen dengan macam-macam kejadian dan penglihatan aneh?” ujar Valentina, yang sudah tidak segan lagi menyebut-nyebut mantan segala. Dia menduga, latar belakang Marvin yang kerap berkomunikasi dengan orang banyak, tentunya juga banyak membantu cairnya komunikasi di antara mereka berdua.
Marvin terdiam. Dia terbayang lagi mimpinya tentang Valentina.
“Val, kamu ingat kan, apa yang kamu ceritakan, soal Ivan, si anak kecil itu? Yah, anak kecil yang mungkin saja indigo?” tanya Marvin.
Valentina mengangguk.
“Tentu saja, dan itu menjadi salah satu penyebab aku harus secepatnya pergi,” tegas Valentina, yang segera teringat perkataan Ivan.
“Tante, Ivan lihat, ada yang mengikuti Tante. Ada yang baik, ada yang enggak. Tante makanya jangan kebanyakan bengong, nanti malah dikasih lihat banyak kejadian di sini. Ivan kan sesekali lihat juga, kejadian yang terjadi sebelum Ivan pindah. Tante harus banyak berdoa. Banyak yang butuh bantuan Tante. Nantinya, Tante itu bisa menolong mereka,” apa yang dibisikkan oleh Ivan ketika tak sengaja menabraknya dulu, terngiang kembali di telinga Valentina.
Sebersit kecurigaan mendadak timbul, ketika dia mendengar Marvin menyebut kata ‘indigo’.
“Ah! Iya tuh. Baru kepikir, jangan-jangan dia memang indigo. Dan dia bukan nggak sengaja menabrakku dulu. Pasti ada maksudnya,” gumam Valentina pelan.
“Val?” panggil Marvin.
“Iya?” sahut Valentina.
“Begini, karena kamu juga sudah memercayakan untuk bercerita beberapa hal ke aku, aku pikir..,” Marvin menjeda kalimatnya dan menelan ludah. Betapapun perkembangan komunikasi mereka terbilang mengagumkan dan cukup pesat, melebihi dari ekspektasinya dan dia tak hendak menyangkal bahwa ada campur tangan Veranda di dalamnya, tetap saja ada sedikit keraguan di hatinya. Marvin memang cukup takjub, bagaimana Valentina yang mobilnya dipinjam oleh Veranda kemarin lusa, mau menyambut tawarannya untuk berangkat ke kantor bersama, saat dirinya memergoki gadis itu gelisah menanti taksi daring yang tak kunjung datang, di lobi. Dan ujung-ujungnya, bahkan order Valentina dibatalkan oleh sang pengemudi.
Akhirnya memang, kesempatan mereka berangkat bersama dari apartemen ke kantor dan sebaliknya, pulang dari kantor ke apartemen, menjadi kesempatan yang baik untuk Marvin mengorek lebih banyak permasalahan yang sebenarnya dialami oleh Valentina. Tentu saja, termasuk cerita tentang Ivan, yang bahkan dihindari oleh Valentina saat disinggung oleh Veranda. Marvin ingat, Valentina juga menyiratkan betapa pikirannya terjajah lebih parah semenjak bertemu dengan Ivan.
‘Aku memang merasa lebih dekat sama dia. Dan aku juga melihat dia sudah nggak sungkan lagi ke aku. Tapi bukan berarti aku bisa seenaknya kan, mengatur dia untuk begini dan begitu? Ya meskipun Veranda kelihatannya sudah lebih memaklumi dirinya ketimbang saat di rumah, bukan berarti aku bisa menyarankan sesuatu hal yang bahkan tidak dia minta,’ pikir Marvin. Masih segar dalam ingatan Marvin, apa yang dikisahkan oleh Veranda tentang kakaknya.
‘Meisya, Veranda atau siapapun orang dekatnya yang saat itu menyarankan dia meminta bantuan kepada psikiater saja, ditanggapi dengan ketersinggungan,’ batin Marvin kemudian.
“Apa?” tanya Valentina, mengejutkan Marvin.
* Lucy Liestiyo *