Jodi sudah makan lebih dari lima buah tahu fantasi dengan ukuran yang berbeda-beda. Merupakan sebuah rekor setelah Jodi mogok makan sejak ia sadar.
"Kok udahan sih?" Ayla protes karena Jodi menutup kembali rantang berisi tahu fantasi itu.
"Kenyang gue, La!" jawab Jodi jujur.
"Apaan kenyang ... baru juga malam satu!"
Jodi langsung mendelik. "Satu apanya? Gue udah makan lima!"
"Bohong! Kenapa sih, Jod? Rasanya nggak enak, ya? Terus kenapa tadi bilang enak?"
"Astagfirullah ... makanya pas gue makan, lo jangan ngelamun jorok. Ya kali ada cowok seganteng gue lagi makan, lo malah ngeliatin sambil bengong. Sampai mulut lo kebuka lebar. Ngaku, bayangin apa lo tadi pas ngelamun?"
Ayla langsung mencebik. Padahal sejak tadi ia memperhatikan Jodi. Tapi ya memang ia setengah berkhayal sih. Membayangkan jika ia dan Jodi sekarang sedang berada di atas tikar yang digelar di atas hamparan rumput. Membayangkan melakukan piknik berdua saja bersama Jodi, pasti akan sangat menyenangkan.
"Beneran lo udah makan lima?" tanya Ayla lagi untuk memastikan.
"Astaga ... udah Ayla. Sekarang gue udah kenyang banget. Makanya gue tutup. Ntar bakal gue makan lagi kalau laper." Jodi berusaha menjelaskan yang sebenar-benarnya pada Ayla.
Tersisa Ayla yang cengengesan karena malu. Duh, kadang ia benci dengan pikirannya yang suka mendadak liar. Di saat yang tidak tepat.
"Ya udah," jawab Ayla kemudian.
Ayla membawa rantang itu kembali ke atas meja nakas. Jodi kembali asyik memainkan ponselnya. Ayla juga sama. Mulai asyik menjelajah media sosial yang ia punya. Sesekali Ayla menatap me luar jendela. Hmh ... ternyata sudah terang. Dan cuaca benar-benar sedang cerah.
Ayla tidak sadar, bahwa Jodi sejak tadi sesekali mencuri pandang ke arahnya.
"La!" panggil Jodi tiba-tiba.
"Hm? Kenapa Jod?"
"Jalan-jalan yuk?"
"Ha?"
Belum selesai Ayla terkaget-kaget, Jodi malah sudah mengejutkannya lagi dengan hal lain.
Jodi segera menarik jarum infus dari pergelangan tangan kirinya. Langsung mengucur darah segar mengenai brankar dan juga lantai. Ayla berteriak histeris. Tapi Jodi malah tertawa. Cowok itu Mengambil selimut untuk membungkus luka bekas jarum itu sebentar, sampai pendarahannya berhenti.
"Udah, yuk. Beres," kata Jodi setelah memeriksa darahnya tidak keluar lagi.
"Jod, lo gila apa? Sembarangan aja main lepas-lepas infus!" Ayla langsung mengomeli Jodi yang sudah membuatnya ketakutan dan kaget setengah mati
Dan dengan kurang ajar, Jodi lagi-lagi tertawa. Diambilnya jaket yang tersampir pada knop laci meja nakas. Lalu segera ia pakai.
"Jod, jangan aneh-aneh ya. Gue laporin dokter Dayanti, nih."
"Ya terserah deh. Kalau lo mau ikut, ya ayo. Kalau nggak, ya udah, gue mau jalan sendiri aja. Kesempatan langka lho ini. Kapan lagi bisa jalan-jalan berdua aja sama gue?"
Sebuah penawaran yang sangat menggiurkan. Sesuai dengan khayalan liar Ayla yang bahkan ia tahan-tahan supaya tidak terpikirkan lagi. Eh, sekarang Jodi malah nyaris membuatnya menjadi kenyataan.
"Jod, ya nggak sekarang juga kalau mau jalan-jalan!" Ayla masih berusaha membuat Jodi sadar.
"Terus kapan dong? Ayo lah, gue udah pusing banget berhari-hari di rumah sakit. Gue butuh udara segar. Bisa stres gue kalau di dalam kamar ini terus!"
"Iya, tapi kan lo bisa keluar jalan-jalan di sekitar rumah sakit aja. Nggak perlu lah ada drama lepas infus segala sampai darahnya ngocor!"
Jodi tertawa sekali lagi. "Udah telanjur, gimana dong? Nanti biar dipasang lagi deh sama perawat."
"Jod, lo jangan main-main ya. Gue laporin ke dokter Dayanti sekarang juga!" ancam Ayla.
"Yah ... lo nggak asyik. Ya udah, laporin aja sana. Bye ...." Jodi malah dengan lincah berlari keluar kamar. Tak lupa ia sabet rantang berisi tahu fantasi di atas meja nakas, untuk bekal nanti supaya ia tidak usah repot dan boros beli makanan.
"Woy, Jodi ... tunggu!" Ayla mengejar Jodi. Ia mengayunkan langkah secepat yang ia bisa.
Tentu saja kecepatan berlarinya kalah jauh dari Jodi. Tinggi badan mereka saja juga sudah berbeda jauh. Ayla sudah ngos-ngosan hingga rasanya ingin menyerah. Tapi Jodi masih betah berlari kencang. Ia seperti robot yang baru saja diisi daya. Padahal ia sedang sakit, tapi kemampuannya sebagai atlet sama sekali tidak luntur.
Ayla yang ngos-ngosan pun terpaksa mendorong dirinya untuk lanjut berlari. Ia harus bergegas, atau ia benar-benar akan kehilangan jejak Jodi.
***
Kecepatan berlari Jodi benar-benar membuat Ayla stress. Ia coba terus mengejarnya. Ayla semakin stress saat tahu kini Jodi sudah sampai di area luar rumah sakit.
Sialnya karena ini masih terlalu pagi, belum banyak orang lalu lalang. Bahkan penjaga pintu depan pun masih belum datang. Sehingga Jodi bisa keluar dengan lancar saja tanpa hambatan. Di mana itu semakin membuat Ayla tertekan. Ingin mempercepat larinya, tapi rasanya ia sudah tidak sanggup. Ia benar-benar sudah kelelahan maksimal.
Ayla akhirnya pasrah. Sisa tenaganya hanya cukup untuk berjalan, supaya bisa terus mengejar Jodi -- yang semoga saja masih terkejar.
Ketika Ayla akhirnya juga sudah sampai di luar rumah sakit, ia merasa lega karena ternyata ia belum kehilangan jejak langkah Jodi. Cowok itu ternyata sudah berhenti berlari. Sekarang sedang duduk di sebuah halte bus yang letaknya tak jauh dadi rumah sakit.
Ayla pun lanjut berjalan ke sana. Tubuhnya banyak berkeringat, napasnya sangat cepat tapi tak cukup juga rasanya oksigen dalam rongga paru-parunya.
"Jod ... fix lo udah gila! Lo mau ke mana sih sebenarnya?" Ayla langsung mengomel pada Jodi lagi ketika sampai halte. Ayla masih berusaha menormalkan nafasnya lagi seperti semula.
Bukannya menjawab pertanyaan Ayla, Jodi malah terkikik. Kemudian ia berdiri. Ayla sudah menebak apa yang terjadi. Ayla menengok ke belakang. Ada sebuah bus antar kota yang hendak berhenti di halte ini.
Astaga ... Jodi memang sudah tidak waras.
"Woy, Jod. Awas lo kalo berani naik itu bus!" ancam Ayla.
Lagi-lagi Jodi hanya tertawa. Dengan santainya ia langsung naik ketika bus berhenti.
"Jodi ... turun nggak lo! Ayo buruan turun! Cepetan!" Ayla benar-benar tak bisa membendung emosi dalam dirinya. Ia berteriak sekencang yang ia bisa, tak peduli napasnya sudah hampir habis.
"Mas itu temennya mau naik apa nggak?" tanya sang kenek pada Jodi yang sudah duduk santai di salah satu kursi penumpang.
Jodi kemudian segera membuka jendela. Melongok keluar menatap Ayla. "Mau ikut apa nggak? Ini penawaran terakhir. Kalau ikut, silakan naik. Kalau nggak ya udah aku berangkat sendiri. Keputusan harus cepat. Kasihan tuh, bus-nya harus kejar setoran."
"Tapi Jod ...."
"Buruan Ayla ... jangan tapi-tapi terus!"
Ayla benar-benar bingung. Ia tenggelam dalam dilema. Astaga. Mereka sudah sampai sejauh ini. Akhirnya Ayla nothing to lose saja lah. Benar kaya Jodi. Kapan lagi ia dan Jodi bisa pergi berdua saja seperti ini?
Masih dengan kebingungan dan kekesalan tertahan, Ayla pun akhirnya naik ke dalam bus itu. Mukanya terlihat seperti mau menangis. Kontras dengan Jodi yang justru menyambutnya dengan senyum penuh kepuasan. Jodi bahkan menepuk-nepuk kursi di sebelahnya yang kosong, sehingga Ayla bisa duduk di sana.
Ayla pun akhirnya segera duduk dengan pasrah.
***
Ayla tidak bisa tenang di dalam bus. Ternyata Jodi itu memang benar-benar nekat. Bosan di Rumah Sakit sih Boleh saja. Wajar. Tapi jangan pakai acara kabur begini dong. Mana kaburnya bersama Ayla si naïf yang tidak tahu apa-apa ini. Digenggamnya rantang dengan isi tahu fantasy yang dibuatnya semalam suntuk kemarin.
Jodi kabur hanya dengan piyama seragam rumah sakit. Biar tidak terlalu mencolok, Cuma ditutup dengan jaket bomber yang sudah agak kabur warnanya. Ada inisial A di bagian depan. Dibordir dengan ukuran kecil. Ayla bisa menebak, jaket itu dulu pasti adalah milik dari Aldi, mendiang saudara kembar Jodi.
Ayla sebenarnya ingin tahu cerita tentang saudara kembar Jodi itu. Tapi ia cukup tahu diri untuk tidak bertanya terlalu banyak.
Perasaan Ayla tidak karu-karuan sekarang. Antara takut, khawatir, cemas, tapi di samping itu juga senang. Akhirnya tiba juga gilirannya untuk pergi berdua saja dengan Sang Pangeran. Tapi di sisi lain dia juga takut kalau seandainya sesuatu terjadi pada Jodi. Bayangkan saja, beberapa hari yang lalu, Jodi baru sadar dari koma. Dan sekarang ia masih dalam proses pengobatan untuk leukemia-nya.
"Kita sebenarnya mau kemana sih, Jod?" Ayla akhirnya menanyakan ke mana tujuan mereka.
"Ntar kalau gue kasih tahu, lo bakal lebay apa nggak kagetnya?"
Sebuah pertanyaan balik dari Jodi, yang seperti memberi petunjuk bahwa jawaban Jodi tentang tujuan mereka, pasti akan sangat mengejutkan.
"Jod, please ... lo jangan aneh-aneh. Udah, kalau bus ini udah berhenti, kita turun. Habis itu kita cari bus lagi buat balik ke rumah sakit." Ayla mengatakannya dengan emosi tertahan.
"Nggak usah lo kasih tahu juga gue udah tahu kok," jawab Jodi.
Yang membuat Ayla sedikit lega. Tapi ternyata Jodi belum selesai bicara.
"Gue pasti bakal balik ke rumah sakit. Tapi nggak sekarang, La." Itu lah lanjutan dari perkataan Jodi. "Ya nanggung lah. Masa kita udah pergi sejauh ini, tapi berhenti di tengah jalan. Sayang banget dong usaha kabur nya. Udah lah, santai aja. Ini bukan salah lo. Ini inisiatif gue sendiri. Lo nggak perlu khawatir. Oke?"
"Ini bukan masalah siapa yang salah. Tapi lo tuh lagi sakit, Jod. Gue khawatir kalau terjadi apa-apa sama lo. Gue yakin, bukan cuman gue yang khawatir. Tapi semua orang. Terutama Mbah Jum. Pasti beliau khawatir banget. Apa lo nggak kasihan sama Mbah Jum?"
Jodi tertegun dan menunduk. "Memangnya akan terjadi apa sama gue?" Gue bertanya balik.
Kali ini giliran Ayla yang terdiam.
"Ini tubuh gue. Gue bisa rasain gimana kondisi gue sendiri. Kalau gue keluar hari ini, berarti gue merasa emang lagi fit aja. Gue kabur karena izin pun pasti nggak diizinkan. Lagian gue ambil kesempatan langka, asal lo tahu aja."
Ayla masih terdiam. Merasa serba salah. Tadi ia menyalahkan Jodi yang kabur seenaknya. Tapi kini Jodi malah berkata-kata begitu, membuat Ayla merasa bersalah karena sudah menyalahkan Jodi.
"Lo nggak mau tahu apa kesempatan langka yang gue maksud?" tanya Jodi.
Ayla seketika menggeleng. Ayla bahkan tak memikirkan hal itu sama sekali tadi. Karena fokusnya adalah pada rasa bersalah yang serba salah itu.
"Beneran lo nggak mau tahu?" Jodi langsung heran. Padahal ia pikir, Ayla akan penasaran.
"Maksudnya, gue pengin tahu tapi fokus gue belum ke situ."
"Yah ... lo pasti nyesel deh karena nggak fokus ke situ." Jodi jadi jengkel.
"Yah ... kok lo malah jadi sewot! Ya udah, buruan kasih tahu sekarang, kesempatan langka apaan?"
"Nggak jadi ah. Gue udah keburu males bahasnya."
"Kok malah jadi lo yang ngambek, sih, Jod. Harusnya kan gue yang ngambek. Karena udah terlibat dalam situasi yang sulit." Ayla berusaha membela diri. "Ya udah, buruan kasih tahu aja. Emangnya kita mau ke mana?" Ayla bertanya tentang tujuan mereka sekali lagi.
"Ke Jurrasic World."
"Emang di Kediri ada Jurrasic World?"
"Emang gue bilang mau ke Kediri?"
"Jod, lo nggak gila, kan? Jurrasic World adanya di Malang, Jod."
"Ya emang. Rugi lah, naik bus antar kota, tapi tujuannya cuman tetap di dalam kota. Udah lama gue nggak ke sana. Mau refreshing. Sumpek."
Ayla kini tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia benar-benar sudah kehilangan cara untuk berkomunikasi dengan seseorang di sebelahnya itu.
***
Di Rumah Sakit Medika Mulya, Kediri. Dokter Dayanti menuju kamar pasien kesayangannya. Dia terkejut saat tahu bahwa kamar itu kosong. Ada sebuah amplop di atas ranjang.
'Dear Everyone who find this later,
Please jangan terkejut. Aku keluar sebentar buat refreshing. Jadi jangan dicari ya. Aku janji bakal balik sebelum maghrib.
Sincerly,
Jordiaz Al-Gantengi Putra Aditya'
Seakan tidak peduli dengan pesan Jodi 'please jangan terkejut', Dokter Dayanti langsung kelabakan -- tentu saja, bukan. Saat dia akan mencari suster yang jaga tadi pagi, dia bersimpangan dengan Mbah Jum dan Pak Muklas yang sepertinya juga baru datang.
"Dokter, Dayanti." Mbah Jum menyapa sang Dokter yang seakan sudah kehilangan sifat anggunnya.
Dokter itu tampak begitu panik. Membuat Mbah Jum dan Pak Muklas juga jadi ikut panik. Pikiran mereka langsung mengira bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk pada Jodi.
Dokter Dayanti Menarik napas panjang. Lalu menghembuskannya pelan. Dia berusaha tenang agar bisa menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin. "Bapak, Ibu. Maafkan kami, tapi ini benar-benar di luar kendali kami. Tapi saya mohon anda berdua tenang dulu."
Dokter Dayanti berkata supaya mereka tenang, tapi ia sendiri tak bisa tenang. Mana bisa Mbah Jum dan Pak Muklas jadi tenang juga.
"Iya, tapi ini sebenarnya ada apa, Dok?" tanya Pak Muklas kali ini.
Dokter Dayanti benar-benar bingung bagaimana harus menjelaskan. Yoga yang rutin ia Lakukan sepertinya jadi tidak berguna. Ketika menghadapi situasi genting, tetap saja ia panik. "Jodi ... dia pergi. Saya nggak bisa menemukan dia di kamarnya. Saya hanya menemukan surat ini."
Pak Muklas mengambil alih surat itu. Kemudian membacanya dengan suara keras. Supaya Mbah Jum juga bisa tahu apa isinya. Pak Muklas membacakan karena Mbah Jum tidak bisa membaca alias buta huruf.
Mbah Jum langsung menangis sesenggukan saat itu juga. Mbah Jum berusaha menenangkan wanita itu dengan mengelus punggungnya.
Dalam sekejap, berita menghilangnya Jodi sudah menyebar ke seantero rumah sakit. Semua orang berusaha mencarinya.
"Bagaimana kalian bisa kecolongan sih?" tanya Dokter Dayanti pada kedua suster yang ditugas khususkan untuk menjaga pavilion tulip.
"Maafkan kami. Tapi kami benar-benar tidak tahu saat pasien keluar. Mungkin waktu itu sedang jadwal sarapan! Atau mungkin justru sebelum itu."
"Tapi kan bisa gantian, nggak perlu sarapan bareng, kan?"
"Iya, kami gantian. Tapi entah mengapa kami nggak tahu sama sekali saat pasien pergi."
"Lalu siapa yang giliran jaga setelah kalian?"
"Kosong."
"Nah ini dia." Dokter Dayanti tidak tahu harus berkata apa lagi. "Meskipun kosong kan seharusnya para suster curiga ada pasien lalu lalang. Ini malah keluar dibiarkan saja."
"Lalu bagaimana, Dokter?" Mbah Jum semakin panic. Ia sedih dan khawatir, takut terjadi apa-apa pada Jodi.
"Tenang, Mbah Jum. Iya, kita semua khawatir. Tapi kita juga harus percaya sama Mas Iyaz. Dia bilang, dia hanya keluar untuk healing. Sebelum Maghrib dia akan kembali."
"Gimana nggak khawatir, Muklas? Gimana kalau di luar sana terjadi apa-apa sama Mas Iyaz?"
"Ya semoga aja nggak."
Dokter Dayanti nampak begitu menyesal. Begitu merasa bersalah, meski ini juga bukan salahnya. "Bapak dan Ibu tenang saja ya. Kami semua akan tetap berusaha mencari Jodi. Saat ini tim keamanan masih memeriksa CCTV rumah sakit. Pasti tadi saat Jodi kabur, terekam oleh kamera CCTV." Sang dokter berusaha sedikit menghilangkan kepanikan mereka.
Meski ia tahu, usahanya tak terlalu berguna. Karena tentu saja, Mbah Jum dan Pak Muklas tetal khawatir pada Jodi.
"Semoga tim keamanan segera tahu ke mana Mas Iyaz pergi ya, Dok. Sehingga kita tahu ke mana harus cari Mas Iyaz."
Dan Dokter Dayanti pun hanya bisa mengangguk.