Tale 52

1006 Words
Garlanda kini sudah tak lagi berada dalam tubuh Hun. Saat keinginannya kembali ke tubuhnya sendiri begitu kuat, jiwanya justru seperti dilemparkan ke tempat yang sangat jauh. Dilemparkan dengan kekuatan yang benar - benar tinggi. Garlanda serasa naik wahana roller coaster paling ekstra di dunia. Garlanda berteriak sekencang yang ia bisa. Terbayangkan nanti bagaimana remuk redam tubuhnya saat gaya gravitasi akhirnya menariknya terjatuh ke tanah. Pasti itu akan sangat menyakitkan. Dan bisa mengancam nyawa Garlanda. Seharusnya itu bisa menjadi sebuah berita bahagia bagi Garlanda. Tapi ternyata tidak. Karena ia ingat, ini bukan lah dirinya secara fisik. Bukan raganya, hanya jiwanya. Mana mungkin senyawa materi seperti jiwa yang tak visa disentuh, bisa mati karena terjatuh? Ia hanya bisa merasakan sakit. Tanpa bisa menyentuh atau pun disentuh. Sayup - sayup ia mendengar suara beberapa orang berbicara. Dan ia menatap seseorang yang memiliki perut bulat dan besar sedang berbaring kesakitan. Oh tidak ... tolong jangan lagi. Garlanda sudah cukup merasakan segala kesakitan itu. Tolong jangan lagi, tolong .... *** Keringat Yos bercucuran hebat. Kontraksi yang dirasakannya juga semakin besar. Rem tak henti - hentinya menggenggam tangannya. Sesekali dia mengalihkan perhatian Yos agar dia tak mencengkeram perutnya, karena takut terjadi apa - apa pada bayinya. "Sabar, Baby! Nug dan Lav sedang mencari pertolongan. Bayi kita akan segera lahir." Entah sudah berapa kali Rem bicara begitu. Yos sampai bosan mendengarnya. Mengingat sudah sejak dua hari yang lalu dia merasakan kontraksi, dan sudah dari tiga jam yang lalu dua kakaknya itu mulai cari pertolongan. "Arghh .... " Yos berteriak lagi. "Sayang, kuatkan dirimu. Aku mohon!" Akan tidak begini ceritanya bila takdir tak mempermainkan mereka. Huff ... entah lah. Kehamilannya benar - benar tak ada yang menduga dan tak ada yang tahu. Hanya mereka berempat yang tahu. Selama 9 bulan ini mereka menyembunyikan rapat - rapat pada semua orang. Mereka hanya bilang bahwa Yos sedang menjalani kuliah di luar negeri. Makanya dia tak pernah kelihatan. "Rem ... sakit ...." "Iya, Sayang. Bertahan lah. Sebentar lagi mereka datang!" Rem tak bisa melepaskan pandangannya dari Yos. Ia pasti lah sangat kesakitan sekarang. Bisa dilihat dengan jelas bahwa bayi - bayi itu sedang mencari jalan keluar. Ya. Memang ada dua bayi di perut Yos. Kepala mereka terlihat menyembul, berusaha bergerak turun. "Rem, aku tidak tahan lagi. Ayo ke rumah sakit!" "Baby, tunggu lah sebentar lagi. Pasti ada dokter yang mau dipanggil ke sini." "Kenapa? Apa kau malu? Kau tidak merasakannya, Rem. Aku yang merasakannya. Ini sakit sekali." Air mata Yos merembes pelan. Miris Rem melihatnya. dieulusnya rambut Yos pelan. Ini memang salahnya. Yos merasa tak ada yang harus disembunyikan. Tapi Rem menolaknya. Dia memang malu dengan semua yang terjadi. Dia memang egois. Dia memang br3ngsek. "Di sana!" Terdengar suara seseorang yg tak asing. Itu suara Nug. Sekejap kemudian ia sudah ada di dalam kamar Rem dan Yos. Bersama Lav dan seorang dokter laki - laki. Sang dokter sedikit terkejut sebenarnya, tapi ia tak mau terlarut hingga membahayakan nyawa pasiennya. Dengan cekatan dia segera mengeluarkan alat - alat untuk melahirkan. "Karena ini di rumah, proses melahirkan hanya bisa dilakukan secara normal," ucap sang dokter. Yos mengangguk cepat. Ia hanya ingin semua segera berakhir. Dokter itu memeriksa liang lahir Yos. Sudah pembukaan sempurna. "Ayo ... mengejan lah!" "Nnnnngggghhhhh ...." "Bagus. Lakukan lagi!" "Eeerrghhhhh ...." Satu jam berlalu. Tak ada perkembangan apa pun. Dokter itu sekali lagi memastikan posisi kepala bayi pertama Yos. Yos berkeringat sangat banyak. Dan ia mulai lemah karena rasa sakitnya, juga setelah mengejan kuat cukup lama. "Tuan ...." Dokter itu menatap Rem. "Ada apa, Dok?" "Sepertinya aku harus membuat sedikit robekan pada liang lahirnya. Jika robek sendiri, itu akan lebih menyakitkan nanti. Karena bentuk robekannya jadi tidak beraturan." Rem, Nug, dan Lav terbelalak mendengar ucapan sang dokter. "Apa itu sangat harus, Dok?" Rem tak bisa percaya. "Tentu saja. Ini demi keselamatan bayi - bayimu dan pasien sendiri. Ukuran bayinya cukup besar, satu saja pasangan Anda sudah kewalahan. Bagaimana yang satunya nanti? Ini bukan perkara mudah. Pasangan Anda sedang berjuang hidup dan mati." Rem menelan ludah. "B - baik lah. Lakukan apa pun yang menurutmu benar. Asal mereka selamat." Rem akhirnya pasrah. Ia sudah tidak tahan melihat Yos menderita. Sang dokter menggunting lubang Yos. Darah yang diikuti dengan tumpahnya sisa air ketuban segera keluar. Banyak sekali. Tapi Yos seperti tak merasakannya. Ia terlalu sibuk dengan rasa mulas hebat di perutnya. Dokter segera memeriksa kelanjutan keadaan Yos. "Saat kontraksi datang, segera mengejan seperti tadi. Kerahkan seluruh tenagamu!" Yos mengangguk. Menahan sakit yang teramat sangat menyiksanya. Bahkan untuk menarik satu napas, rasanya begitu sulit. Yos tak pernah merasakan kesakitan seperti ini seumur hidupnya. Untuk pertama kali, ia teringat pada ibunya sejak kabut meninggalkan rumah bersama Rem dan dua temannya. Yos berharap ibunya ada di sini. Menemani dan menguatkannya melewati proses yang begitu menyakitkan ini. Tapi mana mungkin itu terjadi. "Mmmrggghhh ...." Dorongan pertama Yos. "Good! Lakukan lagi." "Erggghhhhh ... hah ... hah ... Errghhhh ...." Bayi pertama Yos masih terlihat ujung kepalanya saja. "Lebih keras lagi!" "Aaaaarrrghhh!" Dokter mengelap lendir - lendir bercampur darah yang menutupi jalan lahir Yos. Selama Yos mengejan, kepala bayi itu terlihat. Selama tidak, kepalanya tertarik ke dalam lagi. Dua jam sudah berlalu, tapi bayi pertama saja tetap belum lahir. Keadaan Yos sekarang sudah sangat memprihatinkan. Ia sudah tak kuat lagi mengejan. Tenaganya habis terkuras. Terlebih Yos memang jarang makan selama hamil. Sampai dia akan melahirkan pun dia masih sering mengalami morning sickness. Itu lah yang membuatnya tak punya banyak tenaga untuk mengejan. Matanya sudah redup. Yos pucat pasi seperti mayat. "Baby, kau baik - baik saja?" Rem mengelus surai Yos, mengecup punggung tangannya. "Rem, maaf. Aku tidak bisa," gumam Yos. Matanya hampir tertutup sempurna. Yos bahkan sudah rela jika ini memang akhir hidupnya. Setidaknya ia sudah memberikan keturunan untuk Rem. "Memang sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja," ucap sang dokter. "Tubuhnya tidak dirancang untuk mengalami dan merasakan ini semua." Rem masih hendak menjawab. Namun Yos mengalami kejang hebat. Dokter berusaha menolongnya. Namun sekejap kemudain Yos hanya diam. Kedua matanya terbuka, namun tak merespon. Diikuti denyut nadi yang menghilang. Dan napas yang berhenti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD