Tale 49

1106 Words
Dokter Simon kembali ke kamar ini sambil tersenyum. Ia disambut oleh brondongan pertanyaan dari Mae dan Nae. Kedua saudara Bae itu ingin semua segera berakhir. Mereka hanya tak tega melihat Bae kesakitan. Bahkan mereka bisa melihat setiap otot perut Bae mengencang. Dan juga liang lahir Bae yang berdarah dan penuh lendir. Dokter Simon membimbing Bae untuk kembali terlentang dan kembali memposisikan kakinya terbuka lebar. Ia dengan pelan memeriksa bagian bawah perut Bae. Juga memeriksa pembukaan Bae yang sudah hampir sempurna. "Nae ... kau duduk lah di belakang kakakmu, posisikan dia setengah duduk!" seru dokter Simon. Nae segera mengangguk. Ia langsung bisa merasakan tubuh kakaknya yang basah dengan keringat. Ia belum pernah melihat kakaknya kesakitan seperti ini sebelumnya. Mengingat Bae itu bukan tipe orang yang suka mengeluh saat sakit. Maka jika Bae sampai memperlihatkan rasa sakitnya seperti ini, berarti rasa sakit yang menyerangnya tak main - main. "Mae ... kau tenangkan dia!" Mae mengangguk. Situasi semakin menegangkan. Tanpa bertanya, mereka sudah tahu, inilah saatnya. Perjuangan Bae yang sebenarnya baru dimulai. Bae tak kuasa menahan diri untuk tidak berteriak. Sejak dorongan pertama, kontraksinya semakin menguat. Di bawah sana rasanya seperi akan robek. Bae tak bisa bernapas teratur, tubuhnya menggelinjang hebat di pangkuan Nae. Mae meghapus peluh di kening Bae. "Dok ... aku tidak sanggup," ucap Bae untuk ke sekian kalinya. Ia menyerah. Ia tak bisa melanjutkan proses persalinan ini. Bahkan tubuhnya sudah lemas, tak bisa lagi mengejan sekuat tadi. "Bicara apa kau, hah? Kau sudah membawanya bersamamu selama 9 bulan, dan sekarang ia akan keluar. Kau bilang kau menyerah?" "Aku tidak bisa." Bae menangis. Ia merasa sudah akan mati. "Jangan bicara begitu. Berusaha lah lebih keras!" Bae menurut, kontraksi berikutnya datang, ia kembali mengejan. Ia kerahkan seluruh tenaganya. Perlu sekitar 1,5 jam hingga akhirnya kepala bayi itu menyembul, tertahan di liang lahir. Bae tak main - main dengan ucapannya. Sepertinya ia memang sudah tak sanggup. Bahkan dengan banyaknya darah yang keluar, tubuh Bae terlihat pucat pasi. Bae mengejan terlalu keras, membuat jalan lahirnya terkoyak cukup lebar. Kepala bayi itu sudah keluar sepenuhnya. Menggantung di liang lahir. Berusaha membantu Bae dalam proses persalinannya. Mae tak sanggup untuk melihat penderitaan adiknya. Kini Bae bahkan sudah tak dapat merasakan sakitnya. Ia hanya bersandar lemah pada Nae. Dokter Simon sedang berusaha memutar kepala anak Bae menyamping. "Aku akan menariknya, dorong lah perlahan saja." "Nhhhhgh ... errgggghhh ...." "A bit harder ...." "Mhnnnnnh ... ergh ...." Akhirnya bayi itu terlahir. Bae sempat melihatnya sekilas. Anaknya perempuan. Ia tersenyum sebelum kegelapan menenggelamkannya. Sesuatu seperti melepaskan diri darinya. Sosok yang mirip dengannya, namun nampak tak nyata. Dijemput sesosok lelaki bersayap, yang kemudian membawanya terbang tinggi. *** Garlanda berharap ia akan ikut mati saja bersama Bae. Bukan kah memang lebih baik mati, dari pada menjalani hidup yang seperti kehidupan yang ia jalani selama ini? Sayangnya Tuhan tidak mengabulkan harapannya itu. Garlanda masih hidup. Dan lagi - lagi, ia tidak diizinkan masuk ke dalam raganya sendiri. Melainkan raga orang lain. Kali ini, Garlanda masuk dalam kehidupan seseorang bernama Hwa. *** Lim dengan sabar mengelus perut Hwa dengan teratur. Keluhan sakit terus terdengar dari bibir anaknya itu. Miris. Tentu saja. Siapa yang tega melihat anak sendiri kesakitan seperti itu? Berjuang sendirian melawan rasa sakitnya. Lim sangat ingat rasanya. Dulu saat ia melahirkan Hwa. Bahkan saat itu ia sudah 20 tahun, namun kesakitan luar biasa. Bagaimana dengan anaknya yang baru 12 tahun? Sekali lagi Lim menghapus air matanya. Sesekali ia mengelus perutnya sendiri. Adik - adik Hwa di dalam sana, sebentar lagi juga akan lahir. Siapa yang menginginkan keadaan seperti ini? Niat mereka pergi ke sini adalah untuk bersenang - senang. Bukannya malah terjebak dalam hutan seperti ini. Semua cara sudah mereka pakai untuk mencari bantuan. Namun nihil. Hingga sudah kurang lebih satu bulan ini mereka menetap. Hwa sudah merasakan kontraksi sejak semalam. Sudah empat jam berlalu. Pembukaannya belum juga lengkap. "Ma ...," rintih Hwa. "Iya, Sayang. Bertahan, ya. Kurang sedikit lagi pembukaannya akan lengkap." "Ma ...," lirih Hwa lagi. Lim kembali menangis dibuatnya. Kali ini, Kang suami Lim mengusap punggungnya dari belakang. Semuanya menyesal. Dan benar kata pepatah. Penyesalan selalu terjadi di belakang. Andai saja dulu mereka tak gegabah. Andai dulu mereka tak buru - buru mempertemukan Kal dan Hwa. Dan andai mereka tak pernah ke sini. Setidaknya Sungmin bisa menjalani c - section. Agar ia tak perlu kesakitan seperti ini. Namun semuanya sudah telanjur. Semua sudah terjadi. Sekitar empat jam kemudian, Hwa memulai perjuangan hidup dan matinya. Kang duduk menopang punggung Hwa. Menguatkannya untuk melahirkan putra mereka. Sementara Lim yang menangani kelahiran ini. Hwa mengejan dan mengikuti intruksi ibunya dengan baik. Ia menangis. Itu sudah pasti. Ia masih anak - anak. Semua tahu itu. Dan tidak seharusnya ia sudah merasakan hal ini. Bahkan orang dewasa sekalipun jarang ada yang bisa melalui hal ini dengan mudah. "Ergghh ...." Hwa mengejan lagi. Liang lahirnya terasa seperti terbakar. Seperti ada sesuatu yang merobeknya dari dalam. Bersamaan dengan itu, darah bercampur sisa ketuban mengucur deras dari dalam sana. Dibarengi dengan menyembulnya kepala bayi Hwa. "Kau melakukannya dengan baik, Sayang. Kepala baby sudah terlihat. Terus mengejan seperti itu, ya!" Lim memberi semangat buah hatinya. Hwa ingin sekali manjawab ibunya. Namun rasa sakitnya terlalu nyata. Dan menyita semua perhatiannya. Dilihatnya perutnya sendiri yang terus mengencang sedari tadi. Rasanya sakit sekali. Napasnya bahkan sudah tak sekuat tadi. Namun Hwa terus berusaha, ia menginginkan bayi itu. Ia lah yang berusaha keras mempertahankan bayinya. Maka sudah tanggung jawabnya untuk melahirkannya. Kedua tangan Hwa mencengkeram lengan Kang dengan erat. Young ayah Hwa, dengan setia menunggui mereka. Ia juga tak tega. Tapi apa ia akan lebih tega dengan membiarkan anaknya menderita seperti itu? Sekitar satu jam berlalu. Akhirnya Hwa berhasil melalui bagian tersulit. Kepala bayinya sudah lolos. Lim membiarkan anaknya istirahat sebentar. "Kau hebat sekali, Sayang. Baby sepertinya sangat sehat. Ia gemuk," ucap Lim. Hwa tersenyum mendengarnya. Lim menarik tangan Hwa untuk memegang kepala bayinya di bawah sana. Seperti mendapat asupan energi. Hwa senang sekali merasakan rambut lebat anaknya. Ia pun menangis. "Kang ... bayi kita," lapornya pada Kang. Kang mengangguk. Ia hanya terdiam sedari tadi. Bukannya ia tak peduli. Ia hanya tak tahu harus bagaimana. Ia merasa bersalah karena membuat Hwa mengalami semua ini. Selesai istirahat, Hwa melanjutkan perjuangannya. Meski tak sesulit bagian kepala, namun juga perlu waktu untuk mengeluarkan bagian bahu ke bawah. Lim membantu buah hatinya dengan sedikit memutar tubuh bayi itu. Dengan posisi ini pastinya akan lebih memudahkan Hwa. Satu dorongan kuat terakhir, Hwa berhasil melahirkan bayinya. Lim segera meletakkan bayi itu ke d**a Hwa. Dengan tali pusat yang masih menghubungkan mereka. Bayi itu menangis keras sekali tak lama kemudian. Semua segera lega dengan ini semua. Hwa berhasil melewati ini semua dengan selamat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD