Tale 80

1115 Words
Mbah Jum masih berusaha menyuapi si bos kecil, yang urung jua mau makan dengan benar. Sudah dua hari berlalu, keadaan Jodi belum kunjung membaik. Terlebih ia tidak mau makan. Ia nampak semakin kehilangan berat badan, hanya dalam kurun waktu dua hari saja. "Ayo dong, Mas Iyaz. Mas Iyaa harus makan, biar cepet pulih tenaganya. Mbah Jum sedih kalau Mas Iyaa sakit begini. Kalau Mas Iyaz nggak mau makan juga, nanti Mbah Jum suruh Bagio buat antar Mas Iyaz ke rumah sakit aja. Biar diinfus aja di sana." Jodi langsung melirik Mbah Jum. Sulit baginya untuk melakukan apa pun. Tubuhnya lemas, Tenaganya terkuras. Ia ingin makan, tapi setiap suapan yang masuk ke mulutnya langsung membuatnya mual. Ia sebenarnya kasihan pada Mbah Jum yang terus mengkhawatirkan dirinya. Tapi ya mau bagaimana. Lebih kasihan lagi jika Mbah Jum harus membersihkan muntahannya. Tak tega dengan Mbah Jum yang terus memohon. Juga takut dengan ancaman akan dibawa ke rumah sakit, Jodi pun akhirnya terpaksa membuka mulutnya. Langsung muncul senyum cerah di wajah wanita renta yang dipenuhi keriput itu. "Alhamdulillah ... nah ... gitu dong, anak baik. Makan yang pintar." Mbah Jum langsung menyuapkan seujung sendok makan bubur halus itu ke mulut Jodi. Jodi berusaha menahan untuk tetap baik-baik saja. Benar dugaannya, mual segera menyambutnya. Ia memejamkan mata. Berusaha mengabaikan gelombang rasa mual itu. Menganggapnya tidak ada. Jodi menarik napas dalam, dengan cepat mengunyah, dan menelan bubur itu. Sayangnya gelombang rasa mual itu semakin membuatnya tersisa. Jodi menutup mulutnya dengan tangan. Berusaha tidak muntah. Mbah Jum langsung panik. Ia berusaha memberi instruksi pada Jodi untuk mengurangi rasa mualnya, sambil mengelus-elus punggung bagian atas sang tuan muda. "Tarik napas yang dalam Mas Iyaz. Telannya pelan-pelan aja. Ayo, tarik napas." Mbah Jum memberi instruksi dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak main-main ketika mengatakan ia sedih jika Jodi sakit. Ia benar-benar sedih, tanpa dibuat-buat. Meskipun Jodi ini tidak ada hubungan darah dengannya, tapi ia sudah merawat anal ini sejak Jodi berusia 1 minggu. Bonding yang terbangun di antara keduanya bahkan melebihi hubungan Jodi dengan orang tua kandungnya sendiri. Mbah Jum sudah menganggap Jodi seperti cucunya sendiri. Cucu yang begitu ia kasihi, begitu ia sayangi. Begitu ingin ia lindungi dari segala kesakitan. Syukur lah, Jodi berhasil menelan sesuap bubur itu. Mbah Jum sangat senang, akhirnya bisa masuk meski hanya sesuap. Itu pun tidak penuh satu sendok. Setidaknya itu sudah sangat berarti untuk menyumbangkan energi dalam tubuh Jodi, supaya tidak lemas lagi seperti sekarang. Mbah Jum sebenarnya heran, kenapa Jodi bisa sakit sampai seperti ini. Ia pikir Jodi hanya masuk angin karena kelelahan setelah pertandingan kemarin itu. Tapi perasaan Mbah Jum sangat tak enak. Ia merasa, sesuatu yang buruk akan terjadi, meski ia tak mau. Terdengar suara pintu yang diketuk. Baik mbah Jum atau pun Jodi sama-sama langsung memandang ke arah pintu. Siapa itu? Yang jelas pasti bukan Pak Muklas atau pun Mr.Bagie. Karena mereka tidak akan ketuk pintu dulu sebelum masuk. Terlebih setelah Mbah Jum dan dua orang itu sama-sama berbondong-bondong merawat Jodi yang sedang sakit. "Sebentar, Mbah Jum mau bukain pintu dulu ya, Mas." Jodi hanya mengangguk mengiyakan pamitan Mbah Jum. Jodi sendiri penasaran siapa yang datang. Semoga bukan dokter Dayanti saja lah. Bisa-bisa Jodi mati sekarang saking terkejutnya jika itu yang datang memanglah dokter Dayanti. Mata Jodi mengawasi setiap pergerakan mbah Jum. Sampai wanita itu tengah membuka pintu. Meski ternyata yang datang bukan dokter Dayanti, tapi tetap saja kedatangan tiga orang itu membuat Jodi terkejut. "Lho ... Mas Fariz ... Mas Iput!" Mbah Jum langsung mengenali dua di antara mereka. "Lho ... ini siapa? Ada mbak cantik ikut juga." Mbah Jum turut menyambut Ayla dengan ramah. Ayla pun langsung tersenyum. "Sayang Ayla, Bu," jawab gadis itu. "Saya teman sekelas Jodi juga, sama seperti Fariz dan Iput." "Oh, iya-iya." Mbah Jum mengangguk-angguk mengerti. Wanita itu tersenyum sendiri. Karena ia menganggap Ayla ini adalah pacarnya Jodi. Sejauh ini tidak pernah ada satu pun teman wanita Jodi yang main ke rumah. Baru Ayla ini. Jadi wajar jika Mbah Jum berpikir terlalu jauh sampai ke situ. "Silakan masuk ... monggo." Mbah Jum langsung mempersilakan mereka semua masuk. "Ini lho, Mas Iyaz-nya sakit. Susah makan. Ayo, Mbak Ayla pasti bisa bujuk Mas Iyaz buat mau makan. Ayo, Mbak." Mbah Jum tanpa ragu menggamit tangan Ayla untuk masuk duluan ke kamar Jodi, mendahului Iput dan Fariz. Dua remaja laki-laki itu hanya terkikik, tahu apa yang sedang dipikirkan Mbah Jum. Dan tahu bagaimana senangnya Ayla saat ini. Karena akhirnya ada juga orang yang menganggap gadis itu sebagai pacarnya Jodi. Setelah masuk, seketika muka cengengesan Fariz dan Iput langsung sirna. Terlebih air muka Ayla, yang sempat senang sebentar, kini kembali menyimpan sejuta kekhawatiran seperti sebelumnya. Bahkan mungkin lebih parah. Hati mereka mencelos melihat Jodi terbaring lemah di atas ranjangnya, terlihat kurus dan pucat. Terlihat tak berdaya. "Mas iyaz ... ini lho ada Mbak Ayla. Ayo, Mas. Yang semangat. Disuapin makan sama Mbak Ayla, ya." Mbah Jum dengan pikiran tulus nan polosnya, langsung bicara pada intinya sesuai dengan anggapannya, bahwa Jodi pasti akan lebih semangat, jika disuapi oleh orang yang dicintainya. Jodi hanya tersenyum menyambut kedatangan teman-temannya. Fariz dan Iput langsung lepas sepatu, naik ke atas ranjang Jodi. Sementara Ayla yang merasa canggung, masih mengikuti Mbah Jum yang menggelandangnya mendekat pada ranjang Jodi. Mbah Kum memberikan mangkuk berisi bubur itu pada Ayla. "Ini Mbak Ayla. Coba Mbak aja yang suapin Mas Iyaz, ya. Supaya mau makan lebih banyak. Lebih semangat buat sembuh. Saya mau ke bawah dulu." Ayla tidak berdaya, tidak kuasa untuk menolak juga. Ia benar-benar tidak tega melihat Jodi yang semakin kurus. Dan tampak benar-benar sakit. Ia akan melakukan segala hal yang ia bisa, untuk membuat Jodi benar-benar mau makan lebih banyak. Kaki renta Mbah Jum melenggang keluar dari kamar ini. Dan di saat itu lah, percakapan antar sesama teman sepermainan itu dimulai. "Jod ... astaga ... kenapa malah tiba-tiba sakit lagi?" Fariz bertanya terlebih dahulu. "Lo sakit begini, kita khawatir. HP lo dibawa dong. Jangan dianggurin. Jawab pertanyaan dari kita-kita. Biar kita nggak parno!" Iput malah mengomeli Jodi. Jodi lagi-lagi hanya tersenyum. "Kalian tuh kenapa, sih? Udah tahu Jodi lagi sakit, malah kalian omelin. Sahabat macam apa modelan kalian itu!" Ayla langsung berada pada garda terdepan dalam hal membela Jodi. Iput dan Fariz saling menyenggol. Kemudian tersenyum-senyum karena ingat Mbah Jum tadi yang menganggap Ayla sebagai pacar Jodi. "Cie ... yang dibilang Mbah Jum adalah pacarnya Jodi ... cie ...." Fariz dan Iput seperti biasa sangat kompak dalam hal menggodai Ayla. Ayla hanya diam, meski ia sedang menahan malu setengah mati. Ia harus fokus pada tujuannya, yaitu membuat Jodi makan banyak. Ayla hanya langsung duduk di pinggiran ranjang Jodi, di sebelah sang pujaan hati itu lebih tepatnya, dan bersiap menunaikan perintah Mbah Jum, untuk menyuapi Jodi makanan ini sampai habis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD