"Maaf, kalau boleh tahu, saya perlu memanggil Anda dengan apa?. Nyonya? Atau apa?" Tanya Ara. Kini, dia sedang minum teh berdua dengan wanita paruh baya yang baru saja menyatakan kalau dia sudah terima menjadi florist di toko bunga miliknya.
"Panggil saya dengan Bella saja. Tanpa embel-embel nyonya. Saya lebih nyaman dengan itu meski umur saya sudah tua." Ucapnya, perempuan yang tadi mengakui kalau dirinya bernama Bella.
Ara terkekeh dan menyesap tehnya. Sebenarnya sekarang sedang menahan gejolak mual yang dirasakannya. Ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja dihadapan Bella.
"Anda bahkan tidak setua itu. Anda masih terlihat muda, Bella." Kata Ara yang membuat Bella ikutan tertawa. Kemudian dia menoleh ke cermin dekatnya duduk, meraba wajahnya.
"Sedikit keriput, tapi saya senang dengan pujianmu, Ara." Ujarnya.
Ara hanya mengangguk, kemudian membungkam dirinya akibat gejolak itu yang tak bisa dikendalikan olehnya. Dia berusaha menutupinnya agar tidak terlalu kentara, tapi naas, Bella sudah menyadarinya.
"Ada apa denganmu?" Tanya Bella.
Ara menggeleng, "tidak. Lupakan saja. Sepertinya saya mabuk perjalanan." Bantah Ara. Ia berusaha untuk kembali terlihat biasa-biasa saja, tapi tidak lama dari itu, ia tidak bisa menahannya lagi.
Ara berlari menuju toilet yang ada di ujung toko ini dan meluapkan gejolak yang tadi ditahan-tahan oleh dirinya. Tidak lama dari itu, Bella datang dan mengurutkan belakang leher Ara, sambil sesekali mengurutnya ke punggung Ara.
Hanya cairan putih saja yang keluar. Persis seperti yang sering terjadi pada ibu-ibu hamil muda. Hal itu membuat Bella penasaran dan langsung bertanya tanpa pikir panjang.
"Kamu hamil?"
***
"Kasihan sekali kamu, Ara. Lalu sekarang kamu mau kemana? Sudah dapat tempat tinggal?" Tanya Bella. Ia kasihan mendengar cerita Ara yang menurutnya sangat menyedihkan, bahkan ia ikut menangis mendengarnya.
Iya, Ara menceritakan segalanya pada Bella. Sangat lengkap, baik itu dari awal Ara yang menyukai Ken hingga berakhir pada penolakan Ken untuk bertanggungjawab padanya. Bahkan, Ara juga bercerita alasan kenapa dia bisa terdampar di negara ini, padahal yang seharusnya terjadi adalah dia ada di Amerika, bukan di Australia.
"Aku belum mencari tempat tinggal. Mungkin setelah ini aku akan mencarinya." Kata Ara, menyeka air matanya dengan tisu.
"Kalau begitu, kamu bisa tinggal dengan saya. Rumah saya ada kamar yang kosong dan sudah lama tidak ditempati. Saya hanya tinggal berdua dengan putra saya, tapi dia jarang pulang karena pekerjaannya. Bagaimana?" Tanya Bella.
Ara menatap Bella sembari berkata, "apa tidak memberikan kalian nantinya kalau saya tinggal di sana?. Saya yang bahkan juga merasa tidak pantas ada di dalam rumah kalian, Bella." Jawab Ara.
Bella menggapai tangan Ara. "Tidak sama sekali!. Daripada kamu mencari tempat tinggal dan merepotkan dirimu sendiri, lebih baik kamu tinggal dengan saya. Terlebih, sekarang kamu sedang hamil. Nanti tidak ada yang menjagamu, Ara. Kalau kamu tinggal dengan saya, kamu bisa di jaga oleh putra saya juga. Dia dokter kandungan dan tahu bagaimana menjagamu nantinya." Ucap Bella.
Dalam hati Ara berkata, "terimakasih, Tuhan. Terimakasih atas kemudahan yang Engkau berikan padaku. Aku janji tidak akan menyia-nyiakan kebaikanMu pada ku.".
"Baiklah. Saya akan tinggal bersama kalian. Tapi, kalau saya merepotkan kalian, jangan sungkan-sungkan untuk mengusir saya dari rumah Anda. Mengerti?" Ujar Ara yang membuat Bella tertawa. Ia sempat mendapatkan pukulan manja dari Bella.
"Tidak mungkin!" Ungkap Bella.
***
Sore harinya, Ara selesai belajar cara merangkai bunga dari Bella. Dan hanya perlu beberapa jam saja, dia sudah bisa merangkai bunga dengan baik. Hal itu membuat Bella sangat senang.
"Bella, ayo kita pulang!" Teriak seorang pria yang baru saja masuk ke toko bunga Bella. Sontak baik Bella ataupun Ara menoleh ke sumber suara.
Bella dengan cepat menghampiri pria yang usianya mungkin masih kepala dua. Dia tampak lebih muda dari Bella, tapi kurang ajarnya lebih dari itu.
"Siapa dia, Bella?" Tanya Ara, mendekati mereka. Ara dan pria itu saling tatap, tapi tidak lama.
"Saya Andreas." Ucap pria itu, mengajukan tangannya dengan harapan agar Ara mau menjabatnya.
Ara hanya menatap tangan yang masih mengudara di depannya. Dia masih kebingungan, menatap Bella yang kemudian menganggukkan kepalanya.
"Saya Arabella. Panggil Ara saja." Ujar Ara, menjabat kembali tangan Andreas. Tiba-tiba Andreas memeluk Ara dan menepuk punggung Ara pelan sambil berkata, "senang berkenalan denganmu."
Sontak, Bella langsung menarik tubuh Andreas agar menjauh dari Ara. Dia menjewer telinga Andreas hingga membuat pria itu mengaduh kesakitan.
"Mulai ya?. Yang satu ini tidak boleh!" Ucap Bella.
"Kenapa?" Tanya Andreas dengan raut wajah yang lucu.
"Dia tidak seperti florist-florist mama yang sebelumnya. Tapi dia berbeda dan jangan main-main dengannya. Sekali main-main, kamu mama usir dari rumah. Mengerti?!" Ancam Bella.
Dengan santainya Andreas menjawab, "TIDAK MENGERTI!".
Karena jawabannya yang tidak sesuai dengan keinginan Bella, akhirnya dengan sangat tega Bella semakin menarik telinga Andreas hingga pria itu sendiri yang memohon pada Bella agar mau membebaskannya. Bella tidak mau melakukannya sebelum Andreas mau menuruti permintaannya. Terjadi perdebatan yang unyu dari sang mama dan sang putra, yang membuat Ara tertawa.
"Lepaskan lah dia, Bella. Telinganya sudah memerah." Ucap Ara, yang kemudian dengan cepat Bella turuti. Bella melepas tangannya dari telinga Andreas, dan pria itu dengan cepat bersembunyi di belakang tubuh Ara.
"Kalau Ara bisa melindungi Andreas dari amukan mama, bukankah itu artinya Andreas harus menikahi Ara?" Tanya Andreas dengan santai.
"Eh?!" Bella dan Ara sama-sama memberikan reaksi yang demikian. Mereka saling tatap satu sama lain, kemudian tidak lama dari itu mereka sama-sama menyerang Andreas dengan tangkai bunga uang tadi dibuangnya.
Kompak.
***
"Welcome to your dream room!" Ujar Andreas dengan begitu riang, membukakan sebuah kamar yang nantinya akan Ara tempati sampai waktu yang menentukan.
"Wahhh....." Ucap Ara, sengaja merasa takjub dengan kamar yang hanya berisi ranjang dan lemari saja. Bahkan suaranya yang tidak tampak semangat membuat Andreas gemas dan membuang kuncinya ke Ara. Untungnya Ara bisa langsung tanggap. Kunci itu tepat bisa dia tangkap.
"Mana ada orang mengatakan ketakjuban, tapi nada suaranya terdengar lemas. Dasar Ara!" Ujar Andreas. Dia berbaring di ranjang dan menatap langit-langit kamar.
"Aku. Aku lah orangnya." Ujar Ara. Dia menarik kaki Andreas hingga pria itu turun dari ranjangnya. Hal itu membuat Andreas tertawa dan mencoba untuk menggelitik Ara.
Dengan cepat Ara berteriak dan hendak berlari keluar dari kamarnya. Baru saja berbalik, sudah ada Bella yang berdiri tegap di depan kamar dengan tangan yang melipat di depan d**a. Ara langsung mematung, dan tidak lama dari itu Andreas menyusulnya. Dia hendak menggelitik Ara, tapi langsung diberi kode olah Ara kalau ada Bella di dekat mereka.
"Ada Bella. Jangan main-main!" Ucap Ara dengan nada yang pelan, tapi dia menakan setiap kata itu. Ara menggerakkan matanya ke samping dan Andreas pun menoleh ke arah yang tadi ditunjukkan oleh Ara.
Andreas kemudian paham. Dia langsung menghela nafas kasar sambil berkata, "ah, Bella gak seru!" Ujarnya. Hal itu membuat Ara bergidik ngeri. Bagaimana mungkin Andreas menyebut nama ibunya secara langsung, seperti Bella bukan orangtuanya sendiri. Tapi, itu lah yang membuatnya dekat. Terlebih peran Bella yang menjadi mama dan papa Andreas, itu bukan hal yang mudah baginya.
Bella menggelengkan kepalanya pelan, "aku seperti mengasuh dua anak kalau melihat kalian seperti ini." Katanya dan beranjak masuk ke dalam kamar Ara.
Menyusul, Ara dan Andreas masuk juga ke dalam. Tapi, keduanya saling tuduh satu sama lain tentang siapa yang sebenarnya bersalah dalam hal ini.
"Kamu sih!"
"Kamu!"
"Kamu! Titik!"
"DIAM!" Bentak Bella, membuat keduanya seketika diam.
Ara dan Andreas langsung menunduk, merasa bersalah. Entah, tapi yang pasti, Ara dan Andreas begitu dekat hanya dalam satu kali bertemu. Mereka seperti saudara yang sudah lama tidak bertemu dan sekalinya bertemu malah saling tuduh. Itu lah mereka, menurut Bella.
"Lama-lama aku nikahkan kalian." Gerutu Bella dan mulai mengeluarkan baju-baju Ara dari dalam koper perempuan itu.
"Yuk!" Ucap Andreas, kembali memancing. Dia memegang tangan Ara dan hendak menariknya keluar dari kamar.
"Eh, mau kemana?" Tanya Ara.
"Ayo menikah!" Ucap Andreas. Ara menarik tangannya, yang kemudian ditarik lagi oleh Andreas. Begitu seterusnya. Alhasil, terjadi adegan saling tarik menarik tangan.
"Aku gak mau!" Kata Ara.
"Kenapa?" Tanya Andreas. Dia menatap Ara kebingunganku, dan hal itu juga diperhatikan oleh Bella.
"Karena kamu bukan ayah dari anakku!" Ucap Ara dengan gamblangnya.
Seketika Andreas langsung mengangguk paham. "Tidak masalah!. Aku akan bertanggung-jawab untuknya. Nanti kalau sudah besar, baru kita pertemukan dengan ayah kandungnya, tapi dia tidak bisa memilikimu. Bagaimana?" Usul Andreas, terdengar tidak masuk akal bagi Ara.
Ara menggeleng, semakin membuat Andreas kebingungan. "Kali ini apa lagi, Ara?. Aku sudah cukup baik dengan mau menikahimu. Daripada gak punya pasangan, kan?" Ucapnya, dan tertawa.
"Aku gak suka kamu!" Jawab Ara dengan cepat dan langsung bersembunyi di belakang tubuh Bella.
Tubuh Andreas langsung lemas ketika mendengar itu. "Kalau begitu cobalah untuk menyukaiku!" Pintanya lagi, belum cukup menyerah.
"Tidak!. Kamu jelek!" Ejek Ara.
"Mama!" Adu Andreas, hendak memeluk Bella. Tapi, sebelum dia benar-benar menggapai tubuh mamanya, ia sudah langsung tersadarkan oleh ucapan mamanya sendiri.
"Dia benar. Kamu jelek, makanya gak ada yang mau menikah denganmu!" Ucap Bella pada Andreas.
"Kalian sama saja!"
Ara dan Bella tertawa serempak.
***
Pagi ini, Ara dibangunkan oleh Andreas. Tapi, ketika dia membangunkan Ara, dia mengambil sebuah bingkai foto yang dipeluk oleh Ara.
Ara mengucek matanya, khas orang baru bangun. Ketika dia tersadar kalau ada Andreas di kamarnya, dia sedikit tertawa dan mengambil bingkai foto itu dari tangan Andreas.
"Dia ya orangnya?" Tanya Andreas. Menunjuk bingkai foto yang dibersihkan lelah Ara. Di mencium bingkai foto itu dan menyimpannya kembali di bawah bantalnya.
Ara mengangguk. "Iya, benar. Dia lah pria brengs*k yang sayangnya aku cintai itu. Tampan sekali, kan? Mengalahkan ketampanan mu!" Ucap Ara. Dia tertawa meninggalkan Andreas yang memberikan ekspresi kecewanya mendengar Ara yang mengejeknya.
"Setampan apapun dia, tidak ada gunanya kalau tidak bertanggungjawab atas apapun yang ia lakukan. " Ucap Andreas.
Ara mengangguk, tentu saja setuju dengan apa yang dikatakan oleh Andreas. "Aku tahu dan sangat paham maksudmu. Tapi, aku butuh waktu untuk melupakannya. Mungkin aku bisa mengatakan kalau membencinya, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku masih mengharapkannya. Bahkan tadi malam aku bisa tidur karena memeluk fotonya. Aneh sekali, kan?. Memang menyakitkan berharap tanpa balasan seperti ini, tapi..." Ara berhenti berkata. Dia tidak tahu mau mengatakan apa kalau mengingat apa yang sudah Ken lakukan padanya.
"Lupakan dia dan ingat aku." Celetuk Andreas, membuat suasana menjadi cair. Ekspresinya terlihat sangat meyakinkan. Hal itu membuat Ara tertawa dan melempar gulingnya kepada Andreas.
"MALAS!"
***
Toko bunga Bella tiba-tiba tampak ramai. Banyak yang mengantri, bahkan sampai di luar. Itu karena ada florist cantik yang bisa memikat pembeli lainnya. Tidak hanya cantik, tapi memang bunga hasil rangkaian tangannya tampak begitu indah. Orang-orang tidak akan merasa rugi mengeluarkan uang banyak, karena bisa mendapatkan barang yang memuaskan.
"Mau bunga apa?" Tanya Bella pada salah satu pria yang mengantri. Pria itu hanya menatap Bella kemudian menatap ke arah Ara lagi.
Bella berusaha sabar dan hendak bertanya lagi, tapi nyatanya dia harus menelan ucapannya yang sebelumnya setelah mendengar ini.
"Maaf, saya mau bunga dari hasil rangkaian gadis cantik itu. Bukan dari wanita keriput seperti Anda." Ucapnya begitu santai.
Dalam hati Bella berkata, "DASAR PRIA JELEK!".
Bella langsung melengos dari hadapan pria itu dan mendekati Ara yang sedang ngobrol dengan pembeli. Ara tampak begitu aktif, menanyakan ini maupun itu pada pria yang sekarang sedang memesan bunga.
Bella berbisik pada Ara, "jangan layani pria yang berbaju orange itu." Bisiknya.
"Kenapa?" Tanya Ara.
"Dia sudah bilang kalau aku ini keriput!" Ucapnya dengan nada yang kesal.