( P.O.V Carlos.)
Aku melajukan mobilku ke apartemen Sherly. Rasanya melihat Dewi tadi membuat gairah Carlos naik.
"Sialan, pagi-pagi sudah di buat seperti ini hanya karena gadis SMA itu!" umpatku kesal.
Aku melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke apartement Sherly, tunanganku. Aku segera masuk ke unit Sherly saat sudah sampai di apartemen.
"Sayang," sapa Sherly dengan manja saat aku sudah berdiri di ambang pintu.
Aku menutup rapat dan mengunci pintunya. Tanpa aba-aba aku langsung mendekap Sherly dan melucuti pakaian yang Sherly kenakan. Pergumulan terjadi di pagi hari dengan begitu nikmat. Suara desahan kami menggema di setiap sudut kamar Sherly. Aku berkali-kali melakukannya. Dan, aku membayangkan wajah dan tubuh Sherly adalah Dewi.
"Kamu tumben b*******h sekali, sayang? Biasanya baru satu kali saja kamu tidak mau nambah lagi. Ini sudah lima kali," tanya Sherly dengan sedikit penasaran apa yang terjadi pada diriku di pagi hari ini.
"Entahlah, aku ingin sekali," jawabku singkat.
"Apa wanita-wanitamu di luar sana tidak memuaskan kamu, sayang?" tanya Sherly dengan menggodaku lagi.
"Aku sedang tidak main wanita." Aku menjawab dengan sedikit kesal, karena Sherly pasti membahas berapa wanita yang aku tiduri semalam. Padahal aku juga tahu, dia juga sering bergumul dengan pria lain selain aku.
"Oh, aku tidak percaya," ucap Sherly.
"Jangan buat aku kesal!" Aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diriku.
Seperti itukah wanita untuk panutan hidupku nanti? Tidak, aku memang b******k, dan aku butuh pendamping yang bisa membimbingku. Ke mana dia? Aku sama sekali kehilangan jejaknya, bahkan papah hingga menyuruh semua orangnya untuk mencari dia.
Dia, gadis kecilku, yang kini entah kemana perginya. Terakhir keluargaku mendengar kabarnya, mereka satu keluarga mengalamai kecelakaan maut, tapi gadisku tidak turut dalam perjalanan maut itu. Kata papah, sebelum orang tua gadisku mengalami kecelakaan, semua aset perusahaanny di titipkan pada papah. Dan, keluargaku benar-benar menjaga semua peninggalan kelurga Wira Hutama.
Om Wira yang ku kenal sosok laki-laki dermawan dan pembisnis sukses. Perusahaanya masih bierjaya hingga sekarang, karena aku dan papah yang mengelolanya. Om Wira baik dengan keluarga kami, itu mengapa kami mengelola dengan baik perusahaan Om Wira, sebelum keluargaku menemui ahli warisnya, yaitu gadisku yang selama ini aku cari.
Aku kembali memakai bajuku sesudah selesai mandi. Dan aku langsung meninggalkan Sherly untuk ke kantor. Ada meeting dengan klien penting, karena papah sibuk mengurus perusahaan Om Wira, jadi aku yang harus menemui klien penting itu.
Aku memang b******k, tapi aku masih menuruti apa kata papahku. Karena itu semua menyangkut masa depanku, termasuk bertunangan dengan Sherly, putri seorang pengusaha terkaya di Australia. Mungkin aku menganggap Sherly bukan tunangan, melainkan partner seks dan karena bisnis orang tua kami.
Sherly pun sepertinya begitu, hanya demi bisnis papahnya dia mau menjadi tunangan ku, apalagi dia tipe wanita pencinta seks sama seperti ku. Dan, kami menikmati hubungan ini, meski dia sering bersama pria lain saat di luar kota, dan aku juga sering bermain wanita.
^^^^^
Aku masuk ke dalam kelasnya dan duduk di bangkunya. Aku menenggelamkan wajahku di atas lipatan tanganku di meja. Rasanya hidupku akan segera berakhir. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, untuk mendapatkan uang itu. Walaupun teman-temanku membantu untuk mencari uang, aku meragukannya. Dua ratus lima puluh juta adalah uang yang banyak. Para pekerja seks mendapatkan uang segitu banyaknya juga harus melewati beberapa bulan. Dan, aku hanya di kasih waktu satu bulan oleh Carlos.
"Aku tidak yakin, mereka akan mendapatkannya. Mereka mendapatkan itu dengan rela menjual dirinya, sedangkan aku? Aku hanya diam, dan hasilku tak sebanding dengan mereka. Carlos sungguh kejam sekali," gumamku sambil memejamkan mata.
Rasanya semua sia-sia aku menjaga kehormatanku, karana tidak mungkin aku mendapatkan uang sebanyak itu. Suasana kelas semakin ramai, apalagi sudah ada Alleta dan Rosa si ratu heboh di kelas. Mereka masuk dan mendekatiku yang sedang duduk termenung di bangku ku. Rosa duduk di sampingku dan merangkulku itu, begitu juga Alleta.
"Pagi-pagi, jangan ngelamun," ucap Rosa dengan mencubit pipiku.
"Kenapa? Udah jangan pikirin, masalah uang Carlos?" tanya Aletta.
"Gue gak bisa dapat banyak Ros, Let," ucapku
"Sudah jangan pikirkan itu, kami dapat banyak kok. Iya kan, Let?"tanya Rosa
"Yes, kita dapat banyak, sudah jangan pikirkan itu," ucap Alleta.
"Maafin gue, kalian jadi seperti ini." Aku semakin terisak karena teman-temanku sangat menyayangiku.
"Itu semua gue lakukan, agar Lo tidak seperti kita, Dew. Gue tau Carlos meminta lo melayaninya kalau tidak ada 250juta, iya, kan?" Rosa bertanya seperti itu, yang membuatku menganggukkan kepalaku pelan.
"Kalau memang kenyataannya harus begitu gue harus bagaimana?" ucapku.
"Jangan, sampai loe seperti kita, Dew. Gue gak rela, loe harus bisa mempertahankannya," tutur Letta.
"Dan kita, tidak mau kamu seperti kita. Loe harus jadi Dewi seutuhnya. Gue gak akan membiarkan loe sama seperti kita," imbuh Rosa.
"Letta, Rosa," Aku memeluk sahabatku yang benar-benar tulus menyayangiku.
Selama ditinggal orang tuaku, hidupku tidak baik-baik saja. Beruntung aku memiliki sahabat seperti Aletta dan Rosa yang sangat menyayangiku.
Leta dan Rosa memang kehidupannya bebas. Merokok, minum minuman keras, dan seks bebas sudah menjadi bagian pokok dari hidupnya. Namun, mereka tidak mau jika aku terjerumus seperti dirinya dalam hal seks bebas. Mereka memperbolehkan aku ikut merokok, ikut minum, tapi jika ada lelaki hidung belang yang mendekatiku, mereka menjauhkannya dariku.
Seperti saat ini, aku sedang di ancam oleh Carlos. Aletta dan Rosa rela melakukan apapun, asal aku tidak jatuh kepelukan Carlos, Pria tampan tapi berhati busuk. Bagaimana tidak busuk? Dia memakai wanita hanya untuk memuaskan nafsunya saja, dan setelah itu, dia membuangnya. Seperti itulah kehidupan Carlos yang Alleta dan Rosa tau.
"Let, Ros, apa bisa kita memenuhi uang Carlos?" tanyaku dengan tatapan sendu pada mereka.
"Pasti bisa, sayang. Loe jangan khawatir, oke." Aletta mencoba menenangkan pikiranku yang semakin kacau.
"Sudah, jangan dipikirkan lagi, loe harus fokus dengan olimpiade, Dew," sahut Raka yang tiba-tiba berada di belakangku
"Kita bisa bantu Loe, Dew. Loe tenang aja, loe fokus sama olimpiade, oke," imbuh Andre.
"Thanks, loe emang sahabat gue. Gue gak tau kalau gak da loe semua." Tangisku pecah dipelukan sahabtku yang samgat menyayangiku
^^^^^
Jam istirahat tiba, Aku keluar dari kelas untuk ke perpustakaan. Tempat paling nyaman bagiku saat sedang ada masalah adalah di bangku pojok perpustakaan.
Bu Anita, guru Fisika ku melihat aku yang sedang membolak-balikan buku yang tadi kuambil, tapi aku belum sempat membacanya. Aku hanya membolak-balikan buku yang tadi ku ambil saja tanpa membacanya, dan mataku menatap ke sudut dinding dengan tatapan kosong. Iya, pikiranku kosong saat ini. Hingga aku mengalihkan pandangan saat Bu Anita memandangiku.
Bu Anita menghampiriku, mungkin dia akan berterima kasih padaku lagi karena kemarin aku berhasil mendekatkan dirinya dengan Pak Affan, guru matematika yang juga memiliki rasa denganku. Atau mungkin Bu Anita tahu kalau aku sedang ada masalah.
"Kamu melamun di pojokan perpustakaan, nanti kesambet, Dewi." Bu Anita tiba-tiba berkata di depanku, dia sedikit terjingkat mengetahui kedatangan Bu Anita di depanku.
"Ibu, mengagetkanku saja," ucapku.
"Lagian, kamu siang bolong gini melamun, ini perpustakaan banyak hantunya, nanti kamu kesambet," tutur Bu Anita.
"Hmmm…paling hantunya sekelas Pak Indro," aku berkelarar sambil terkekeh di depan Bu Anita.
"Kamu bisa saja." Bu Anita memandangi wajahku yang mungkin kelihatan memiliki masalah.
"Kamu ada masalah?" tanya Bu Anita.
"Hmmpp…hidup tak ada masalah namanya bukan hidup, Bu," jawabku.
"Seperti orang tua saja kamu, jawabnya," kata Bu Anita.
"Ibu ada-ada saja, tua tapi pikiran tidak dewasa banyak, Bu. Yang muda yang berpikiran dewasa juga banyak," ujarku.
"Iya, sih. Lalu kamu yang mana?" tanya Bu Anita.
"Entahlah," jawabku.
"Cerita sama ibu, kalau kamu ada masalah," ujar Bu Anita.
"Dewi tidak ada masalah, Bu," ucapku
"Yakin?" tanya Bu Anita lagi memastikan.
"Iya, yakin, Bu. Dewi hanya kangen dengan mendiang papah dan mamah, juga adik Dewi. Kalau mereka masih ada, mungkin Dewi tidak di sini," ucapku
"Jangan seperti itu, ibu yakin kamu bisa melewati ini semua. Berdo'alah, papah, mamah, dan adikmu sudah bahagia di surga," tutur Bu Anita.
"Iya, Bu," jawabku.
Bell masuk berbunyi. Aku berpamitan pada Bu Anita, untuk kembali ke kelasnya. Bu Anita masih duduk di kursinya, mungkin memikirkan apa yang aku sembunyikan. Dia seperti tidak percaya kalau aku tidak ada masalah.
"Bu Anita memang guruku yang paling peka setelah Pak Affan. Mungkin dia menganggap aku tidak hanya sebagai murid, tapi juga saudaranya. Maafkan Dewi, Bu. Dewi menutupi masalah Dewi. Karena Dewi tidak mau merepotkan siapapun lagi." Aku bergumam sambil berjalan ke arah kelasku.
Ini adalah pelajaran yang paling sulit, aku tidak suka, rasanya aku ingin kabur jika pelajaran ini tiba. Iya, Bahasa Inggris. Aku paling kesulitan belajar ini. Tidak seperti Alleta dan Rosa yang suka sekali dengan pelajaran Bahasa Inggris. Dan, aku memutuskan untuk ke klinik sekolahan, izin dengan guru kelas kalau tidak enak badan.
Seperti inilah aku, jika tidak suka dengan pelajaran. Apalagi hari ini hatiku sedang tidak karuan. Beruntung Bu Tini mengizinkan aku untuk ke klinik sekolahan.