Bab 13

1759 Words
Tiga hari lagi. Iya, tiga hari lagi aku harus memberikan uang itu pada Carlos. Sedangkan uang yang terkumpul semuanya masih kurang banyak sekali. Aku tidak bisa mencari lebih banyak lagi. Karena aku hanya bekerja menjadi buruh cuci di rumah Bu Siti. Aku melihat langit-langit kamarku. Genting yang sudah mengusam terlihat jelas di mataku, di hiasi lampu temaram di kamarku. Aku memikirkan bagaimana esok nanti, saat aku menyerahkan uang Carlos yang masih kurang banyak. "Non Dewi, makan dulu, non." Mbok Sanem mengetik pintuku dan memanggilku untuk makan malam. "Iya, mbok. Sebentar lagi," jawabku. Pikiranku benar-benar kacau. Hingga aku tidak memikikan olimpiade fisika yang sebentar lagi akan di mulai. Seharusnya minggu-minggu aku sudah harus mulai bimbingan dengan Bu Anita. Dan, aku tidak bisa konsentrasi belajar hanya karena masalah ini, jadi aku memutuskan Minggu depan aku baru mulai bimbingan. Aku melangkahkan kakiku untuk keluar menemui Mbok Sanem untuk makan malam. Namun, langkahku terhenti, kala ponselku berdering, memunculkan nomor asing di layar poselku. Ada panggilan dari nomor asing, aku ragu untuk menjawabnya, hingga panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Saat aku akan keluar dari kamar, ponselku berdering lagi. Nomor itu muncul lagi. Aku mencoba mengangkatnya. Namun, aku tidak bicara, aku dengarkan dulu siapa yang menelepon ku itu. "Hallo gadis cantik." Suara bariton itu memecah gendang telingaku. Aku tahu itu suara Carlos. Ya, siapa lagi kalau bukan dia. "Carlos?" Aku bertanya dengan mengernyitkan kening ku. "Dari mana dia tahu nomor ponselku?" gumamku dalam hati. "Iya, cantik. Kamu sudah hapal suaraku sekarang?" Ucapnya dengan nada yang sombong. "Bagaimana? Sudah ada uangnya? Pasti belum, kan?" ucapnya lagi dengan nada megejek "Dari mana kamu dapat nomor ponselku!" sarkas ku pada Carlos. "Jangan galak-galak, sayang. Aku selalu tahu apa yang kamu lakukan setiap hari," ucapnya. Aku semakin tidak mengerti dengan Carlos. Dia semakin mengganggu hidupku. Aku tidak menyangka menjadi serumit ini hidupku. Aku mematikan telepon dari Carlos. Aku tidak peduli dia masih berbicara padaku, karena aku sudah muak dengan dia. Aku membuang ponselku ke tempat tidur. Aku keluar menghampiri Mbok Sanem yang sedang menata makan malam di meja makan kecil yang sudah usang di belakang. "Ada yang bisa Dewi bantu, Mbok?" tanya Dewi. "Tidak usah, udah siap semua ini. Ayo makan," jawab Mbok Sanem. Aku beruntung sekali bisa kenal dengan Mbok Sanem. Beliau seperti kekuargaku sendiri, dan aku merasa memiliki orang tua lagi selama 1 bulan lebih hidup dengan Mbok Sanem. "Non, bagaimana olimpiadenya? Non jadi ikut olimpiade, kan?" tanya Mbok Sanem. "Iya, Mbok. Olimpiadenya nanti akhir bulan, dan nanti akhir semester ini juga Dewi ikut olimpiade matematika. Doakan Dewi ya, Mbok," jawabku pada Mbok Sanem. Seusai makan malam, aku duduk di ruang tengah dan menonton TV sambil membantu mengupas bawang untuk memasak besok pagi yang akan di jual di kantin sekolahan. Suara ketukan pintu depan rumah Mbok Sanem terdengar, dan seketika menghentikan aku yang sedang mengobrol dengan Mbok Sanem. "Siapa yang bertamu malam-malam?" gumamku. "Dewi buka pintunya ya, Mbok." Aku membukakan pintu. Dengan mata terbelalak aku menatap siapa yang datang ke rumah Mbok Sanem. "Kamu! Mau apa kamu ke sini, Hah!" Aku berkata kasar menyambut seorang pria b******n yang bertami di rumah Mbok Sanem. "Hai, aku mau menagih ke sini," ucapnya singkat "Carlos, aku mohon, jangan membawa masalah ini di rumah. Aku di sini hanya menumpang. Please, tiga hari lagi akan aku berikan uang itu, dan jika memang kurang, aku siap dengan kesepakatan kita." Aku memohon pada Carlos agar dia tidak membicarakan soal uang 250 juta. "Jangan bahas di sini, Carlos. Ini bukan rumahku, aku menumpang, aku sudah cukup merepotkan Mbok Sanem dengan aku menumpang di sini. Jangan tambah beban beliau lagi, kalau tahu soal ini." Aku kembali memohon pada Carlos dengan mengatupkan kedua tanganku di depannya. "Oke, aku tunggu tiga hari lagi. Jangan lari dari masalah ini. Kalau kamu tidak penuh membayarnya. Ingat! Tubuh cantik ini akan menjadi milikku." Carlos berbicara sambil menyentuh lengan ku dengan jari-jarinya. "Iya, aku janji, Carlos. Please lepaskan ini." Aku menepis tangan Carlos yang masih bermain cantik di lenganku. "Ini baru lengan, kamu takut aku sentuh? Tiga hari lagi aku yakin kamu akan merasakan sentuhan dariku lebih dari ini, cantik." Ucapan Carlos tepat di depan wajahku, hingga aku merasakan embusan napas Carlos yang semakin memburu. Carlos memepetkan aku di tembok, dia terus mendesakku. Jari jemarinya kini mengusap wajahku dengan lembut. Aku semakin merasakan embusan napas Carlos yang perlahan memanas di depanku. Carlos semakin mendekatkan wajahnya di depan wajahku. Dan, bibir Carlos memungut bibirku dengan lembut. Entah kenapa aku terbuai dengan dirinya. Sungguh aku merasa jijik pada diriku sendiri, aku seakan menikmati ciuman Carlos yang lembut itu. Carlos melumat bibirku hingga aku merasakan lidah Carlos menerobos ke rongga mulutku. "Ehmp…" lenguhan kecil melesat dari bibirku saat Carlos semakin ganas menciumiku. Mataku berlinang air mata, aku takut, aku semakin takut. Dan saat tangan Carlos meraba dadaku, aku segera sadar dari ciuman Carlos yang begitu menghipnotis ku. "Hentikan!" Aku menepis tangan Carlos. Carlos tersenyum puas karena dia sudah puas mencium bibirku dengan rakus. Dan, bodohnya aku, aku seakan menikmati ciuman Carlos itu. Apa ini naluri aku karena sudah beranjak dewasa? Dan, aku belum merasa nyaman pada posisi itu. "Dewi, kamu bodoh sakali! Kenapa kamu menikmatinya!" umpatku dalam hati. "Bagaimana? Ini baru pemanasan, kamu menikmati, kan? Carlos bertanya dengan wajah penuh nafsu di belakangku. "Pergi! Pergi dari sini!" Aku sedikit berbicara keras pada Carlos dan tepat di depan wajahnya. Aku tidak tahu, Raka tiba-tiba berada di belakang Carlos dan menarik baju Carlos untuk menjauh dariku. Dia menarik Carlos dengan kasar. Aku tidak tahu, sejak kapan raka berada di sini, dan aku juga tidak tahu, dia melihat aku berciuman dengan Carlos atau tidak. "Kamu!" Carlos menunjukkan jari telunjuknya di depan Raka. "Iya, aku, kenapa!" ucap Raka dengan segala kemarahannya. "Pergi! Jangan ganggu Dewi. Masih ada waktu 3 hari untuk melunasi uang kamu. Sekarang aku minta, kamu pergi dari sini!" Raka mengusir Carlos dengan kasar. Emosi Raka benar-benar membuncah saat itu. Hingga dia berani mengusir Carlos dengan kasar. Carlos akhirnya meninggalkan rumah Mbok Sanem dengan guratan kemarahan, dan wajah yang penuh dengan nafsu birahi juga masih terlihat jelas. "Ingat! Tiga hari lagi," ucap Carlos sebelum pergi. Raka menarik tubuhku dalam pelukannya. Aku menangis, aku merasa bodoh, aku merasa jijik dengan diriku sendiri yang menikmati kecupan lembut dari Carlos. "Kenapa kamu mau di cium dia, Dew? Kenapa? Apa dia memaksamu?" ucapan Raka terdengar parau di telingaku. Aku merasakan bahuku basah, dan benar dugaanku, kalau Raka menangis. Entah apa yang Raka rasakan saat ini hingga ia menangis saat memelukku. "Raka, maafkan aku. Aku takut, aku takut Carlos menagih pada Mbok Sanem, aku tidak ingin merepotkan dan membebani hidup mbok Sanem lagi. Dan, maafkan jika kamu menganggap aku wanita bodoh," ucapku dengan berlinang air mata di pelukan Raka. "Aku tahu posisi kamu, Dew. Kita duduk sebentar, aku mau bicara." Raka melepaskan pelukanku dan mengajak duduk di bangku yang ada di depan rumah Mbok Sanem. Aku duduk di samping Raka. Raka mengambil amplop cokelat dari dalam jaketnya. Aku tahu dia pasti habis ikut balapan lagi dan dia pasti menang taruhan lagi. "Ini, untuk menambahi uang Carlos." Raka memberikan amplop cokelat itu padaku. "Kamu balapan lagi?" tanya ku. "Iya, aku balapan lagi, dan besok aku akan di tantang oleh raja balap liar. Ini bukan taruhan. Ini ada hadiah sendiri, dan jika aku kalahpun, aku tidak mengeluarkan uang. Doakan saja, aku bisa menang. Maafkan aku, aku mencari uang dengan balap liar lagi." Raka berkata seperti itu dan membuatku semakin merasa bersalah. "Dew, aku pamit pulang, ya? Salam buat Mbok Sanem." Raka berpamitan untuk pulang. "Iya, kamu hati-hati, Ka." Aku melambaikan tanganku pada Raka. Raka melakukan sepeda motornya dengan cepat. Aku masuk ke dalam rumah dan menaruh uang dari Raka. Aku semakin tidak enak hati pada semua temanku, terlebih dengan Alleta dan Rosa. Mereka yang dengan rela menjual tubuhnya pada laki-laki hidung belang. ^^^ (P.O.V RAKA) Aku jelas melihta Dewi menikmati ciumna dengan Carlos. Mereka benar-benar menikmatinya. Carlos pun demikian. Dia memperlakukan Dewi dengan lembut sekali. Tidak ada kekasaran pada diri Carlos saat tadi mencium Dewi. Aku tidak konsentrasi mengendarai sepeda motorku. Aku menepikan sebentar di depan mini market dan aku membeli kopi lalu duduk di kursi yang ada di depan mini market. Aku menyesap kopi yang ku pesan. Kembali aku teringat Dewi dan Carlos tadi saat berciuman. Aku semakin tahu, Carlos tidak hanya ingin mendapatkan tubuh Dewi saja, melainkan dia juga memiliki rasa pada Dewi. Aku tahu Carlos laki-laki yang mudah bermain cinta, dan tidak pernah memperlakukan wanita selembut tadi melakukannya pada Dewi. "Aku yakin, Carlos menyukai Dewi. Aku semakin takut, takut kehilaangan Dewiku. Aku takut itu." Aku bergumam lirih sambil menikmati kopi yang ku pesan tadi. Aku harus bisa memenuhi uang Carlos. Ini demi Dewi, aku tidka mau hidup Dewi di rusak oleh Carlos. Aku harus memenangkan balapan besok malam. Setelah emosiku sedikit reda, aku kembali melajukan sepeda motorku menuju rumah. Rumah yang bagiku seperti neraka, karena setiap hari yang aku lihat adalah perselisihan antara papah dan mamahku. Ya, mereka sama-sama egois. Mamah tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, sedang papah ingin ruamh terlihat rapi dan mamah di rumah mengurus rumah. Setiap hari aku bising dengan perselisihan mereka. ^^^ (P.O.V CARLOS) Aku tidak menyangka rasanya begitu bergelenyar dalam hatiku saat tadi mencium Dewi. Aku bahkan sampai menikmatinya. Aku tidak pernah mencium wanita hingga menikmati seperti ini. Dadaku hingga berdegub kencang, dan ini bukan nafsu. Ini adalah sebuah rasa yang sulit aku jelaskan. Rasanya bibir Dewi masih saja menempel di bibirku. Aku merasa ada yang aneh dalam diriku. Entah apa yang menuntunku tadi saat mencium bibir Dewi. Dan Dewi pun tidak menolak. Dia seperti merasakan setiap lumatan yang aku berikan. Aku merasakan bagian bawahku mengeras, saat aku kembali mengingat Dewi. Sungguh menyiksa sekali rasanya. Aku kembali menghubungi Sherly, tidak ada jawaban dari Sherly. Aku tahu dia pasti sudah tidur. Dan, aku langsung melajukan mobilku menuju Apartemennya. Setelah sampai, aku langsung masuk ke dalam unit Sherly, beruntung passwordnya aku hapal. Dan, tidak ku sangka Sherly sedang bermain dengan laki-laki di dalam kamarnya. Entah itu siapa aku tidak tahu. Erangan seorang laki-laki terdengar nyaring di telinga. Desahan dari mulut Sherly yang meracau kenikmatan juga terdengar nyaring di telingaku. "Dasar jalang!" umpatku kesal dengan membuka pintu kamar Sherly yang tidak terkunci. Aku melihat tunanganku sedang melakukan pergumulan nikmat dengan seorang laki-laki yang aku kenal. Andrew, teman Bisnisku. Mereka menghentikan permainan busuknya itu. Aku hanya tersenyum kecut dan mendekatinya. "Lanjutkan saja. Kita bermain bersama jalangku ini," ucapku dengan nada sarkas "Jalang? Apa maksudmu mengataiku jalang?" Sherly marah besar denganku. "Iya kata itu pantas, bagaimana tidak kamu melakukanny dengan laki-laki lain. Ayo kita bermain, kita juga bisa bermain ini." ucapku dengan meremas p******a Sherly yang masih terlihat. "Ayo, Andrew…kita nikmati tubuh Sherly," anakku pada Andrew. "Hmmmm…kurasa ide kamu bagus, Carlos." Andrew memainkan lagi jarinya pada v****a Sherly. "Ahhkkk…" lenguh Sherly dengan menjambak rambutku. Kepalaku memang ada di d**a Sherly, aku menikmati dua gundukan besar kesukaanku. "Bagaimana, sayang?" ucapku pada Sherly yang sudah di buat melayang oleh aku dan Andrew. Kami melakukannya hingga mencapai pelepasan berkali-kali. Dan, usai itu, bukan kemarahan Sherly yang aku dapat, tapu Sherly justru menginginkan lagi. Dan kami bermai lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD