Garlanda kembali terbangun. Perasaannya kesal tak menentu. Ia masih ingin tidur, ingin melanjutkan mimpinya. Ingin melanjutkan hidup sebagai Jodi. Tapi ia bangun di saat yang tidak tepat.
Garlanda berusaha memejamkan kembali matanya. Ingin segera tertidur kembali. Tapi tidak bisa. Ia terbangun dalam keadaan sangat segar.
Kali ini ia sendirian di dalam sini. Tidak ada Suster ayla atau siapa pun. Garlanda tidak menyerah. Ia berusaha memejamkan matanya sangat lama. Tapi ia tetap tak bisa tidur lagi.
Garlanda benar-benar betah hidup sebagai Jodi. Meskipun ada sisi sakit dalam hidupnya, tapi ia memiliki sisi bahagia yang lebih besar, dengan dikelilingi oleh orang-orang yang sayang padanya. Terlebih sekarang orang tuanya pun sudah sangat akrab dan menyayanginya lebih dari apa pun.
Soal penyakit Jodi, itu bukan masalah bagi Garlanda. Orang tua Jodi yang kaya raya, pasti bisa membayar semahal apa pun biaya pengobatannya. Bahkan mereka pasti akan memilih pengobatan terbaik untuk putra mereka.
Ada kemungkinan ia akan sembuh. Tapi jika ternyata Jodi ditakdirkan berumur pendek, Garlanda sebagai Jodi tidak akan menyesali apa pun. Karena ia mati dalam keadaan penuh cinta.
Astaga ... baru kali ini Garlanda benar-benar betah berada dalam sebuah mimpi. Terlebih ia sudah menjalani hidup sebagai Jodi cukup lama. Ya ... meskipun itu hanya dalam mimpi.
Kesal karena tak kunjung tertidur lagi, Garlanda pun akhirnya bangun. Ia duduk, kemudian melepas infusnya perlahan. Ia lapar. Ia lihat di meja nakas ada makanan. Ia pun segera memakan makanan itu. Sembari membayangkan, suster Ayla lah yang tadi mengantarkan makanan itu untuknya.
Garlanda sebenarnya ingin suster Ayla ada di sana bersamanya. Terlebih di dalam mimpi, ia sudah lama tidak berjumpa dengan Ayla. Garlanda ... rindu.
Entah pada Ayla dalam mimpi. Atau Ayla di dunia nyata. Toh mereka sama saja. Terlampau mirip fisiknya.
Garlanda meletakkan nampan berisi makanan itu kembali. Sudah ia habiskan semuanya. Ia melihat ke sekeliling, dan masih lah hanya melihat warna putih saja.
Garlanda melihat bagian dinding di sudut. Ia ingat ketika sempat bangun waktu itu. Suster Ayla masuk lewat sana.
Garlanda pun berjalan menuju ke sana. Jalannya sedikit terseok-seok, karena sudah lama ia tidak berjalan. Hanya berbaring dalam tidur, menikmati mimpi.
Garlanda meraba bagian dinding itu. Dilihat dengan kasat mata, sama sekali tak ada celah dalam dinding itu. Bentuknya juga rata, seakan tak ada patahan sama sekali di sana.
Garlanda coba mendorong dinding itu, tapi tak bisa. Digeser ke kanan dan kiri juga tak bisa. Apa lagi ditarik. Mustahil ditarik karena tak ada knop sama sekali di sana.
Garlanda hampir putus asa. Ia sudah berbalik, ingin segera berbaring kembali ke brankar saja. Sembari berusaha tidur lagi. Siapa tahu ia bisa segera tidur lagi, kan? Biasanya juga begitu.
Memang dunia aneh. Saat Garlanda sangat ingin bangun, ia justru terus terjatuh dalam mimpi aneh. Tapi saat ia ingin tidur, matanya justru jadi segar, sama sekali tak mengantuk.
Baru juga berjalan beberapa langkah, Garlanda dibuat menoleh karena mendengar suara aneh dari arah belakang. Suaranya terdengar seperti besi yang digesek.
Kedua mata Garlanda membulat. Ternyata itu berasal dari dinding dengan pintu tak terlihat tadi. Iya, hal yang sama dengan yang tadi berusaha Garlanda buka.
Ada seseorang masuk dari sana. Seseorang yang memakai jubah putih khas seorang dokter. Semakin menyakinkan bahwa ia dokter, adalah dengan adanya stetoskop yang melingkar pada lehernya.
Yang membuat Garlanda terkejut adalah ... setahunya ... orang itu sama sekali bukan dokter. Melainkan ....
"Garland ... astaga ... Kamu sedang bangun rupanya!" Orang itu terlihat senang sekali mengetahui Garlanda sedang terjaga. "Syukur lah. Aku sudah sangat kangen sama kamu. Sudah lama nggak lihat kamu melek!"
Bukannya menanggapi sapaan ramah dari dokter itu, Garlanda justru menatap dingin orang itu. "Kenapa Papa ada di sini? Kenapa Papa mengenakan pakaian dokter? Sebenarnya ini di mana? Kenapa Papa mengurung aku di dalam sini?"
Garlanda pun meluapkan emosi dalam hatinya. Iya, laki-laki itu sama sekali bukan orang asing. Sama sekali bukan dokter bagi Garlanda. Karena orang itu adalah Radivan, ayahnya sendiri.
Padahal selama ini Garlanda pikir ia sedang ada di rumah sakit jiwa. Ia pikir orang tua dan ke-8 saudaranya sudah sangat tega mengirimnya ke rumah sakit jiwa, karena menganggapnya gila, akibat selalu bicara soal mimpi-mimpinya. Tapi ternyata ... bahkan Radivan ada di sini?
Jangan-jangan selama ini Garlanda ada di rumahnya sendiri. Hanya saja, dibangun sebuah ruangan khusus, untuk merawatnya. Dan Radivan sengaja mempekerjakan seorang suster, yaitu suster Ayla, untuk merawat Garlanda. Karena Radivan, dan semua anggota keluarganya yang lain, sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing.
"Tunggu Garland, saya bisa jelaskan. Kamu ...."
"Mau jelasin apa, Pa? Papa mau ngarang cerita apa? Apa sebegitu aib nya aku ini di mata Papa? Di mata Mama? Dan di mata kakak-kakak semuanya? Sehingga kalian mengasingkan aku? Ya, mungkin aku memang aneh. Aku selalu tertidur dan bermimpi aneh. Tapi apa Papa pikir, aku mau menjalani kehidupan seperti itu? Jika boleh memilih, aku mau terus berada di dalam mimpi saja. Sehingga nggak perlu merasakan sakitnya diasingkan oleh keluargaku sendiri!"
"Garland, tolong dengerin penjelasan saya dulu. Kamu selalu memanggil saya Papa setiap kali kita bertemu. Tapi itu nggak masalah bagi saya. Saya senang jika kamu menganggap saya adalah papa kamu. Maksud saya ke sini baik, saya mau cek rutin kondisi kamu. Untuk mengetahui perkembangan kamu."
"Papa nggak usah bicara omong kosong deh. Tentu saja aku panggil kamu Papa. Karena kamu memang lah Papa aku. Apa aku harus panggil kamu dengan nama saja? Radivan ... begitu?"
Garlanda yang sedikit ragu akibat ucapan Radivan tadi, sengaja membaca name tag yang tertempel di kemeja Radivan. Benar, namanya adalah Radivan. Orang ini adalah ayahnya. Tak mungkin ia salah mengenali ayahnya sendiri. Meskipun ia sudah berdandan menjadi seorang dokter sekali pun.
"Garland ... izinkan saya menjelaskan kembali. Meskipun saya sudah menjelaskan hal ini beberapa kali sama kamu. Mungkin masa lalu kamu itu terlalu menyakitkan, sehingga kamu terus dihantui olehnya dan menjadi trauma. Kemudian setiap melihat saya -- yang mungkin mirip dengan ayah kamu -- kembali menggugah trauma dalam diri kamu itu."
"Mirip kata kamu? Kamu bukannya mirip dengan papa aku. Tapi kamu memang papa aku. Lihat, nama kalian saja bahkan sama! Sudah lah ... aku ini mungkin memang aneh, terlahir dengan kelainan yang langka, lebih banyak menghabiskan hidup di dunia mimpi. Tapi aku ini tidak bodoh!"
"Garland ... saya ...."
"Tidak ... tolong jangan bicara sama saya lagi. Tolong Anda pergi sekarang!" Garlanda mendorong Radivan. Meski tak sampai terjatuh.
Radivan terdiam sebentar. Ia kemudian memutuskan untuk menuruti kata-kata Garlanda saja. Ia melenggang pergi dari sana.