Ketika terbangun, Garlanda merasakan kesedihan yang begitu mendalam dan juga sesal. Ia benci ketika menjadi Ark. Kenapa ia memiliki sifat yang begitu jahat. Sehingga tega meninggalkan dua bayi itu. Padahal belum tentu Lang tidak menginginkan mereka. Apa lagi Ark ingin mengatakan pada Lang jika kedua anaknya suda meninggal. Kesedihan yang dialami Lang pasti akan semakin parah.
Kesedihan Garlanda tak terlalu lama. Hingga ia kembali merasakan kantuk yang luar biasa. Dan ia kembali tertidur.
Kali ini Garlanda berada dalam tubuh seorang gadis SMA bernama Lily. Lily gadis manis, nan polos, anak seorang janda dari kalangan menengah ke bawah.
Pada suatu hari, Lily ditakdirkan bertemu dengan seseorang. Seseorang yang berhasil mencuri hatinya.
***
Langkah kakiku semakin cepat menelusuri jalanan. Sesekali tanganku menarik tas sampingku yang melorot sampai ke siku.
Lelaki di seberang jalan itu tetap berteriak, "Lily, Lily!"
Siapa gerangan wanita yang bernama sama denganku itu? Dia membuatku tertipu berulang - ulang karena aku selalu menengok ketika lelaki itu memanggil namanya. Sesekali aku benar - benar berniat menengok pada lelaki itu.
Wajahnya tampak bingung. Dia tetap berteriak memanggil nama yang sama. Tubuhnya tinggi, dibalut setelan jas lengkap.
Langkahku semakin cepat. Aku tidak mau ketinggalan bus, yang akan membuatku pulang semakin telat. Atau Ibu akan memasang wajah udang rebusnya ketika aku sampai rumah.
Dia itu sangat galak. Overprotective. Sama sekali tidak memberiku kebebasan untuk main - main seperti remaja pada umumnya.
Tapi Aku sangat mengerti kenapa Ibu bersikap seperti itu. Dia adalah orang tua tunggal. Dia hanya berusaha untuk merawat aku sebaik mungkin, agar aku tidak terjerumus dalam pergaulan tak masuk akal ala anak muda zaman sekarang.
Juga karena hanya aku anaknya, sekaligus satu - satunya teman hidup baginya. Tapi kata - katanya yang sangat pedas itu yang sering membuat telingaku bengkak, benar - benar menyakitkan dan selalu membuatku ingin menentangnya.
Huff ... kutarik napas dalam - dalam. Keinginan itu selalu kuurungkan. Biar bagaimana pun, Dia adalah Ibu kandung yang harus kuhormati, bagaimana pun sifatnya.
Tiba - tiba ada yang menarik pundaku dari belakang. Tubuhku otomatis berbalik ke arahnya.
"Lily!" seru orang itu. Napasnya terengah - engah.
Dia ... lelaki di seberang jalan tadi.
"H - hai!" sapaku canggung, demi kesopanan. "Apa aku mengenalmu?"
"Kau Lilyana Carpenter, bukan?"
Aku mengernyit. "Aku Lilyana Cruise."
"Oh, maaf. Tapi Siapa pun namamu, aku telah lama mencarimu. Maukah kau berbicara denganku sebentar?"
"Maaf, Tuan! Ini sudah terlalu sore. Aku harus segera pulang. Ibuku akan khawatir."
"Apa setiap hari kau lewat sini?"
"I - iya."
"Baik lah. Kalau begitu, sampai jumpa besok!"
Lelaki itu berlari menjauh dariku. Semakin kulihat semakin kecil tubuhnya, karena semakin jauh jarak kami. Sampai di depan perusahaan di ujung jalan, dia berhenti.
Melambaikan tangan padaku dan tersenyum. Kemudian dia masuk ke dalam salah satu perusahaan.
Aneh. Siapa dia sebenarnya?
***
Keesokan harinya, lelaki itu benar - benar menungguku di tempat kemarin. Tetap rapi dengan setelan jas.
Pepohonan, angin semilir, serta bunga - bunga yang mekar, menghiasi indahnya musim kemarau kota ini. Tentunya juga menambah indah percakapan antara kami.
"Anda bekerja di peusahaan besar di ujung jalan itu, ya?" tanyaku.
Dia menatap perusahaan yang terlihat paling megah, hingga akhirnya mengangguk.
"Wah, pastilah Anda orang yang sangat pintar!"
"Kenapa bisa menyimpulkan seperti itu?"
"Tentu saja. Perusahaan sebesar itu tak mungkin sembarangan merekrut karyawan."
"Jangan terlalu memuji. Itu adalah perusahaan keluarga. Jadi, aku tidak perlu berusaha terlalu keras untuk bisa masuk ke sana!"
Aku mengangguk - angguk. Tidak tahu mengapa aku mau diajaknya ngobrol sekarang. Padahal sudah jelas dia itu orang asing.
Belum lagi, aku berani ambil resiko dimarahi ibuku karena pulang telat.
***
Waktu terus berjalan. Dari detik berubah menjadi menit, jam, dan seterusnya. Hari - hari pun berganti.
Musim kemarau telah berganti menjadi musim hujan. Aku dan lelaki itu selalu bertemu setiap sore. Hanya untuk sekadar mengobrol.
Sudah kujelaskan kemarin, kan, bahwa aku juga tidak tahu kenapa aku mau saja dekat - dekat dengannya.
Padahal aku harus melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku yaitu berbohong pada Ibu. Aku bilang padanya, bahwa sekarang ada tambahan di sekolah. Pastilah setiap hari aku jadi pulang sore. Aku tahu ini keterlaluan. Tapi mau bagaimana lagi. Lelaki itu sudah merubahku.
Kami punya tempat makan favorit. Restoran seafood di pinggiran kota. Nyaman sekali menghadap laut. Selain dapat menikmati makanan laut yang masih segar, juga dapat menikmati hembusan angin laut.
Sayang, lelaki itu belum juga mengatakan identitasnya. Itu salah satu keanehan juga. Kenapa aku percaya saja padanya? Padahal tidak jelas dia siapa.
Darimana asal usulnya. Bagaimana kalau dia bohong padaku tentang perusahaan di besar itu? Huff.
Namanya saja aku belum tahu. Hanya sekadar nama. Satu kata pertama yang harus diucapkan saat momen perkenalan. Sialnya dia sudah tau namaku duluan.
Bagaimana bisa di nylong start seperti itu? Bagaimana juga caranya mengetahui namaku? Karena aku sama sekali belum tahu namanya. Nama kontaknya di handphone, aku tulis dengan sebutan Mr. X.
Suatu sore di restoran seafood, kami memutuskan untuk tidak pulang dulu setelah makan. Kami berdiri di pagar batas restoran. Menghadap luasnya lautan.
Menunggu indahnya matahari terbenam. Entah mengapa sore itu kami tidak menemukan bahan obrolan yang cocok. Aku tidak tahu siapa dulu yang membicarakan tentang hal ini. Yang jelas ini adalah topik pembicaraan yang paling aku benci.
"Aku takut, Tuan!"
"Kenapa?"
"Aku juga tidak tahu. Yang jelas, aku sangat takut jika harus membicarakan kematian."
"Hey, dengar! Hidup ini memang indah. Jadi nikmati saja! Tapi juga jangan terlalu hanyut dalam kenikmatan hidup."
Aku diam. Menunggu kata - kata apa yang akan dia ucapkan selanjutnya.
"Kau tahu? Jarak antara kematian dan kehidupan itu sangat lah tipis."
"Maksudnya?"
"Sebentar lagi kamu akan tahu. Sebentar lagi kamu akan ingat. Menurutku, hidup dan mati itu sama saja. Sama - sama sebuah proses untuk mencapai suatu kekekalan. Dimana, datangnya kekekalan itu, kita belum tahu."
Aku hanya diam mendengarkannya. Jika dipikir - pikir, itu memang benar. Hidup adalah proses. Kehidupan setelah mati pun juga sebuah proses.
Proses untuk menjalani kehidupan yang kekal. Entah kapan datangnya kekekalan itu. Yang jelas, sekarang ini kita sedang menjalani ... apa, ya?
Mungkin bisa disebut audisi. Siapa yang bisa menjalani proses dengan baik dan benar, maka dialah yang akan mendapatkan kemuliaan di kehidupan kekalnya.
Ketika aku memalingkan muka dari lautan ke arah Mr. X, betapa kagetnya aku. Tidak ada siapapun di sampingku. Ku arahkan pandanganku ke semua sudut restoran. Tidak ada. Ke mana perginya?
Indahnya matahari terbenam pun hanya kunikmati sendiri.
***