Tale 60

1815 Words
Bae segera menyandarkan punggungnya ke sofa. Apa bayinya sudah akan lahir? Apa Toni benar - benar tidak akan menemaninya saat melahirkan? "Ergh ...," lenguh Bae saat sebuah kontraksi tiba - tiba menyerang — lagi. Ya Tuhan. Jadi benar sudah akan lahir. Sebenarnya Bae sudah merasakan kontraksi sejak beberapa jam yang lalu. Dipikirnya kontraksi itu hanyalah palsu. Belakangan Bae sangat sibuk dan kelelahan. Jadi tidak heran bila dia menyangka kontraksi itu hanya karena kelelahan. Jika dihitung memang sudah benar. Usia kandungannya memang sudah 9 bulan. Dengan susah payah, Bae berpegangan pada tembok untuk berdiri. Ia mangambil telepon. Dengan cepat dia segera memencet tombol nomor kakaknya. "Halo, Bae. Ada apa?" "Kas, bisakah kau ke mari?" "Kenapa?" "Aku akan melahirkan. Tolong bantu aku." "Apa? Jadi kau hamil lagi?" "Iya." "Kenapa tidak pernah bilang, sih? Aku ke sana sekarang." Bae menghembuskan napasnya lega. Sepertinya benar bahwa ia akan berjuang sendirian tanpa Toni. Bersyukur ia masih memiliki Kas. Kakak kandungnya, yang seorang obgyn. Dulu juga Kas lah yang membantu Bae dan Toni saat persalinan Sam. Dulu persalinan berjalan normal. Bae juga ingin normal lagi sekarang. "Sam." "Iya, Bae?" Sam berlari kecil menghampiri Bae. "Ayo ikut Bae ke kamar. Sudah dulu mainnya, ya?" Sam mengangguk mengerti. Mereka pun berjalan pelan menaiki tangga. Sesekali Bae meringis sakit. Sampai di depan pintu kamar, Bae merasakan sesuatu merembes pelan di selangkangannya. Hangat. Bae menghadap ke bawah, mendapati celana longgarnya sudah basah. "Bae mengompol?" celetuk Sam polos. Seketika perut Bae terasa sangat sakit. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, ia berjalan terus menuju ranjang. Pinggangnya juga sangat sakit. Tiba - tiba seseorang mendekap Bae dari belakang dan membantunya terus berjalan di ranjang. "Toni ke mana, Bae?" Bae diam tak menjawab. Ia bingung harus menjelaskan apa pada kakaknya. Lagi pula perutnya sudah terlalu sakit. "Sam main sama Tante di luar saja, ya?" Seseorang mengangkat tubuh Sam. "Tante Alex!" Mata Sam membulat tidak percaya. "Iya, ini Tante." "Max, kau bantulah Kas sana. Biar Sam bersamaku," ucap Alex pada Max, kekasihnya, sekaligus adik kandung Bae. "Baik!" Max menurut dan segera masuk ke kamar Bae. *** Kas membantu Bae melepaskan celana dan bajunya. Sesekali ia mengelap keringat yang membasahi tubuh adiknya. Tanpa Bae memberitahu pun, Kas sudah bisa menebak. Pasti Toni tidak ada di sini karena ada hubungannya dengan Lu. "Eerrghh." Suara erangan Bae begitu memilukan. "Sabar dulu, ya? Pembukaannya masih belum sempurna." Max dengan senang hati segera menggantikan posisi Kas berada di belakang Bae dan menggenggam tangannya. Sementara Kas segera melakukan tugas utamanya. Apa lagi kalau bukan memberi istruksi Bae untuk melahirkan bayinya. "Kenapa besar sekali, Bae? Jangan bilang anak kedua mu ini kembar?" Bae mengangguk pelan. "Aku tidak habis pikir kenapa kau tidak bilang kalau kau hamil? Dasar bodoh!" "Kas ... sakit ...." Tubuh Bae menggeliat pelan mengikuti seiring rasa sakit yang menyerangnya. Ia bisa merasakan kepala bayi - bayinya yang berdesakan mencari jalan keluar di dalam sana. Kas melebarkan kaki Bae. Air ketubannya sudah keluar semua tapi bayinya masih di dalam. Pembukaannya juga belum sempurna. "Apa sudah sangat sakit?" Bae mengangguk. "Coba lah mengejan ...." "Eeeerrrrrggghhhh ...." Tubuh Bae menekuk pelan saat dia mulai mengejan. Max dengan sabar masih menopang tubuhnya. Tugas yang seharusnya dilakukan oleh Toni. "Belum, Bae. Bayinya belum siap keluar. Sabarlah dulu, ya!" Bae hanya bisa pasrah. Posisinya yang semula setengah duduk sekarang kembali terlentang. Kas menutup tubuh polos Bae dengan selimut. Bae terlihat kesakitan. Itu pasti. Seolah tak ingin orang lain menatapnya kasian, Bae memejamkan matanya. Tangan kirinya bertengger di atas kening. Menyibak poninya. Sementara tangan kananya mencengkeram sprei. Kas dengan sabar mengelus perut Bae. Ia memasukkan tangannya ke dalam selimut. "Toni sudah kau hubungi belum?" Bae menggeleng. "Aku telepon, ya?" "Jangan!" sergah Bae cepat. "Anaknya akan lahir, Bae. Dia harus tahu!" "Iya, tapi Lu masih membutuhkannya." "Lu sudah melahirkan beberapa bulan lalu. Sekarang kau lebih membutuhkannya." "Aku dulu sudah bersamanya cukup lama saat melahirkan Sam. Biar saja. Aku tak apa." "Kau ini." "Max ... terima kasih sudah datang!" ucap Bae tulus. Sebenarnya ia ingin mengalihkan perhatian, supaya Kas tak lagi membicarakan Toni. "Bukan masalah, Bae," jawab Max dengan imbuhan senyum cerah. Bae segera mengernyit lagi setelah itu. Napasnya naik turun tak keruan. Ia berusaha mengaturnya untuk sedikit mengurangi rasa sakit. "Kas, Ibu bagaimana kabarnya?" tanya Bae setelah kontraksi berakhir. Mata Kas membulat mendengar peryataan Bae. Tiba - tiba sekali. Kas hanya kaget. Mengingat Bae sudah cukup lama tak lagi saling bicara dengan sang ibu. "Ibu baik - baik saja. Kau tahu ... sepertinya Ibu sudah bisa menerima keadaanmu." "Benarkah?" Tanpa Bae sadari, air matanya meleleh. Sang ibu yang sudah tidak ditemuinya selama empat tahun. Sejak ia mulai berhubungan dengan Toni, menikah, dan memiliki Sam. Saat melahirkan Sam dulu, Bae tidak henti - hentinya menangis. Tidak. Bukan menangis karena rasa sakit luar biasa yang menyerangnya. Tapi karena dia merindukan ibunya. Ia merasa bahwa dia telah melakukan kesalahan yang teramat besar. Tidak seharusnya ia menentang wanita yang telah melahirkannya. Semua rasa sakit yang menderanya, sungguh semua terasa seperti sebuah karma yang harus diterima. Karma itu sudah seperti menjadi salah satu haknya. "Ibu sebenarnya ingin menemuimu, tapi ia masih belum siap, Bae." Bae tersenyum tipis. "Tidak. Aku yang akan menemuinya setelah ini." Kas ikut tersenyum dengan adiknya itu. Jujur dia juga kecewa dengan jalan yang dipilih Bae. Tapi mau dilarang sekeras apapun, Bae takkan merubah pilihanya. Dia terlalu mencintai Toni. Dan saat semua telah terjadi. Dulu saat Bae mempertaruhkan nyawanya saat melahirkan Sam, Kas baru menyadari bahwa adiknya itu sangatlah kuat. Ia tahu bahwa sebenarnya Bae juga membenci semua kenyataan ini. Tapi sekali lagi, ini seperti sudah menjadi takdir yang digariskan. "Biar kuperiksa lagi." Bae mengangguk. Kas menyibak sedikit selimut Bae. Dilihatnya liang lahir Bae sudah menganga cukup Lebar. Bae sudah semakin kuat sekarang. Bahkan dengan dua bayi yang akan dilahirkannya, dia tidak mengeluh sakit. Meski pun Kas tidak pernah melahirkan, dan tidak akan melahirkan. Tapi dia tahu kalau melahirkan itu sakit. Semua pasiennya pasti berteriak kesakitan saat melahirkan. Dulu Bae juga begitu. Tapi sekarang tidak. Padahal jika dilihat dari keadaan, sekarang ini lah saatnya Bae lebih menangis. Ia melahirkan tapa didampingi Toni. Dan anaknya kembar. Setahu Kas ibu - ibu hamil pada umumnya akan melakukan sesar saat tahu anaknya kembar. Tapi adiknya tidak. "Max ... kembalilah pada tugasmu!" hardik Kas. "Iya - iya ... tenanglah, Kas!" Max berusaha mencairkan suasana. Ia yakin Kas sebenarnya ingin menangis saat ini. Max mulai mengangkat punggung Bae dan menyandarkan ke tubuhnya. "Mmmghhhhhh ...." Bae mulai mengejan lagi. Rasa sakit itu semakin besar menyerangnya. Ia ingin berteriak. Tapi ia tidak mau. Peluh membanjiri seluruh tubuhnya. Dengan cekatan Max menghapus tetesan keringat Bae. "Mmmgghhhh ...." Kas segera memegangi kepala bayi pertama Bae yang sudah mulai keluar. Napas Bae naik turun tak beraturan. Dia lelah sekali. Tapi ia sudah cukup merasa lega. Menunggu kontraksi selanjutnya. "Istirahat lah dulu," ucap sang kakak. Kas membersihkan gumpalan darah dan lendir yang mengotori wajah bayi Bae. Saat kontraksi datang lagi, Bae segera mengejan sekuat tenaga. "Lebih kuat lagi, Bae!" seru Kas. "Mmmmghhhhhh ... errghhh ...." Bayi pertama Bae akhirnya keluar dengan lancar. Kas tersenyum senang. "Laki - laki, Bae." Kas segera meletakkan bayi itu di atas perut Bae setelah ia memotong tali pusar. Bae tersenyum senang melihat bayi itu. Meski pun keadaannya sangat lemah, tapi dia sungguh sangat bahagia. "Hai!" sapa Bae pada bayinya. Kas kemudian segera membersihkan bayi itu. Sementara Bae beristirahat untuk menunggu bayi berikutnya. "Namanya Zey, Kas." "Iya, Bae!" Selesai membersihkan bayi itu, Kas segera menidurkanya di sebelah Bae. "Bagaimana? Apa adiknya sudah siap?" "Sepertinya sudah!" jawab Bae. Dia tidak bohong karena perutnya sudah terasa mulas lagi. "Kau siap, Bae?" Bae mengangguk sekilas dan segera mengejan. Untuk yang kedua ini ia tidak perlu berusaha terlalu keras karena liang lahirnya sudah menganga lebar. Saat kepalanya sudah keluar, Kas langsung menariknya keluar. "Good Job, Bae. Yang ini perempuan." Bae tersenyum lebar kali ini. Lengkap sudah. Kalau toh nanti dia ditakdirkan untuk memiliki bayi lagi juga tidak masalah. "Siapa namanya?" "Namanya Zya." "Sepertinya kau sudah mempersiapkan nama - nama itu." "Tentu saja. Aku sudah berdiskusi dengan Toni sejak lama." "Max, tolong mandikan Zya. Aku mau mengeluaran plasentanya dulu." Tanpa berkata apa - apa Max segera menggendong Zya. Bayi itu menangis keras. Lebih keras daripada suara tangisan kakaknya. Kas sedikit menekan perut Bae yang masih membuncit. Plasenta Zya segera keluar. Dengan perlahan Kas kembali meluruskan kaki adiknya satu persatu. Bae sungguh terlihat bahagia meskipun terlihat jelas bahwa ia amat lelah. Tak berapa lama kemudian, dua bayi itu sudah ada di samping Bae semua. Mereka tampan dan cantik. Keduanya mirip Bae. Tidak seperti Sam yang jauh lebih mirip Toni. Jemari Bae memegang pipi Zey dan Zya bergantian. Ia tersenyum geli saat kedua bayinya mengira bahwa itu adalah asi. "Ini minum lah!" Kas datang membawa dua botol s**u formula. Zey disuapi olehnya dan Zya disuapi oleh Bae. Mereka sudah pintar menyusu rupanya. "Bae!" Sunghyun segera melompat dari gendongan Alex. Padahal Alex masih belum sempurna menurunkannya. Untung Sam tidak jatuh. "Ini adik Sam," jawab Bae. "Astaga ... Sam lebih suka adik Pink. Cantik," ucap Sam polos. Zya memang mengenakan kain pink untuk menutupi tubuhnya. "Apa yang salah dengan adik Blue? Sam takut saingan tampan dengan adik Blue, ya?" goda Bae. "Tidak. Adik Blue sangat tampan. Tapi Sam jauh lebih tampan!" sahutnya. Terang saja semua yang ada di situ segera tertawa. "Bae, aku boleh menggendongnya, kan?" tanya Alex. "Tentu saja." Dengan segera, Alex segera mengambil Zey. Dan Max mengambil Zya. Mereka segera berjalan keluar kamar. Sam dengan antusias mengikuti kedua Max dan Alex. "Kau istirahat lah!" seru Kas sekali lagi pada adiknya. Bae mengangguk pelan. Kas pun segera mengikuti dua adiknya yang lain keluar dari kamar Bae. Bae mengeryit pelan saat dirasakannya perutnya kembali sakit. Bukan. Ini bukan kontraksi. Rasanya perih. Sangat jauh berbeda dengan kontraksi. "K - Kas!" serunya pelan. Tentu saja Kas yang sedang berada di luar tidak mendengar. "Enghh ...," lenguhnya. Dengan cepat, rasa sakit itu merambat menembus punggung. Sakit sekali. "Argh!" Rasanya sungguh aneh. Sebenarnya Bae kenapa? Perlahan rasa sakit itu hilang. Perlahan bersamaan dengan hilangnya kesadaran Bae. *** Entah karena apa, Kas merasa ada sesuatu yang terjadi. Pandangannya tertuju pada pintu kamar Bae. Ada apa? Sejenak Kas berpikir bahwa itu hanya perasaannya. Tapi apa salahnya ia kembali melihat adiknya? Tanpa berpamitan pada Alex dan Max, ia segera kembali. "Bae!" panggilnya. "Bae ...." Sejenak Kas berpikir Bae hanya tidur. Tapi perasaannya mengatakan kalau dia harus membangunkan Bae. Untuk memastikan sesuatu. "Bae ...." Kas mengguncangkan bahu Bae. Namun tidak ada respons. Saat memeriksa denyut nadinya, Kas segera mengangkat tubuh adiknya itu. "Max ...! Siapkan mobil, cepaaat!" hardik Kas. Max dan Alex yang tak tahu apa - apa tentu saja kaget. Tapi Max segera menaruh Zey di sofa setelah melihat kondisi Bae. "Alex, kau jagalah anak - anak. Kami ke rumah sakit." Alex mengangguk mengerti. Jujur sebenarnya ia juga ingin ikut. Tapi tentu saja tidak bisa. Alex tak tahu apa yang terjadi. Tapi pastilah itu sesuatu yang kurang baik. Melihat wajah khawatir Kas yang sangat besar itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD