Chapter 03

1163 Words
Dhafin berjalan membawa sebuket bunga mawar putih ke dalam area pemakaman umum. Ia menatap satu persatu batu nisan berlambang salip dan berlambang lainnya. Ia terdenyum manis ketika bertemu dengan makam seseorang yang dicintai olehnya selama sepuluh tahun ini. Sebuah makam dengan bertuliskan nama Zaimor Lisondrova. Nama seorang gadis yang meninggalkan dirinya selama-lamanya. Dengan meninggalkan sejuta kenangan, perasaan bersalah, terluka, kesepian, dan semuanya terasa campur aduk. Yang paling penting! Ia tidak bisa berpaling dari Zaimor. Gadis berdarah Spanyol-Ukraina tersebut.   Dhafin berjongkok memandang batu nisan berwarna emas. Seperti warna kesukaan dari Zaimor, gadis yang amat dicintai olehnya.   Sebuah rasa cinta tidak pernah hilang selama sepuluh tahun ini. Tidak pernah ia mencoba membuka hati pasa satupun perempuan yang mendekati dirinya. Dhafin menutup pintu hatinya begitu rapat dengan menguncinya sebuah tekad dengan mengatakan bahwa... hanya Zaimor tidak ada yang lain.   Dhafin mengusap batu nisan dari mantan kekasihnya ini. "Hai," Dhafin menyapa dengan suara lirih. Suara yang ia perlihatkan ketika ke makam Zaimor dan melihat bingkai foto Zaimor yang ia sembunyikan rapat dalam ruangan kerjanya.   Keluarganya tidak pernah tau ia pernah memilili seorang kekasih di saat umur enam belas tahun. Umur kata cinta masih hanya sebuah mainan, namun bagi Dhafin ia tidak main-main mencintai seorang Zaimor, perempuan ceria, penyayang, dan pada akhirnya terbunuh oleh segerombolan wanita berengsek! Dhafin masih ingat dengan jelas kejadian sepuluh tahun yang lalu.   Saat ia kehilangan Zaimor selama-lamanya. Karena kebodohannya tidak bisa menolong Zaimor dan melihat jasad Zaimor terbujur kaku, mata terpejam, dan sebuah senyuman kepedihan sekaligus kesakitan.   Betapa hancur hati Dhafin. Menerima sebuah kenyataan kekasihnya pergi. Bukan pergi liburan, tapi pergi ke pangkuan Tuhan.   "Kamu apa kabar Aimo?" Dhafin biasa memanggil Zaimor dengan Aimo. Sebuah panggilan khusus darinya untuk sang kekasih. Kekasih yang sudah mengambil separuh hatinya.   Dhafin mengusap air matanya. "Aku kesepian Mo. Kau pasti sudah tau perubahan dari sifatku selama sepuluh tahun ini," Dhafin tertawa miris. Ia tidak sanggup mengucapkan kelajutan dari kata-katanya. Kata-kata yang masih sama saat ia mengunjungi Zaimor.   "Aku berengsek! Aku kejam! Aku pembunuh! Aku pembohong! Aku pura-pura humoris! Aku membohongi semua keluargaku, kecuali Dhafa Adik kembarku. Aku tidak tau mengapa ia memiliki sifat sama denganku? Bahkan ia lebih dulu menekuni sifat buruk ini." Dhafin menggenggam rumput yang berada di atas makam Zaimor. Ia ingin meneriakan pada seluruh dunia kalau dirinya hanya pria tidak berdaya setelah kepergian seorang gadis yang dicintai olehnya.   "Aku ingin ikut bersamamu," Dhafin menangis dan terkadang tertawa. Kebodohan yang dilakukan olehnya sepuluh tahun yang lalu. Membuat kejiwaan dari seorang Dhafin rusak. Rusak seluruhnya dan semuanya berubah!   Dhafin hanya menyisakan sedikit sebuah kewarasan dalam dirinya. Agar sang orangtua dan saudara-saudaranya tidak malu memiliki seorang anak dan saudara pembunuh, berengsek, dan yang lainnya.   Ia berhasil menutupi jati dirinya dengan tingkah konyol, mengganggu Adik-adiknya, dan yang terpenting ia bersifat sebagai pengusaha baik-baik di hadapan publik. Tidak ada yang berani mengekspos sebuah kelakuan buruknya dengan berganti pasangan. Kalau mereka berani? Maka tamatlah sudah perusahaan media yang memberitakan dirinya maupun kembarannya.   "Aku bukanlah Dhafin Alsa Alganta yang kau kenal lagi. Semenjak kematianmu membawaku pada sebuah jalur kegelapan, wanitw-wanita jalang itu akan aku permainkan dan menghina mereka. Mereka tidak pantad diperlakukan baik-baik, mereka hanya sampah!" Dhafin berujar sembari menampilkan senyuman liciknya. Sebuah senyuman yang mampu membuat musuh-musuhnya ketakuatan dan lari tunggang langgang.   "Aimo! Aku sangat ingin menyusulmu ke surga. Tapi aku tidak yakin bisa masuk surga, karen semua dosa yang telah aku lakukan selama ini. Ratusan nyawa melayang, banyaknya wanita aku tiduri, dan sudah terlalu banyak aku membohongi keluargaku."   "Seandainya kau masih hidup. Kita pasti sudah memiliki anak sekarang, anak yang sangat cantik dan tampan. Dan kau akan menjadi menantu kesayangan di keluarga Alsa. Sayangnya kau pergi karena kebodohanku sendiri. Kebodohan yang merengut nyawamu dengan begitu kejam! Aku sudah mencari wanita-wanita jalang itu dan membunuhnya. Kau puasa sayang? Kau puas?! Aku sudah membalaskan sakit hatimu." Dhafin tertawa licik. Ia masih ingat wanita-wanita yang membunuh gadisnya sudah ia lenyapkan satu kali tusukan di lehernya.   "Aku pemuja darah sekarang. Pemuja cairan kental dan juga harum bagiku, gila? Aku memang gila Aimo. Seorang Dhafin Alsa Alganta yang dulunya baik, ceria, dan tidak pernah berbuat kesalahan. Berubah seketika! Semuanya berubah Aimo! Dunia itu kejam! Dengan mudahnya mereka membunuhmu," Dhafin mencium batu nisan bertuliskan nama mantan kekasihnya itu. Sebuah nama yang masih ada dalam dadanya.   Suara merdu dari Aimo masih terekam jelas dalam benak dan pikiran Dhafin. Sebuah kekonyolan kebersamaan mereka masih mampu membayang-bayangi Dhafin setiap detiknya.   Cinta anak remaja. Sering dibilang hanya sebuah perasaan main-main dan akan hilang. Namun, Dhafin tidak main-main memberikan hatinya pada Zaimor saat remaja. Ia bahkan sudah menyusun sebuah kebahagiaan terindah untuk masa depan mereka berdua.   Semuanya hancur! Saat ia menemukan jasad Zaimor di gang kecil, kumuh, dan tidak pernah dilalui seseorang. Namun sebuah keberuntungan bagi Dhafin terdapat CCTV menuju gang tersebut. Ia bisa melihat dengan jelas semua kejadian yang menimpa kekasihnya.   Semenjak kejadian itu pula. Semuanya berubah dan tak sama lagi. Keluarganya tidak pernah tau apa yang dialami oleh dirinya, sebuah kejadian merusak kejiwaan dan psikis seorang Dhafin.   Bila Abraham Alsa Almalik. Adiknya diketahui berubah karena kekasih Adiknya meninggal dalam kecelakaan lima bulan menjelang pernikahan. Namun, ia dan Dhafa tidak diketahui oleh siapa pun mereka berubah. Dan Dhafin tidak mengetahui kenapa Dhafa bisa memiliki sifat buruk itu selama setahun lebih dulu darinya.   Dhafa sama dengannya pandai merahasiakan sesuatu tanpa diketahui oleh seorangpun.   "Aimo, kau pasti berbahagia dengan para bidadari dan bidadara di surga. Aku mencoba meng-ikhlaskan-mu namun tidak bisa, sayang." Dhafin menangis tergugu. Meng-ikhlaskan adalah sebuah hal tersulit.   Dhafin tidak ikhlas dengan kepergian Zaimor dengan begitu kejam. Dhafin masih terbayang-bayang akan tubuh kaku, dingin dari kekasihnya.   Semuanya salah Dhafin!   Salah Dhafin!   Salah Dhafin!   Kesalahan Dhafin!   Kata-kata tersebut selalu ditekankan Dhafin dalam dirinya. Kalau bukan karena dirinya, Zaimor masih hidup sampai sekarang. Dhafin masih melihat senyuman dan tawa Zaimor.   Dhafin pasti sudah memiliki anak-anak yang lucu dengan Zaimor. Rumah tangga impian Dhafin dengan Zaimor lenyap! Semuanya lenyap! Dengan kekejaman dunia yang dengan gampangnya membunuh seorang gadis tidak bersalah.   Gadis lugu, periang, murah tersenyum, sering tertawa, dan begitu polos. Harus terbunuh dengan tidak wajar.   Dhafin membenci wanita-wanita rendahan, musuh-musuh tidak tau diri, dan juga yang mengganggu ketenangan dirinya. Ia haus darah dan ingin melampiaskan rasa bersalahnya pada membunuh dan meniduri wanita-w************n setiap malamnya.   Bukannya Dhafin tidak tau semuanya salah. Namun ia begitu tergantung dengan kehidupan gelapnya sekarang. Sebuah kehidupan membawa kepuasan tersendiri padanya dan juga membawa kebahagiaan sesaat saat melihat musuhnya meminta ampun, wanita yang di tidurinya secara kasar menjerit nikmat dan kesakitan.   Terasa menyenangkan. Kejiwaannya telah rusak, tak ayal dirinya pernah melakukan s*x dengan wanita-wanita yang dibunuhnya. s*x saat wanita itu tak bernapas lagi lebih menyenangkan melihat darah mengalir, mata terbelalak, dan sebuah senyuman ketakutan. Sungguh sangat menyenangkan.   "Aimo, aku harus pergi dulu. Karena ada beberapa tikus harus aku selesaikan, beristirahatlah dengan tenang sayang. Aku mencintaimu," Dhafin mencium batu nisan Zaimor. Ia meneteskan satu tetes air mata kesakitan dan kepedihan.   "Aku minta maaf," Dhafin berdiri dari jongkoknya. Berjalan tanpa melihat ke arah makam Zaimor lagi. Dirinya begitu rapuh.   Orang yang sering tertawa dan tersenyum menutupi sejuta misteri di dalamnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD