Tale 48

1372 Words
Garlanda terbangun dalam ruangan serba putih. Ia mengernyit karena rasanya sangat silau. Ini pertama kalinya ia terbangun setelah sekian lama. Garlanda akhirnya kembali merasakan menjadi diri sendiri. Merasakan hidup dalam rasanya sendiri lagi. Garlanda sampai memandangi kedua tangannya ... kedua kakinya .... Saking rasanya tam percaya, telah bisa kembali dalam tubuhnya sendiri. Hanya saja ... ini di Mana? Kenapa tempat ini sangat asing? Ini jelas bukan kamarnya. Jelas juga bukan gudang di bawah tangga, tempat terakhir kali ia disekap oleh orang tuanya sendiri. Apa saja yang sudah Garlanda lewatkan selama ia tertidur? Ia telah dipindahkan ke mana ini? Ke mana semua orang? Kenapa di sini begitu sepi? Kenapa tidak ada suara? Hanya terdengar gemerincing suara rantai tiap kali ia bergerak. Apa? Suara rantai? Mendadak kedua kaki Garlanda terada sangat berat. Ia menatap kedua kakinya sekali lagi. Dan Garlanda baru sadar, ternyata kedua kakinya telah dirantai. Ukuran rantai itu begitu besar. Hingga untuk sedikit melangkah saja rasanya sangat berat. Ya Tuhan ... Apa yang sudah terjadi sebenarnya? Kenapa ini semua terjadi pada Garlanda? Dosa apa yang telah ia lakukan, hingga layak mengalami segala derita yang sudah ia rasakan dalam hidupnya selama ini? Garlanda begitu ingin bangun selama ini. Karena ia ingin kembali bicara pada kedua orang tuanya, pada saudara - saudaranya, tentang apa yang sesungguhnya ia alami. Tapi jika begini keadaannya ... apakah masih mustahil pada Garlanda untuk melakukan niatan itu? Sementara di sini tidak ada siapa - siapa. Hanya dirinya seorang diri. Garlanda coba menatap ke segala arah. Ia coba melihat setiap inci dinding yang mengelilingi ruangan ini. Kenapa di sini sama sekali tidak ada Pintu? Tempat apa ini sebenarnya? Tak ingin menyerah, dengan langkah tertatih nan berat, juga diikuti gemerincing suara rantai, Garlanda mulai menyusuri setiap inci ruangan. Kedua tangannya meraba pada dinding putih. Ia berharap akan menemukan sebuah pintu tersembunyi. Karena Garlanda yakin, tidak mungkin sebuah bangunan didesain tanpa pintu. Jika memang tempat ini tidak memiliki pintu, lalu lewat mana Garlanda dimasukkan ke sini? Jadi, pasti Garlanda akan menemukan pintu itu. Ia meyakini keyakinannya. Berharap Tuhan akan menolongnya. Sayangnya Garlanda kembali diserang rasa kantuk yang teramat sangat. Garlanda coba menggeleng. Coba mengerjap - ngerjapkan matanya dengan kasar. Berharap rasa kantuk itu akan segera hilang. Ayo lah, ia bahkan baru saja bangun dari tidur panjangnya. Ia harus Mulai berusaha menjalani kehidupannya sendiri, bukannya terus menyusup dalam kehidupan orang lain, dan merasakan setiap penderitaan yang mereka rasakan. Hingga menambah taraf derita yang menjadi beban hidupnya sendiri. Sayangnya, ternyata Garlanda memang terlalu payah untuk melawan rasa kantuknya sendiri. Garlanda pun jatuh tersungkur menghantam dinginnya lantai, dengan mata terpejam rapat. Dan saat terbangun, ia sudah bukan dirinya. Melainkan ia berada dalam tubuh seseorang bernama Bae, yang tinggal di negeri matahari terbit, Jepang. *** Bae sudah berniat melupakan segalanya saat ia sampai Jepang. Bahkan semua kontak teman - temannya di Indonesia telah dihapus. Ia tak ingin mengingat apapun lagi. Fokusnya adalah membuka lembaran baru di Jepang bersama Mae dan Nae. Tak ada yang tahu akan begini jadinya. Periode sebelum dan sesudah perceraiannya dulu, Bae sering menganggap dirinya kelelahan. Pusing dan mual yang ia rasakan, ia simpulkan sebagai gejala kelelahan itu. Tiga bulan di sini, ia baru tahu bahwa yang ia alami adalah kehamilan. Ken menceraikannya karena alasan menginginkan keturunan. Seandainya Ken tahu ia hamil, apa mereka bisa rujuk? "Bae ... jangan pernah berpikir untuk kembali pada Ken!" peringat Bae pada dirinya sendiri. Awalnya Bae memang berpikir tentang itu semua. Ia ingin memberitahu Ken tentang keadaannya. Tapi ia selalu mengingat pesan pada dirinya sendiri itu. Hingga saat ini usia kandungannya sudah 9 bulan. Sebentar lagi ia akan melahirkan. Bae tak menghadapi kehamilan ini sendirian. Mae dan Nae selalu ada untuknya. Ia bertekat akan menjaga anaknya dengan baik. Kelak anaknya itu harus menjadi anak yang baik dan bertanggung jawab. Bae akan merawatnya dengan penuh cinta. Konsultasi bulanan yang ia lakukan dengan dokter Simon memberinya banyak pengetahuan. Awalnya ia menganggap dirinya sendiri aneh. Nyatanya dokter Simon menjelaskan bahwa itu bukan lah suatu keanehan. Saat dokter Simon datang ke apartemen, ia selalu membawa buku mengenai hal - hal yang berhubungan dengan kondisi Bae. Ternyata bukan hanya Bae yang mengalami kondisi seperti ini. Jadi aneh bukan lah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisinya. Melainkan spesial. "Pemalas, kau baru turun jam segini!" omel Mae saat melihat Bae dengan pelan menuruni tangga. Bae tak bisa buru - buru karena ia membawa satu manusia lagi di perutnya. Nae hanya tersenyum kecil melihat kakaknya yang terlihat imut dan menggemaskan dengan perut besarnya. Sampai di bawah, Nae segera menggeserkan kursi untuk Bae. Adiknya itu memang manis sekali. Berbeda dengan kakaknya si Mae yang agak bar bar -- tapi bisa diandalkan. "Makasih, Nae!" ungkapnya seraya duduk di kursi itu. "Nae ... harus kubilang berapa kali. Jangan terlalu memanjakannya!" omel Mae. "Aku hanya menggeserkan kursi." "Kau lupa, hah? Kata dokter Simon, dia harus banyak bergerak agar saat melahirkan nanti gampang." "Oh ... ayo lah .... Aku bahkan hanya menggeserkan kursi, Mae." Bae berakhir menggeleng heran sambil menggigit rotinya. Kakak dan adiknya ini tak pernah bosan meskipun sudah setiap hari berdebat seperti itu. PRAK .... Bunyi apa itu? Ketiga bersaudara itu saling berpandangan. Hingga Bae menyadari ada cairan hangat yang membasahi celananya. Ia memandang ke bawah. Ya ... memang basah dan cairan itu cukup untuk menggenangi karpet. Mae mencuri pandang ke bawah meja. Nae bahkan tak bisa menelan rotinya yang sudah jadi bubur di mulutnya. "J - jangan katakan ketubanmu pecah, Bae." "Dengan sangat menyesal aku harus mengatakannya." "Apa - apaan? Bahkan kau belum merasakan kontraksi?" sela Mae. "Kapan aku bilang bahwa aku belum merasakannya? Bahkan dari semalam aku sulit tidur karena kontraksi itu," jawab Bae santai, masih sempat pula ia menggigit rotinya lagi. Sebelum perutnya kembali mengencang. Kontraksi lagi. Bae menghentikan aktivitas mengunyahnya sebentar, menunggu sampai kontraksinya berakhir. Mae dan Nae secara intens memperhatikan saudara mereka itu. Kontraksi selesai, Bae akhirnya menggeleng menggeleng. "Apa yang kalian lakukan? Apa perlu aku menelepon dokter Simon sendiri?" omelnya. Mae langsung kalang kabut mengambil ponselnya, mendial nomor dokter Simon. Saat dokter Simon datang, ia terlihat lebih panik dari Mae dan Nae. Ia bahkan heran melihat Bae yang masih santai menikmati sarapannya. Ia bahkan masih bisa tersenyum manis pada dokter Simon. "Apa tidak sakit?" tanya dokter Simon seketika. "Sakit sih, tapi apa aku harus menunjukkannya secara frontal?" jawab Bae sekenanya. "Bahkan kau bisa makan lahap seperti itu." "Apa salahnya? Aku butuh tenaga banyak setelah ini, Dok!" jawab Bae. "Auh ...." Bae menjatuhkan rotinya dan meralih memegangi perut. Dokter Simon, Mae, dan Nae berlomba memegangi lengan Bae. "Kau sudah kenyang belum?" tanya dokter Simon. Bae mengangguk di sela rasa sakitnya. "Baik lah kalau begitu ayo naik, biarkan aku memeriksamu." Mae mengangguk lagi. Rasa sakitnya meningkat jauh dibanding sebelumnya. *** Bae terbaring di ranjang dengan posisi terlentang. Dokter Simon dengan telaten melepaskan celananya yang basah. Dulu Bae sangat malu tiap kali diperiksa oleh dokter Simon. Tapi alah bisa karena biasa. Toh ia diperiksa demi kebaikan janin dan dirinya sendiri. Dokter Simon menyibakkan kemeja Bae sebatas d**a. Membiarkan perut besarnya terekspos sempurna. Bahkan dokter Simon bisa dengan jelas melihat guratan strecthmark di sekitar perut Bae. Dokter Simon menekuk satu persatu kaki Bae dengan jarak lebar. Dengan begini, dokter Simon bisa melihat liang lahir Bae yang sudah terbuka cukup lebar. "Pembukaan enam. Ya Tuhan ... kau bahkan tidak mengeluh sama sekali sejak semalam?" Dokter Simon terheran - heran. Pun demikian Mae dan Nae. "Katamu prosesnya akan sangat lama," jelas Bae dengan napas tercekat. "Kalau aku sudah bermanja - manja sejak kemarin, maka perkataanmu akan sangat benar." "Dasar ... tapi apa benar tidak sakit?" PLAK. Bae mengeplak kepala dokter Simon. "SAKIT BODOH!" umpatnya. *** Saat ini Bae berbaring miring. Menunggu pembukaannya sempurna. Bahkan baru pembukaan 8 sekarang, tapi rasa sakitnya sangat jauh berbeda dengan satu jam yang lalu. Saat dokter Simon pertama kali memeriksanya tadi. Jarak kontraksi semakin dekat, rasa mulas berlebihan ini menyiksanya. Bae tak lagi menghiraukan candaan adik dan kakaknya. Well, mereka mencoba menghibur. Tapi menghibur di saat seperti ini, justru membuat Bae ingin sekali mematahkan leher mereka. Entah kenapa Bae mendadak melankolis. Ia kembali ingat pada mantan suaminya. Bukankah di saat seperti ini ia harusnya mendapat dukungan penuh dari suami? Bae kembali mebayangkan bagaimana jadinya bila Ken tahu ia hamil. Lalu mereka rujuk. Bae bisa merasakan air matanya menetes. Namun ia segera menghapusnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD