Suasana hangat begitu terasa. Sepasang pasutri yang sudah lama terperangkap dalam hubungan yang dingin, menjadi hangat karena kehadiran putra mereka. Keduanya bercengkerama sembari menghabiskan sarapan masing-masing, sembari menunggu putra mereka keluar dari kamar.
Mereka awalnya tak curiga sama sekali. Hingga akhirnya sarapan mereka sudah habis, dan Jodi tak kunjung datang juga.
"Tumben Jodi kok lamanya keterlaluan?" tanya Jayadi.
"Iya, Pa. Biasanya dia nggak pernah selama ini."
"Coba kamu cek aja sana, Sayang. Jangan-jangan dia ketiduran lagi!" canda Jayadi.
Dan mereka berdua pun tertawa karenanya.
"Ya sudah. Biar aku cek dulu, ya, Pa. Palingan dia juga masih sibuk nata rambutnya. Anak siapa dulu, dong. Jayadi Aditya. Bapak sama anak sama-sama perfeksionis." Maharani malah meledak suaminya.
Jayadi hanya tersenyum. Iya juga, ya. Ia baru sadar jika dirinya dan Jodi memang sama-sama perfeksionis dalam segala hal.
Sejak Jodi bersedia mulai belajar mengurus kantor, Jayadi menjadi sangat peduli pada putranya itu. Perlahan juga menyadari, ternyata banyak kesamaan di antara keduanya.
Ada rasa sesal dalam hatinya. Kenapa tidak sejak dulu saja, ia akrab dengan putranya itu. Kenapa harus menunggu hingga Jodi menyusul ke sini, dan bersedia mengurus perusahaan. Seolah-olah rasa sayangnya didasari pamrih, dengan disertai syarat.
Jayadi sudah berjanji pada dirinya sendiri, mau Jodi lanjut meneruskan perusahaan atau tidak, Jayadi harus tetap sayang padanya seperti sekarang ini.
Ia merasa begitu egois. Bahkan ia dengan begitu tega, pernah menyalahkan Jodi atas kematian Aldi. Padahal Jayadi juga tahu, Jodi lah yang paling kehilangan atas perginya Aldi. Dan bahkan, tanpa disalahkan pun, Jodi sudah menyalahkan dirinya sendiri. Bukannya membantu perasaan anaknya menjadi lebih baik, Jayadi justru memperburuk semuanya.
Jayadi masih menyesali masa lalunya, hingga ia terkesiap karena teriakan yang berasal dari kamar putranya. Itu suara Maharani.
Detak jantung Jayadi langsung terpacu. Kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa Maharani berteriak histeris seperti itu?
Jayadi pun langsung beranjak dari duduknya, berlari secepat yang ia bisa menuju ke kamar putranya.
Ia membuka pintu itu dengan keras. Mencari ke sekeliling, hingga ia mendengar isakan dari balik ranjang besar itu, dari arah bawah, di depan meja rias.
Jayadi melangkah perlahan. Seolah langkahnya begitu berat. Masih bertanya kenapa, ada apa? Kenapa istrinya sampai menangis begitu? Apa yang sebenarnya terjadi pada Jodi?
Dan jawaban pun akhirnya didapat oleh laki-laki itu. Ketika ia melihat putranya itu, meringkuk di atas dinginnya lantai. Ia tak terlalu jelas melihatnya. Jayadi langsung mendekat. Berlutut di sebelah Maharani.
Putranya itu diam tak bergerak. Kedua matanya terpejam.
Jayadi membalikkan badan putranya menjadi terlentang. Ia mengangkat tubuh bagian atas putranya itu, meletakkan di atas pangkuannya.
"Jodi!" panggilnya. Ia sedikit mengguncangkan tubuh kurus putranya itu.
Tidak ada respons sama sekali. Ketika ia sentuh, badan Jodi tidak demam. Justru cenderung dingin. Wajahnya sangat pucat.
"Ma ... apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Jodi seperti ini?" Jayadi berusaha tidak panik. Ia coba bertanya dulu pada istrinya tentang kronologi kejadian.
Di tengah isak tangisnya, Maharani langsung menggeleng. "Saat aku masuk tadi, aku langsung cari dia. Aku temukan di sini, sudah dalam keadaan seperti itu. Aku coba bangunkan dia. Tapi dia sama sekali tidak merespons. Aku langsung ingat pagi itu, saat kita meninggalkan dia dalam keadaan sakit. Aku tahu waktu itu ada yang tidak beres. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tida jadi karena kamu sudah seret aku pergi. Perasaan aku nggak enak selama ini. Tapi sejak Jodi datang dalam keadaan sehat, aku merasa lega. Karena ternyata semua hanya perasaanku saja, semua firasat buruk itu tak terbukti. Tapi ternyata, firasat buruk itu langsung kembali lagi, setelag melihat Kondisi Jodi seperti ini."
Maharani meluapkan segala hal yang selama Ini ia pendam sendirian.
Jayadi teringat semua kronologi itu. Dan selama ini ia selalu menolak semua kekhawatiran Maharani. Karena menganggap itu hanya ketakutan sepihak saja.
Bagaikan ditampar, Jayadi kini seperti setuju dengan segala firasat buruk sang istri yang selama Ini selalu ia tepis.
"Jodi!" Jayadi mengguncang-guncangkan tubuh anaknya sekali lagi, dan masih tak ada respons.
"Ayah ... Bawa ke Rumah Sakit, cepat!" Tangis Maharani semakin meledak hebat.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Jayadi segera mengangkat, membopong anak semata wayangnya itu.
***
Jayadi dan Maharani seakan tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Tangis keduanya tak terbendung lagi. Tangis yang dipenuhi penyesalan mendalam.
Terlebih setelah Maharani mencoba menghubungi Mbah Jum, untuk mencari tahu apakah Jodi selama ini sudah tahu atau belum tentang penyakitnya.
Mereka mendapatkan jawaban yang sama sekali tak pernah mereka harapkan. Ternyata semua orang sudah tahu Jodi sakit. Hanya tinggal Jayadi dan Maharani, yang jelas-jelas adalah orang tua kandung Jodi, justru tak tahu sama sekali tentang hal itu.
Mereka semakin merasa bersalah, saat tahu, ternyata tujuan Jodi menyusul ke Utah, adalah untuk memperbaiki hubungan mereka, juga untuk berterus terang tentang penyakitnya itu.
Jodi sudah banyak mengalah. Mengorbankan perasaannya sendiri. Mengubur egonya dalam-dalam, demi memiliki kesempatan membangun memori baik bersama kedua orang tuanya. Dan sedang memikirkan waktu yang tepat, kapan akan memberi tahu mereka tentang leukemia itu. Tanpa mau merusak momen bahagia yang baru sebentar.
Orang tua macam apa mereka ini?
Orang tua yang buruk.
Orang tua yang sama sekali tak layak, untuk mendapatkan anak sebaik Jodi.
***
Keesokan harinya, di Utah Valley Hospital. Tn dan Ny. Aditya masih menunggui Jodi dengan sabar. Tak ada suara di sana kecuali suara detak jantung Jodi yang pelan dan teratur di monitor. Tubuh Jodi dipenuhi selang-selang yang kini menopang hidupnya.
Pipi Maharani masih sembab, sesekali air mata jatuh lagi dari salah satu sudut matanya. Kesedihan yang besar masih marajai hatinya karena Kepergian Aldi yang masih kental menghantui pikirannya. Dan dia tak ingin Jodi juga pergi seperti Aldi. Ia tak ingin mengalami rasa sakit itu untuk kedua kalinya.
Jodi tetap belum sadar dari kemarin. Dokter Kyle mencoba merangsang gerakan mata Jodi, tapi belum ada respon.
Tak berapa lama, dokter Kyle permisi keluar setelah mengatakan bahwa kondisi Jodi belum ada perubahan.
Sementara itu Tn. Aditya sedang merenung di ruang tunggu. Ia teringat dengar kata-kata Jodi saat bertengkar dengannya di rumah. Ketika Jodi pulang terlambat, tanpa bertanya apa-apa, Jayadi langsung menuduh Jodi macam-macam. Terang saja, Jodi langsung marah. Mereka terlibat pertengkaran besar. Dan Jodi dalam emosinya berkata ....
"Nggak akan lama lagi, Pa. Dan keinginan Papa selama ini akan terwujud!"
Kata-kata itu terngiang-ngiang di otaknya. Dia menangis. Dia menyesal. Apa ini? Kenapa semua ini bisa terjadi? Jadi kata-katanya waktu itu masih tetap menjadi racun dalam pikiran Jodi? Jadi, Jodi masih menganggap, bahwa dia lebih pantas mati dari pada Aldi? Jadi, Jodi masih menganggap bahwa perkataan sang Ayah waktu itu adalah keinginan untuk kematiannya sehingga dia tak mau berobat dengan maksimal? Jadi ini maksud Jodi. Bahwa hal itu tidak akan lama lagi akan terwujud?
Jodi sakit separah itu dan orang yang selama ini mengaku sebagai Ayahnya tak tahu apa-apa tentang itu.
"Ya Allah, Ayah macam apa aku ini? Aku hanya bisa menyiksa anak-anakku. Aku tidak bisa menjaga amanah-Mu dengan baik. Aku tidak bisa membahagiakan mereka. Aku justru membuat mereka menderita karena egoku sendiri."
Tn. Aditya menatap tangan kanannya. Tangan itu bergetar hebat. Tangan itu lah yang pernah menampar Jodi dengan keras. Kenapa ia harus melakukan itu semua? Sesuatu yang kini benar-benar ia sesali.
"Astaghfirullahaladzim. Ya Allah. Tidak. Aku tidak ingin kehilangan kedua anakku. Jodi adalah satu-satunya harapanku sekarang. Ya Allah, tolong beri hamba kesempatan untuk membahagiakan dia. Hamba Mohon."