Tale 61

1412 Words
Garlanda rasanya sudah sangat lelah. Memaksakan diri ingin bangun, namun rasanya tak pernah berhasil. Seburuk apa pun mimpi yang ia alami, tak mudah untuk membangunkannya dari tidur akhir - akhir ini. Apa ia akan selamanya hidup seperti ini? Menjadi manusia dunia nyata, namun lebih banyak menghabiskan waktu dalam dunia mimpi? Dari mimpi yang satu, Garlanda pun beralih ke mimpi yang lain. Mimpi lain, yang begitu aneh ... dan pastinya menyakitkan. *** Aku mengelus perut Lou beberapa kali. Perutnya basah. Perut buncit itu terekspos sempurna di hadapanku. Membuatku merasakan sensasi yang aneh tapi menyenangkan. Lou tersenyum melihat reaksiku. Ini memang baru pertama kali sejak hamil, ia bertelanjang d**a seperti ini. Kenapa Don belum kembali juga? Apa mencari kayu kering sesulit itu? "Lou, apa bertambah sakit?" tanyaku. "Sedikit." "Kenapa kau tidak bilang dari tadi? Seharusnya kami sudah bersiap - siap sejak awal. Tidak mendadak begini." Lou terkikik. "Aku pernah dengar dari Ibu, awal pembukaan persalinan akan berjalan cukup lama." "Apa sakit sekali?" "Tidak kok." Lou berbohong tentu saja. "Semoga ia menjadi anak yang berguna dan bertanggung jawab. Tidak seperti ayahnya!" Lou malah tertawa. Aku benar - benar salut kepadanya. Ia sudah dihamili, tapi tak pernah sedikit pun mengeluh. Tapi aku yakin ia sangat marah dan dendam pada Kang. Masih teringat jelas di pikiranku tentang reaksinya saat pertama kali menyadari bahwa ia hamil. Empat bulan yang lalu. Entah berapa usia kandungannya saat itu. Yang jelas perutnya mulai terlihat buncit. Waktu itu Lou hampir saja pingsan. Tapi ia bersyukur. Untung saja kami tersesat di dalam hutan rimba, tidak akan ada yang tahu kalau ia hamil. Hanya aku dan Don saja. Don datang dengan ngos - ngosan. Di tangannya ada kayu - kayu bakar lumayan banyak. "Kau itu dari mana saja?" omelku. "Maaf. Aku takut kayunya kurang. Makannya aku cari banyak sekalian." Don meletakkan kayu - kayu itu di tanah. Ia menghampiri kami. "Bagaimana, Lou?" tanyanya pada Lou. Ya, kami memang sedang bingung. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apa Lou akan melahirkan secara normal, atau ... bedah saesar? Untuk amannya pasti normal. Tapi bagimana kalau ada komplikasi. Namun kalau saesar, bagaimana kami melakukannya. Aku saja yang pintar tidak tahu, apa lagi Don. "Entah lah. Kita tunggu saja. Sepertinya ini juga masih lama. Karena rasanya benar - benar tidak terlalu sakit. Hanya sesekali saja dia seperti mendesak ingin keluar." Aku dan Don berpandangan. Mendesak? Ke bawah, kah? Tanpa sadar aku menelan ludah. "Lou, kubantu melepas celanamu, ya?" tawarku. Don segera menoyorku. Lou tersenyum. "Kenapa?" protesku pada Don. "Nanti saja. Sebaiknya bantu aku berjalan ke tenda saja. Aku tidak mau anakku lahir di luar begini." "Serius kau mau berjalan. Aku angkat saja, yuk!" Tanpa menunggu konfirmasi, Don segera menggendong Lou. Aku membuntut di belakang mereka seraya membawa pakaian Lou. *** Beberapa jam kemudian, aku berbaring di sebelah Lou. Don di sebelah kanannya. Dari tadi kami kami ngobrol sampai ketiduran. Tak pernah sehangat ini selama kurang lebih setahun kami hidup di hutan k*****t ini. Kulihat Lou bergerakb- gerak gusar. Kedua tangannya betengger memeluk perutnya. Aku segera terbangun. "Kau tak apa, Lou?" Lou tak menjawab. Astaga, ia berkeringat banyak sekali. Rambutnya sampai basah. Don juga segera bangun mengikutiku. Secara refleks, ia meletakkan tangannya ke perut Lou. Mengusapnya pelan. "Sakit sekali, Lou?" Lou mengangguk. Astaga. Apa sudah waktunya? Apa yang harus kulakukan? Don dengan cekatan segera melepas celana Lou. Mataku terbelalak melihat flek - flek darah bercampur lendir di celana dalamnya. Bisa kulihat liang lahir Lou. Ya Tuhan. Terbuka cukup lebar. "Loey, lakukan sesuatu, sakit ...," ucap Lou. Terlihat jelas di ekspresi wajahnya bahwa ini memang sangat sakit. "Don, cepat lah memasak air!" perintahku. Dengan kelabakan, Don segera menurutiku. "Lou, tenang lah, " ucapku. Aku segera mengangkat kedua kakinya, melebarkan posisinya. "Apa aku bisa melahirkan normal?" tanyanya. "Sepertinya bisa, Lou. Mungkin ini yang dinamakan pembukaan. Sayangnya aku tidak tahu ini sudah pembukaan berapa." "Argh!" Tubuh Lou menekuk. Kedua tangannya dengan erat mencengkeram perutnya. "Huff ... huff ...." Lou berusaha kuat mengatur napas. Aku bersumpah, kalau sampai aku bertemu Kang lagi. Aku akan membunuhnya. Membunuhnya. Tubuh Lou terhempas ke bawah lagi. Wajahnya terlihat frustrasi. Antara menahan sakit dan putus asa. Aku hanya bisa membantunya mengelus perut. Bisa kurasakan gerakan bayi yang ada di dalam sana. Sesekali dia menonjol di salah satu sisi perut Lou. Terkadang dia di bawah. Terkadang di atas. Tapi dia lebih sering di bawah. Mungkin dia juga sedang sangat bingung mencari jalan keluar. Kedua tangan Lou mencengkeram tas gunungku yang sekarang menjadi bantalnya. Dia masih berusaha mengatur napas. Dia terlihat menderita. Seandainya dia bisa berbagi rasa sakit, aku bersedia berbagi. Aku mengenalnya sudah lama. Dia tipe orangnya yang tegar dan kuat. Kuat dalam segala hal termasuk menahan sakit. Dia tidak pernah mengeluh saat sakit apa pun. Termasuk saat penyakit maag akutnya kambuh. Kalau sampai dia kesakitan seperti ini, berarti rasa sakit yang menyerangnya sudah keterlaluan. Itu pasti. "Loey, airnya sudah siap." Don tergopoh - gopoh masuk tenda. "Letakkan saja di situ!" jawabku tanpa menatap Don. Aku konsentrasi memperhatikan liang lahir Lou. Ada cairan bening serta darah encer yang sedari tadi merembes pelan dari sana. "Don ... tolong!" ucapku. "Kenapa, Loey?" "Singkirkan tasku, dan tolong topang tubuh Lou!" "A - APA?" Mata Don membelalak sempurna. "Sekarang, Bodoh!" Don terlihat masih ragu. Tapi dia melakukannya juga. "Posisikan tubuhnya setengah terduduk, Don!" perintahku. "Seperti ini?" "Iya." "Lou, kau pasti kuat. Berjuang lah!" ucap Don seraya menenakkan tubuh Lou. Rasanya aku ingin menangis melihat liang lahir yang menganga lebar di hadapanku. Belum lagi saat melihat tubuh Lou yang sesekali menggeliat saking sakitnya. "Lou, menangis lah kalau ini memang terlalu sakit. Kau juga boleh berteriak!" ucapku lagi. Tiba - tiba air berwarna pink keruh mengucur deras dari liang Lou. Dengan refleks, aku menyingkir. Tapi sia - sia, aku sudah kena. Rasanya hangat. "Itu apa, Loey?" jerit Don. Dia itu bodoh sekali. Benar - benar bodoh. Bukannya menenangkan Lou, dia malah membuatnya semakin panik. "Loey, itu ketuban?" tanya Lou dalam kepanikannya. "Sepertinya iya, Lou. Sudah waktunya. Kau siap?" Lou mengangguk pelan. "Baik lah, dorong perlahan, Lou!" "Ngghhhhhhhh ...." Dorogan kecil yang membuat perut Lou tiba - tiba terkumpul ke bawah. Tapi sedetik kemudian, perutnya naik lagi. "Bernapas lah, Lou!" "Huff ... huff ... nnnngghhhhhhh ...." Lou mengejan lagi. Kedua tangannya kini mencengkeram tirai tenda. "Dorong, Lou!" "Ngghhhh ... ah ... nnghhh ... ah ...." Tubuh Lou selalu menekuk tiap kali mengejan. Kedua tangannya mencengkeram perut besar itu. Ya Tuhan, kuatkan lah dia. "Dorong, Lou!" "Ergnnhhhhhh ... enghhrhh ...." Dia sudah mendorong sekuat tenaga, tetapi kenapa bahkan kepala bayinya saja belum terlihat? Bagaimana ini? "Errghhhhh ..., Loey .... Aku tidak bisa. Aku tidak bisa!" "Jangan menyerah, Lou! Tolong, kumohon berjuang lah! Aku berjanji ini akan segera berakhir!" "Sakit, Loey ... sakit sekali ...." "Bertahan lah ... berjuang lah ...." "Errghhh ...." Aku bisa melihat sesuatu yang menyembul dari liang Lou. Tapi dalam sekejap sesuatu itu masuk lagi. Ada apa sebenarnya? "Errghhhhhh ...." "Tunggu sebentar, Lou. Jangan mengejan dulu! Aku memasukkan tanganku ke dalam liangnya. Berusaha mencari bayinya. Bisa kurasakan di dalam bayi itu terus bergerak. "Lou, dorong lagi!" Lou kembali mengejan lagi sekuat tenaganya. Aku bisa melihat kepalanya mulai keluar. "Sekali lagi, Lou! "Eeeenghhhhh ...." Syukur lah, sekarang kepalanya sudah keluar sempurna. Aku memegangi kepala itu. Dengan pelan, kulepas gulungan tali pusar yang menjerat leher bayi ini. Ternyata itu lah yang tadi menyebabkan bayi itu tak kunjung keluar. Lehernya terjerat tali pusar sehingga saat Lou mendorong, dia kan keluar tapi kembali lagi karena tertarik dari dalam. "Enghhhhh ... huff ... huff ...." "Sekali lagi, Lou!" "Errghhh ...." Done. Tuhan terima kasih. Dengan pelan kupotong tali pusar bayi itu. Seorang bayi perempuan. Kulihat Lou sangat kelelahan. Perutnya masih terlihat membuncit. Matanya terpejam dan dia terkulai lemas di pelukan Don. Don menghapus air mata dan peluh Lou pelan. "Apa dia tidak apa - apa, Loey?" tanya Don. "Dia kelelahan, Don! Baringkan saja. buat posisinya senyaman mungkin." "Laki - laki atau perempuan, Loey?" tanya Don lagi sembari mengatur posisi Lou dengan baik. "Perempuan." "Kenapa dia tidak menangis?" "Aku sedang berusaha membuatnya menangis." Aku mengorbankan handukku satu - satunya untuk membersihkan bayi ini dengan air panas yang sudah disiapkan Don. Dia sangat cantik, sangat mirip dengan Lou. Perlahan kutebuk pantatnya pelan. Fiuh ... akhirnya dia menangis, aku lega sekali. "Don, tolong gendong dia!" Kuberikan bayi itu pada Don. Tanpa tunggu apa - apa lagi, aku segera menekan perut Lou. Ari - ari yang masih di dalam pun keluar dengan sendirinya. Well, tinggal membersihkan saja. Semoga Lou cepat sadar. Aku yakin dia akan segera pulih saat melihat anaknya nanti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD