Tale 106

1142 Words
Semula Jodi tak menemukan minat sama sekali dalam dunia bisnis yang digadang oleh sang ayah. Tapi sejak ia merasakan kebanggaan terpatri dalam wajah sang ayah, ketika memperkenalkan dirinya di depan para kolega, ada rasa bahagia di sana. Rasanya ia sudah menaklukkan batu karang yang sangat keras. Meskipun bidang itu tetap bukan Favoritnya, namun tetap bisa Jodi lakukan dengan hati yang ringan. Ia belajar perlahan, sedikit demi sedikit. Bahkan sejak Jodi berkenan untuk bergabung di perusahaan, saat di rumah pun Jayadi bersikap baik dan hangat padanya. Tidak kaku lagi seperti dulu. "Kamu nggak capek sayang? Setiap hari kamu bangun petang, berangkat pagi, pulang sudah malam. Mama khawatir kamu kecapekan." Maharani terang-terangan menunjukkan kekhawatirannya. "Mama nggak usah khawatir, ya. Aku baik-baik aja kok." Jodi selalu menjawab demikian. Meskipun sebenarnya ia memang sangat lelah. Namun Jodi tidak mau merusak momen kedekatannya dengan sang ayah yang sudah mulai terjalin. Kedekatan yang baru sebentar itu tidak mau ia rusak begitu saja. Jodi yang awalnya ingin segera memberi tahu Jayadi dan Maharani tentang penyakitnya, juga jadi mengundurkan niatnya itu. Dengan alasan yang sama. Tidak mau dulu merusak momen indah yang ada. Jodi rencananya hanya satu bulan di Utah. Tapi kini sudah ia jalani selama 2 bulan. "Jodi, kenapa lo jadi lama banget di sana? Bukannya kata lo, lo akan segera kembali jika tujuan lo sudah tercapai. Bukannya sekarang hubungan lo dan kedua orang tua lo sudah membaik?" Entah sudah berapa kali Ayla menanyakan hal yang sama, setiap kali mereka melakukan video call seperti ini. Ada rasa tak tega tersimpan dalam hati Jodi setiap kali Ayla menanyakan hal itu. Namun mau bagaimana lagi. Momen bersama kedua orang tuanya sudah sejak lama selalu ia rindukan. Dan kini ia sudah merangkul rindunya itu. Jodi hanya ingin menikmati semuanya sedikit lebih lama. "La, maaf banget karena harus bikin lo nunggu lebih lama lagi. Ya, tujuan pertama gue memang udah tercapai. Tapi belum dengan tujuan kedua gue. Gue masih belum kasih tahu Mama dan Papa soal leukemia itu." "Lalu kenapa harus lo tunda, hm? Lo harusnya belajar dari pengalaman, Jod. Semakin lambat lo kasih tahu, semakin sakit juga mereka nanti akhirnya. Semua orang mau lo selalu sehat, nggak kambuh lagi. Nggak semakin memarah. Tapi kan manusia memang harus berjaga-jaga untuk kemungkinan terburuk. Di sini gue hanya bisa berdoa untuk lo. Semoga lo terus bisa sehat. Dan menikmati momen yang indah sama Mama Papa lo dalam waktu yang lama." Jodi pun tertegun. Benar apa yang Ayla katakan. Jodi tentu menyadari hal itu sepenuhnya. "Makasih ya, La. Aamiin. Gue berharap doa lo dikabulkan oleh Tuhan. Gue ... sulit jika harus bilang tentang leukemia itu sekarang ke mereka. Karena ... gue baru banget akrab sama mereka. Gue nggak mau merusak suasana, La. Gue pengin menikmati kebersamaan gue sama mereka dalam kebahagiaan, bukan dengan tangisan. Mereka pasti sedih, kalau ternyata anak mereka yang tinggal satu, harapan mereka satu-satunya, ternyata kemungkinan besar tidak akan bisa menggenggam apa yang sudah mereka usahakan untuk dipersembahkan ke gue. Juju, ini berat banget buat gue pribadi. Di lain sisi, gue nggak mau bikin mereka sedih, karena baru tahu saat gue udah mati. Tapi di sisi lain, gue juga belum tega merusak situasi baik yang ada." "Gue harap lo memberanikan diri, Jod. Kenapa? Karena setelah mereka tahu lo sakit pun, mereka dan lo juga akan tetap bahagia. Malah lebih bagus, karena mereka jadi bisa mendampingi lo menjalani segala macam pengobatan. Memang akan sedih awalnya, tapi ke depannya, mereka mungkin malah punya solusi. Pengobatan di sana pasti lebih canggih dibandingkan di sini. Pasti Mama Papa lo punya kenalan dokter hebat, yang bisa bantu menyembuhkan penyakit lo. Tolong dengerin gue tentang hal ini, Jod. Gue mohon. Demi bokap nyokap lo juga ke depannya. Apa lo bisa bayangin, berapa hancurnya mereka jika kelak kemungkinan terburuk itu benar-benar terjadi? Kira-kira gimana perasaan bokap nyokap lo kalau itu beneran terjadi?" Jodi lagi-lagi terdiam, dan banyak berpikir. "Lo bener, La. Memang lebih baik gue segera bilang ke mereka aja. Di sana sekarang jam berapa, La?" Jodi memutuskan untuk mengalihkan perhatian, supaya Ayla tidak menekannya untuk segera menyelesaikan misinya. Karena bagus Jodi, mengatakan kebenaran pada kedua orang tuanya sekarang, adalah hal tersulit. "Sekarang sore di sini, Jod. Ayo segera kembali. Kami semua kangen sama lo. Anak-anak di sekolah juga nanyain terus kapan lo balik. Bentar lagi ulangan kenaikan kelas. Kalau lo sampai nggak ikut, para guru akan bingung mau kasih lo nilai dari mana. Lo bakal terancam nggak naik kelas." Ayla malah mengancam Jodi. Bukannya takut, Jodi malah tertawa. "Astaga ... La. Ulangan semester masih bulan depan, kan? Insya Allah gue nggak akan nunda selama itu kok. Gue bakal pulang bulan ini." Binar kesenangan di wajah Ayla itu langsung terlihat jelas. "Oh ya? Wah ... gue pikir lo masih bakal lama nunda kepulangan!" "Astaga ... bilang aja kangen sama gue. Gitu aja repot amat, sih! Pake bilang kami semua udah kangen sama lo. Anak-anak di sekolah udah kangen sama lo. Padahal sebenarnya lo sendiri yang kangen berat sama gue!" Jodi mulai menggodai Ayla lagi. Ayla pun cemberut. "Ya kalau itu udah jelas lah. Lo aja yang kurang peka. Udah tahu gue kangen, bukannya buru-buru balik. Malah kelamaan menunda." Jodi tersenyum. Pikirannya menerawang. Membayangkan betapa sedih kedua orang tuanya saat tahu tentang leukemia itu. Tapi benar kata Ayla. Mereka akan jauh lebih sedih jika tahu nanti. Saat ia sudah mati. Jodi akan segera mempersiapkan diri. Dan tidak akan menunda lagi. *** Jodi memagut dirinya di depan cermin. Rona pucatnya terlihat jelas. Ia merapikan setelan yang membalut tubuhnya dengan begitu baik. Pagi ini, sebelum berangkat ke kantor, Jodi akan melakukannya. Misi keduanya, yaitu memberi tahu kedua orang tuanya, tentang apa yang seharusnya mereka tahu. Entah apa yang akan terjadi nanti. Bagaimana reaksi mereka? Apakah mereka akan seperti yang dikatakan Ayla, mencari dokter terbaik di sini untuk mengobatinya? Atau ... mereka akan berada dalam fase Denial terlebih dahulu? Jangankan mereka, Jodi saja dulu juga lama berasa dalam fase Denial, hingga ia akhirnya menerima kondisinya ini. Dan mau berkompromi untuk melakukan pengobatan rutin. Jodi menarik napas dalam. Selain untuk mempersiapkan diri mengatakan hal besar. Juga untuk menguatkan dirinya sendiri, baik secara mental, juga secara fisik. Kondisinya sedang tidak baik hari ini. Entah lah, kenapa begitu tiba-tiba. Padahal semalam ia masih baik-baik saja. Ya, tentu saja, dengan tubuh yang digerogoti penyakit kronis, apa pun bisa saja terjadi. Terlebih akhir-akhir ini ia memang sangat memforsir tenaganya. Dan kini tubuhnya mulai protes. Pandangan Jodi tiba-tiba mengabur. Jodi menggeleng. Ia tidak boleh tumbang sekarang. Ia bahkan belum menjalankan misinya, bukan? Kedua tangan Jodi secara refleks berpegangan pada ujung meja rias itu. Tak lagi fokus pada pantulan dirinya dalam cermin besar di hadapannya. Jodi berusaha meraih tempat duduk di belakangnya. Ia akan duduk di sana sebentar sampai kondisinya membaik. Iya, begitu saja. Itu sepertinya akan menjadi solusi terbaik saat ini. Sayangnya, keinginan itu berakhir menjadi keinginan saja. Tak berhasil ia wujudkan, karena ia terjatuh. Dan kegelapan itu segera menguasainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD