Tale 100

2331 Words
Pukul setengah sepuluh pagi, Jurasic World, Malang. Orang-orang yang lalu lalang sedang menatap heran ke arah sepasang muda-mudi yang sedikit aneh. Yang cewek nampak cukup normal. Lumayan lah pilihan pakaian yang ia kenakan. Nah satunya yang cowok. Itu dia yang membuat gedek semua orang. Ia Pakai piyama hijau yang hanya ditutup menggunakan jaket bomber yang mungkin sudah ratusan tahun umurnya. Saking sudah pudar warnanya. Dan dia hanya menggunakan alas kaki bermerk burung walet, yang lebih sering digunakan sebagai sendal rumahan. Untung lah penampilan aneh itu terselamatkan oleh ketampanannya yang sungguh paripurna. Sementara yang dilihat tetap tenang-tenang saja. Seperti tidak ada beban. Tetap berjalan santai, bersama cewek itu, melihat-lihat action figure berukuran raksasa, yang merupakan tiruan dari dinosaurus zaman purbakala. Dilengkapi dengan teknologi canggih, sehingga semuanya bisa bergerak dan bersuara seperti aslinya. Pilihan warna dan bentuknya pun benar-benar mirip dengan dinosaurus yang digambarkan di media. Ingin dikatakan seperti asli juga tidak bisa. Karena tidak ada manusia yang pernah melihat dinosaurus asli. Kecuali manusia purba juga. Ayla yang ada di samping Jodi masih gelisah seperti tadi. Dia merasa sebagai tersangka penculikan atas anak konglomerat yang sedang dirawat di rumah sakit. Dan korban yang dia culik, justru sangat bahagia karena bisa bebas. Jodi menggelandang tangan Ayla. Mencari wahana yang sekiranya cukup seru untuk dinaiki. Setelah diperhatikan, Ayla merasa semakin khawatir. Wajah Jodi itu pucat sekali. Sama pucatnya seperti saat Edward Cullen memutuskan untuk puasa minum darah selama 1 bulan penuh, karena sedang melakoni persyaratan sebuah pesugihan. Dan tidak tahu kah Jodi ... sejak tadi ia menggandeng tangan Ayla ke mana-mana, dengan begitu santainya. Tidak memikirkan nasib jantung Ayla di dalam sana. Yang rasanya sudah akan copot dari otot yang mencengkeramnya. "Lo, baik-baik aja, kan?" tanya Jodi kemudian. Ayla langsung mengernyit. "Bukannya seharusnya gue yang tanya. Gimana keadaan lo, Jod? Lo nambah pucat banget sumpah." "Nggak apa-apa tuh. Ya cuman keliyengan dikit aja. Emang gue kelihatan banget kalo lagi sakit, ya?" Ayla cuma nyengir. "Ya kelihatan lah kalo lo lagi sakit. Mungkin kalo orang-orang di sini mau bersuara, pasti mereka anggap lo lagi cosplay jadi vampir kelaparan saking pucatnya." Jodi masih lah Jodi. Yang ketika Ayla dalam mode serius khawatir padanya, tapi Jodi malah tertawa. Ayla hanya sangat khawatir. Dia pernah menonton film Jepang yang berjudul Buku No Hatsukoi Wo Kimi No Sasagu. Bahasa inggrisnya, I give my fisrt love to you. Kisah cinta antar takuma dan Mayu. Jadi persis seperti ini adegannya. Mereka main ke tempat yg banyak wahananya seperti ini, dan akhirnya kondisi takuma memburuk karena penyakitnya. Ayla tidak mau itu terjadi juga pada mereka hari ini. "Main Yuk!" Jodi kembali menarik Ayla. Menggelandangnya menuju wahana roller coaster yang rail-nya terlihat begitu curam dan mengerikan. Ayla langsung mendelik. "Jod, jangan gila deh. Lo mau naik roller coaster?" "Bukan gue, tapi kita!" "Jod, jangan aneh-aneh lah. Lo lagi sakit!" "La, please deh. Gue ini sakit leukemia. Bukan sakit jantung. Nggak ada hubungannya sakit gue sama roller coaster ini!" "Tapi, kan ...." Seakan tak mau mendengar apa pun yang Ayla coba katakan lagi, Jodi langsung menarik saja tangan Ayla menaiki tangga yang mengantarkan mereka pada gerbang untuk naik ke atas roller coaster. Roller coaster tampak masih lengang tempatnya. Karena ini memang bukan hari libur, jadi jurasic world ini tidak terlalu ramai. Mereka jadi bebas mau duduk di mana saja. "Jod ... lo yakin mau naik, nih?" tanya Ayla sekali lagi. "Sangat yakin," jawab Jodi. Jodi merebut rantang yang sejak tadi Ayla tenteng. Ia letakkan di salah satu meja di sana. Kemudian Jodi kembali menggandeng Ayla naik ke salah satu gerbong roller Coaster. Jodi memilih gerbong yang ada di bagian tengah. Seorang petugas memasangkan pengaman untuk Jodi. Ia kemudian bertanya pada Jodi. "Mas, pengaman buat pacarnya boleh saya handle, apa Mas aja yang mau memasangkan?" Jodi tersenyum menanggapi pertanyaan sopan petugas itu. Ayla ... wajahnya langsung merah seperti lobster asam manis. Apa lagi setelah Jodi menjawab. "Saya aja deh, Mas. Tolong pantau kali aja saya pasangnya salah." Petugas itu pun tersenyum ramah kembali. "Baik akan saya lihat." Jodi langsung menoleh pada Ayla. Ayla menunduk dalam, tidak berani menatap Jodi balik. Jodi maklum saja pada reaksi Ayla itu. Ia langsung meraih pengaman di atas kursi Ayla. Menurunkannya hingga melingkari tubuh Ayla. Kemudian menguncinya. "Oke, sudah betul pemasangannya, Mas!" Petugas itu memberi Jodi acungan jempol. Jodi balas memberi acungan jempol pula. Dirasa tidak ada lagi penumpang yang akan naik, petugas pun memutuskan untuk segera menjalankan saja wahana itu. Dan dimulai lah ketegangan yang terjadi. Eh, sebenarnya ketegangan itu hanya dirasakan oleh Ayla. Karena Jodi malah tertawa, begitu menikmati setiap adrenalin yang tercipta, akibat kencangnya kereta roller coaster melewati jalur yang sangat ekstrim dan curam. Ayla berteriak kencang setiap melintasi jalur yang menukik dan menurun. Rasanya nyawa sudah di ujung tanduk. Ia melantunkan syahadat berkali-kali, jaga-jaga jika ternyata ini memang saat terakhirnya. Jodi tertawa karena reaksi Ayla yang menurutnya sangat kocak. "Gue ngerti sekarang, La. Lo tadi sok khawatir sama gue yang mau naik roller coaster. Tapi sebenarnya itu hanya alibi aja, kan. Itu karena lo sebenarnya takut gue ajakin naik roller coaster. Hayo, ngaku!" "Terserah lo deh Jod mau ngomong apa. Terseraaaahhh!" Dan roller coaster pun lanjut melaju pada medan luar biasanya. *** Hari sudah hampir siang. Perut Ayla keroncongan karena memang belum makan apa-apa dari pagi. Ayla ingin ikut join Jodi makan tahu fantasi. Tapi rasanya melihat saja sudah eneg. Ternyata membuat sendiri makanan yang melihat dari mentah sampai matang, menciptakan efek tidak nafsu memakan makanan yang bersangkutan. "La, lo gimana sih? Bikin tahu fantasi sendiri, tapi disuruh makan nggak doyan. Gue jadi curiga ini ada racunnya." Jodi berkata begitu, tapi mulutnya masih terus mengunyah tahu fantasi buatan Ayla, yang kini sudah tinggal beberapa biji saja di dalam rantang. "Sembarangan aja kalau ngomong. Kalau ada racunnya, tuh, lo makan sendiri hampir satu rantang. Lo baik-baik aja tuh. Bukan muntah busa!" Jodi lagi-lagi hanya tertawa. "Ya udah, lo mau makan apa, sih? Yuk cari makan yang lo mau. Kasihan anak orang dari pagi mogok makan." "Ya gara-gara siapa kalau bukan lo!" "Ya sorry. Gue pikir hari ini kita makan tahu fantasi ini aja. Eh, malah lo nggak mau!" Ayla menggelenh. Ia benar-benar tidak nafsu makan. Tidak tahu juga mau makan apa. Anehnya, tak tahu kenapa tiba-tiba Ayla mual. Mungkin dia kaget. Dari pagi belum makan, diajak jalan oleh pangeran tampan dan rupawan pujaan hatunya, naik bus dadakan tanpa anti mabuk dengan jarak lumayan jauh pula, antar kota, ia juga terus khawatir jika pangeran kenapa-kenapa, naik wahana roller coaster yang ekstrem. Ditambah udara Malang yang dingin. Berbeda dengan Kediri yang panas. Lengkap sudah. "Waduh ... kenapa lo?" Jodi langsung refleks mengurut tengkuk Ayla karena gadis itu mual dan hampir muntah. Tidak keluar apa-apa, sih. Tapi ia langsung keringat dingin dan pucat. "Asam lambung lo naik pasti nih gara-gara telat makan. Makannya jangan sok-sok nggak mau makan lah." "Lo yang ajak gue ke sini, lo juga yang nyalahin gue!" Ayla mengomel, sebelum kembali diserang rasa mual. Sebenarnya Ayla tidak enak juga pada Jodi. Ia dari tadi khawatir Jodi kenapa-kenapa. Eh, sekarang malah dia sendiri yang kenapa-kenapa. "Iya, deh. Sorry, ya." Jodi nampak benar-benar menyesal. "Yuk, sekarang cari makan dulu. Cari yang anget-anget. Biar enakan perutnya." Duh ... Ayla langsung meleleh seperti lilin terbakar api. Ternyata begini rasanya diperhatikan oleh seorang gebetan. Ini kah yang dinamakan rahim terasa hangat? Perasaan nyaman yang sulit digambarkan oleh kata-kata. Ayla hanya pasrah digandeng oleh Jodi dari tempat duduk semula. Mereka kemudian masuk ke dalam sebuah kedai bakso khas Malang yang legendaris. Tempatnya luas. Meskipun ramai pengunjung sama sekali tidak sumpek. Mereka memilih duduk di bagian indoor, dekat dengan jendela. Suasananya nyaman, ditambah ornamen tanaman yang tertata apik. "Sebentar gue pesenin dulu, ya. Lo tunggu aja sini." Jodi langsung beranjak. Ayla hanya mengangguk. Masih tak percaya rasanya jika ia akan pernah mengalami hal seperti ini, pergi berdua saja dengan Jodi, dan merasakan perhatian seperti ini darinya. Tak lama kemudian Jodi kembali. Tapi ia tidak langsung duduk. Melainkan berpamitan lagi pada Ayla. "Gue udah pesenin bakso sama minuman hangat. Lo tunggu di sini, ya. Gue mai cari minimarket sebentar." "Ngapain ke minimarket?" tanya Ayla kebingungan. "Mau cari cemilan buat di bus nanti." Sebenarnya Ayla masih punya pertanyaan lain. Untuk beli cemilan kan bisa nanti saja setelah mereka makan. Kenapa Jodi harus pergi sekarang? Bagaimana juga kalau letak minimarket ternyata jauh? Tapi karena Ayla masih terlalu pusing dan pastinya masih tersisa rasa mual, ia tidak terlalu bernafsu untuk bertanya terlalu banyak hal. Ia hanya mengiyakan, dan membiarkan Jodi berlalu pergi. Ayla mengambil ponselnya. Baterai tersisa 20% saja. Rasanya kesal, di sebelahnya ada colokan, tapi tidak bisa isi daya karena baik Ayla ataupun Jodi tak ada yang membawa charger. Ayla membuka ponselnya. Ia membuka galeri kemudian. Dan tersenyum sendiri melihat betapa banyak kenangan indah berupa foto dan video yang ia dan Jodi ambil bersama hari ini. Mimpi Ayla benar-benar sudah diwujudkan oleh Jodi hari ini. Mimpi yang selama ini bahkan tak berani Ayla lakukan secara terang-terangan Tak lama kemudian Jodi kembali. Terlihat napasnya ngos-ngosan tapi berusaha ia tutupi. Ayla juga melihat keringat di pelipisnya. Apa karena Jodi habis berlari? Jodi membawa satu tas kresek penuh berisi cemilan. Dan satu tas kresek kecil, ia berikan pada Ayla. "Apaan ini, Jod?" "Dibuka aja dulu. Sebelum makan nanti kunyah dulu obat lambungnya. Terus perutnya dioles minyak angin roll on-nya, biar cepet enakan, nggak mual lagi. Astaga ... kalau begini, bagaimana Ayla tidak luluh dan meleleh? Kenapa Jodi manis sekali? Terlepas dari rasa bersalahnya, tapi Jodi benar-benar bertanggung jawab atas Ayla. Jika Jodi bukan cowok yang baik, ia pasti hanya akan cuek. Tapi Jodi bahkan memikirkan hal detail seperti ini. "Lo kok repot-repot banget sih, Jod? Pantesan aneh banget. Beli cemilan kan bisa nanti. Malah maksa beli sekarang. Ternyata lo beli obat maag sama minyak angin roll on juga." "Dah lah ... biar cepet enakan. Gue tahu, sakit itu rasanya nggak enak." Ayla tersenyum miris mendengarnya. Astaga ... padahal Ayla sudah berusaha menekan perasaannya pada Jodi supaya tidak semakin membesar. Tapi kalau begini ceritanya, bagaimana bisa Ayla menekan pertumbuhan rasa sukanya pada Jodi? Ayla pun langsung mengambil obat maag yang dibelikan oleh Jodi, dan ia kunyah satu. Selanjutnya ia langsung oleskan minta angin itu ke sepenuh perut, d**a, leher, belakang telinga, dan juga pelipis. "Makasih ya, Jod. Hari ini gue seneng banget. Meskipun banyak tertekan dan tegangnya juga." Jodi hanya tersenyum. "Tapi lo nggak kapok kan kalau pergi-pergi sana gue lagi?" Ayla langsung terdiam. Apa? Jadi Jodi ada rencana ingin mengajaknya pergi lagi? "Jod, tapi lain kali jangan kabur begini dong. Terus nunggu kondisi lo baik dulu. Jangan nekat!" Ayla tentu saja tidak menolak. Mana bisa ia menolak pergi bersama Jodi? Jodi tersenyum. "Nggak janji ya kalau soal itu. Kapan aja gue mau pergi, lo harus siap." "Yah, Jod. Apa salahnya sih pamit dulu? Kan malah biar nggak bikin orang-orang khawatir." "Pertama, kalau izin pasti nggak boleh. Gue sehat pun pasti bakal nggak dibolehin karena semua orang udah telanjur tahu gue sakit leukemia. Kedua, kalau gue izin, ada kemungkinan dibolehin. Tapi pasti banyak yang mau ikut. Mungkin Mbah Jum atau Pak Muklas. Atau Mr. Bagie. Atau Fariz sama Iput. Ya gue ogah lah kalau perginya sama mereka semua." Jawaban Jodi itu kembali memacu detak jantung Ayla. Sampai gadis itu lagi-lagi kehilangan kata-kata. Apakah Jodi baru saja berkata bahwa ia hanya ingin pergi bersama dengan Ayla ... hanya mereka berdua saja, tanpa mau ada orang lain yang ikut lagi? Karena Ayla hanya terdiam. Jodi pun kembali bicara. "Lo penasaran nggak sih sama yang gue omongin tadi pagi? Tentang kenapa gue anggap kepergian kita hari ini, adalah sebuah kesempatan langka. Ya itu tadi dia alasannya. Bakal langka kesempatan pergi berdua aja sama lo, tanpa ada orang lain yang ikut." Ayla rasanya sudah mau pingsan saja. Astaga ... tadi ia hanya berani mengira-ngira. Tapi Jodi baru saja mengatakannya secara gamblang. bahwa tujuannya memang ingin pergi berdua saja dengan Ayla. Ayla pun semakin kehabisan kata-kata. Salah tingkah, tak tahu harus berbuat apa. Untung saja momen itu bertepatan dengan diantaranya pesanan mereka. Dua mangkuk bakso komplit, dan minumnya wedanh jahe. Mereka berdua pun kemudian segera makan dengan khidmat. Tidak ada yang bicara. Hanya sesekali pandangan mereka saling bertemu. Setelah itu mereka segera menuju ke halte, masih dengan Jodi yang menggenggam tangan Ayla ke mana pun mereka pergi. Di dalam bus mereka juga duduk berdua, sambil makan cemilan yang dibeli oleh Jodi. Tak lupa mereka kembali mengabadikan momen bersama. Sebuah hal yang membuat Ayla tak habis pikir. Dan semakin membuat semua ini terasa tak nyata, Jodi dengan begitu tenang meletakkan kepalanya di pundak Ayla. Ia bahkan mengabadikan momen itu dengan ponselnya. Tampak wajah tegang Ayla di layar ponsel Jodi. Sementara Jodi tersenyum begitu tampan. Ayla bingung harus bagaima. Apa ini artinya ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan? Tapi Ayla juga tidak mau terlaku percaya diri. Karena ia takut akan kecewa. *** Fariz dan Iput sudah menyerah ikut membantu mencari Jodi sejak pagi. Tapi anak itu urung jua ditemukan. Bisa-bisanya ia pergi dari rumah sakit. Dan ternyata berdua pula dengan Ayla. "Dasar emang mereka. Dua-duanya kompak banget nggak nyalain data. Emang biar nggak ada yang bisa hubungin mereka. Ditelepon manual juga nggak diangkat." "Kalau kata gue, mending kita stop cari aja deh. Soalnya Jodi bilang di suratnya kan, dia bakal balik sebelum Maghrib. Kita percaya aja lah sama Jodi. Toh baik Jodi atau Ayla sama-sama udah gede. Pasti bisa jaga diri. Kalau terjadi sesuatu, pasti Ayla ngabarin kita. Karena nggak ada kabar, ya berarti Jodi baik-baik aja." "Wah ... bener juga, ya. Tumben otak lo Encer, Put!" "Jangan ngeledek lo. Dadi dulu gue aslinya cerdas. Cuman gue merendah aja, nggak mau sombong." "Merendah gundulmu itu!" "Gundul gue kenapa? Gundul gue bulet, nggak kayak gundul lo pegang!" "Enak aja kalau ngomong!" "Eh, tapi, Riz. Kira-kira kenapa ya kok Jodi ajak Ayla pergi berdua aja? Jangan-jangan Jodi suka sama Ayla?" "Wah, kalau urusan hati mah gue nggak ahli. Tapi kalau emang Jodi suka sana Ayla, ga biarin aja. Malah bagus dong kalau sama-sama suka. Bisa bikin bahagia." "Bener. Ya udah lah, kita ke warung aja cari es. Haus banget gue!" "Oke."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD