Tale 51

1263 Words
Dentang jam kuno itu berbunyi. Jarum jam menunjukkan pukul empat dini hari. Sun sudah 1,5 tahun. Ia sedang lucu - lucunya. Kini ia sedang memainkan perut Lu yang besar. Merasakan tendangan halus di sana yang seakan merespons gerakan tangannya. Ia menikmati sensasi itu. Lu tertawa melihat senyum lucu Sun. Ia tahu anak keduanya akan lahir. Rasa sakitnya sudah terasa sejak semalam. Tapi dari pada berbaring menanti kontraksi klimaks, lebih baik ia bermain dengan Sun. Pukul delapan malam, Sun tertidur. Lu membiarkannya tertidur di sofa. Bertepatan dengan kepulangan sang ayah. "Lu ... ikut aku ke kamar!" seru ayah. "Tapi, Ayah ...." Belum selesai Lu bicara, ayah sudah menamparnya. Lu pun tak bisa lagi menolak. Sementara Perutnya sudah terasa sangat sakit. Sampai di kamar, Lu seringkali menungging seraya berpegangan pada nakas. Ia merasakan kepala anaknya sudah sampai dipanggul. Bahkan celananya terlihat menonjol karena kepala anaknya sudah separuh keluar. "Ayah, maaf ... aku ... aku akan segera melahirkan." Ayah menatap jijik pada Lu. Dilihatnya Lu yang berusaha menahan area liang lahirnya dengan tangan, dengan ukuran perut sebesar itu. Ayah segera mendorong Lu keluar. Lu tak ingin kemana - mana. Ia tak sanggup jika harus berjalan lagi. Ia segera melepas celananya. Ia agak kesulitan melepas celana dalamnya, namun akhirnya berhasil juga. Meski tetap sakit, namun di persalinan kedua ini sekiranya ia tak perlu meregang nyawa. Proses lamanya pembukaan pun tak terlalu lama. Hanya dengan beberapa kali mengejan, anaknya sudah keluar dengan selamat. Laki - laki lagi. Lu menggendongnya dengan sayang. Ia menunggu beberapa saat untuk mengejankan ari - ari. Lu meluruskan kakinya agar rasa lemasnya hilang. Sehingga ia bisa segera membersihkan diri dan bayinya. Juga menggendong Sun ke kamar. Namun sepertinya ia harus mengurungkan niat. Kontraksi menyerangnya lagi. Amat sakit rasanya. Lu meletakkan bayinya di karpet. Baru disadarinya bahwa perutnya masih sangat besar. Ia sedikit memberi pijatan di sana. Dan ia yakin masih ada satu bayi lagi di dalam. Anaknya kembar. Sekitar satu jam kemudian, Lu amat terkejut saat melihat bukan kepala, namun dua kaki. Bayi ini sungsang. Lu dengan susah payah merangkak ke kamar. Tak menghiraukan rasa sakit yang membuatnya lemas. Ia segera menelusuri cara persalinan sungsang dengan normal. Pukul setengah dua malam. Lu mulai lelah. Kedua tangannya lemas. Seperti tak sanggup lagi menopang berat tubuhnya. Menungging seperti ini selama beberapa jam, dengan mengejan, dan menanggung rasa sakit. Bayi itu sudah menggantung sampai ke panggul. Berbeda dengan kelahiran normal. Kelahiran sungsang mengharuskan Lu melakukan perjuangan lebih besar. "Enngggggrhh ...." Ia mengajan lagi. Otot - otot di wajahnya ikut menegang. Membuat wajahnya memerah setiap ia mengejan dengan sangat kuat. Ia yakin bayi yang kedua ini memang lebih besar. Hampir pagi. Tinggal kepalanya. Lu tak ingin bermalas - malasan sehingga membuat nyawa anaknya terancam. Ia sudah terbaring lunglai. Tak sanggup menungging lagi. Kedua tangannya meraba ke belakang. Menarik tubuh kecil itu seraya mengejan. Hampir sama seperti yang dilakukannya saat melahirkan Sun. Hari sudah terang ketika bayi itu akhirnya keluar dengan selamat. *** Garlanda begitu ingin segera terbangun dari mimpi buruk itu. Tapi nyatanya ia tidak bisa mengkontrol tubuhnya sendiri. Tubuhnya terus menerus bertingkah layaknya ada dua jiwa yang tinggal menempati satu tubuh. Garlanda pun kini berada dalam tubuh orang lain, memiliki cerita seseorang bernama Hun dalam otaknya. Dari awal ia sudah setuju. Dan ini bukan kesalahan. Apakah dengan hadirnya anggota baru di keluarga mereka adalah sebuah kesalahan? Bukan tentunya. Hun membuka beberapa kancing bajunya. Dan melihat perutnya yang mulai menggendut. Sudah empat bulan, perubahan fisiknya mulai terlihat. Meski pun tak terlalu kentara, tapi Hun tentu hafal betul dengan bentuk tubuhnya sendiri. Ia mulai membayangkan bagaimana nanti dirinya memimpin rapat dengan perut hamil yang besar? Hun kembali mengancingkan kemejanya, merapikan baju kantornya. Sekali lagi ia melihat penampilannya di cermin, seraya membersihkan lagi sekitar bibirnya. Ia baru saja muntah sebenarnya. *** Enam bulan berjalan, kini Hun tak bisa lagi memasukkan kemejanya. Ada beberapa karyawan yang seringkali menatapnya diam - diam, curiga. Ia memang tak pernah memberitahukan secara langsung pada mereka, biar mereka berpikir sendiri. Sejujurnya ini tak terlalu buruk. Ia memang membesar, tapi sejauh ini hanya perutnya saja. Selebihnya sama. Apalagi ia tak harus repot - repot muntah setiap hari seperti dulu. Ajaibnya Hun sudah sering merasakan gerakan halus di dalam sana. Rasanya menakjubkan. *** Bulan ke tujuh, Hun mulai sering absen ke kantor. Kakinya sering bengkak dan pinggangnya selalu sakit. Untung pasangannya tak pernah lelah merawatnya. Hun akhirnya merasakan bahwa hamil memang menyiksa. USG terakhir menunjukkan bayinya tak hanya satu, melainkan dua. Pantas saja perut Hun besar sekali. *** Memasuki usia 9 bulan, Hun cuti. Perusahaannya dipegang sementara oleh Dan. Lee pasangan Hun, sedang mengoles krim anti strech mark di perut Hun. Sesekali Lee dan Hun tersenyum bersama saat merasakan anak - anak mereka bergerak aktif di dalam sana. Namun Lee juga kasihan pada Hun sebab sering kesakitan karena ulah mereka. Pagi ini Hun merasakan kontraksi pertama. Si kembar akan segera lahir. Meski pun belum terlalu sakit, tapi Hun sudah merasa menderita. Firasatnya buruk. Bahkan ia sudah tak pakai celana, padahal pembukaannya belum lebih dari tiga senti. "Hun ... pakai celanamu, Sayang." "Tidak mau." "Ayo lah. Mari jalan - jalan sebentar keliling sekitar. Nanti akan sangat membantu. Baby akan keluar lebih mudah." "Tidak mau. Perutku sangat sakit," keluhnya. Toh memang perutnya sakit. Hun tidak mengada - ada. Hun bertahan pada posisi duduknya dan mengelus bagian perutnya yang mengencang. "Ayo lah, jangan manja! Perjalanan masih jauh. Masih lama menuju pembukaan lengkap. Semangat lah!" Lee yang notabene lebih kecil dari Hun itu membantu pasangannya bangun dan memakaikan celana kolor longgar itu. Mereka benar - benar jalan - jalan ke taman yang memang tak terlalu jauh dari rumah mereka. Lee pintar mengalihkan perhatian. Membuat Hun menikmati celotehannya. Sedikit melupakan rasa sakitnya. Lee menggerakkan tangannya memutari perut Hun. Hun mengernyit kecil karena kontraksi kecil. Jika masih awal saja rasanya sudah seburuk ini, bagaimana dengan nanti? Terbesit di pikirannya untuk melakukan c - section saja. Tapi jika orang lain saja bisa berjuang melawan sakit, kenapa ia tidak? Lee mengambil tisu, mengelap dahi Hun yang basah. Ia tersenyum kecil seraya mennyibakkan anak rambut pasangannya yang menempel di sana. "Sakit sekali?" tanyanya. Hun mengangguk. Lee kembali memeriksa tingkat kekencangan perut Hun. "Ayo kita pulang!" ajaknya seraya membantu Hun berdiri. *** Ternyata di teras rumah mereka telah menunggu kedua orang tua Lee dan Hun. Mereka akan mememani perjuangan Hun, menyambut cucu pertama. "Astaga ...." Mama Hun membantu anaknya yang sepertinya sudah benar - benar kesakitan untuk segera masuk ke kamar. Hun langsung duduk di pinggiran ranjang. Ia bisa merasakan sensasi aneh di jalan lahirnya, agak licin dan lengket. Puas melepas rindu dengan orangtuanya, Lee kemali fokus pada Hun. Ia menyibak kaos Hun. Perut besar Hun terekspos tanpa halangan. Ia juga melepas celana Hun. Ada bercak darah di sana. Karena pembukaan yang dialaminya. "Sebentar lagi, sabar, ya," ucapnya menenangkan Hun. Kurang lebih satu jam hingga tiba saatnya untuk membawa bayi itu melihat dunia. *** Hun mengerahkan seluruh tenaga dalam perjuangannya. Napasnya naik turun menahan sakit. Perutnya mengencang dan mengendur terus - menerus. Rasa mulasnya semakin intens dan menyakitkan. Ia menggeliat beberapa kali mengikuti rasa sakitnya. Lee memberinya arahan dengan baik. Mulai dari pengaturan napas dan juga untuk mehanan mengejan bila belum waktunya. Hun telah berhasil mengeluarkan kepala bayi pertamanya. Ia bisa bernapas lega sejenak. Rasa sakitnya pun menghilang. Hingga ia harus mengejan lagi mengeluarkan badan dan kakinya. Cukup lama sebelum kontraksi bayi keduanya datang. Ia tak bisa melihat bayinya lebih lama. Bayi itu harus ia akui mirip dengan dirinya. Yang kedua ini tak terlalu menyakitkan sepertinya. Hun hanya perlu mengejan tiga kali, ia sudah keluar. Nyatanya ia kehilangan banyak darah, yang membuatnya tak sadarkan diri pada akhirnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD