Tale 111

1064 Words
Garlanda sendiri yang meminta untuk keluar. Garlanda juga yang ketakutan ketika hendak keluar. Suster Ayla sampai menarik tangannya. "Kenapa, Garland?" tanya wanita itu. Garlanda menghentikan langkahnya. "A-aku ingin keluar. Tapi aku ... takut. Apa tidak apa-apa kita keluar? Bagaimana jika nanti kamu dimarahi?" "Aku nggak peduli. Nggak apa-apa aku kena teguran, asal kamu nggak penasaran lagi, dan mau lebih kooperatif dalam menjalankan pengobatan. Aku akan melakukan segala hal, asal kamu sembuh, Garland." Suster Ayla mengatakannya dengan tulus, sepenuh hati. Membuat hati Garlanda bergetar. Rasanya sesak. Ia terharu. Tak pernah sekali pun dalam hidupnya, ia bertemu dengan seseorang yang rela berkorban untuknya seperti ini. Bahkan keluarganya sendiri pun tak seperti itu. Garlanda menyesal, karena tadi sempat menyalahkan suster Ayla. Sempat menuduhnya macam-macam. "Suster ... aku memang penasaran, sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku juga nggak mau kamu mengorbankan keselamatan kamu sendiri, demi aku. Tentu aku akan sangat merasa bersalah." Suster Ayla menggeleng. "Nggak apa-apa, Garland. Baik lah, kalau begitu aku akan mengatakan, bahwa aku nggak akan dapat teguran. Kenapa? Karena kita nggak akan ketahuan." "Memang ada jaminan bahwa kita nggak akan ketahuan? Gimana kalau ternyata nanti kita ketahuan?" Suster Ayla tersenyum. "Tenang, Garland. Aku bisa memastikan, kita nggak akan ketahuan. Aku sudah hafal benar bentuk tempat ini. Juga sudah hafal di mana saja titik buta kamera cctv. You can count on me." Garlanda terdiam. "B-baik lah kalau begitu. Tapi jika ada kemungkinan ketauan, kita harus langsung kembali." Suster Ayla tersenyum, kemudian mengangguk. Dan ia kembali menarik tangan Garlanda untuk keluar lebih jauh dari tempatnya semula. Ketika keluar, ternyata segala hal di sini masih lah didominasi oleh warna putih. Mereka berhenti di sebuah loker berjajar. Suster Ayla membuka salah satunya. Mengambil sebuah pakaian seperti jubah berwarna mint. Ia mengambil dia helai, ia berikan pada Garlanda satu. "Silakan dipakai, Garland." Garlanda sedikit bingung. Tapi ia mengamati cara suster Ayla memakainya. Ia mengikuti cara suster Ayla itu. Jubah itu ternyata dilengkapi dengan hoodie. Melihat suster Ayla juga memakai hoodie itu, Garlanda pun mengikutinya. Bukan hanya jubah menjuntai sampai ke lantai itu, tapi juga ada sebuah benda asing. Bentuk nya seperti kaca mata, namun bagian depannya sangat lebar hingga menutupi seluruh wajah. Ketika Garlanda sentuh, ternyata bagian transparan pada bagian depan benda itu terbuat dari mika. Suster Ayla memakai benda itu selayaknya kaca mata. Dan benar, bagian mika di depan, cukup untuk menutupi seluruh wajah. Dan lagi-lagi, Garlanda mengikuti apa pun yang suster Ayla lakukan. "Oke, kita sekarang sudah siap untuk keluar, Garland. Ayo, ikut aku!" Suster Ayla berjalan duluan. Garlanda segera membuntutinya, hingga langkah mereka akhirnya kembali sejajar. Terdapat sebuah pintu yang sangat besar. Fokus Garlanda tertuju ke sana. Hingga ia tak sadar sudah berhenti melangkah untuk beberapa saat lamanya. "Garland." Garlanda baru sadar setelah suster Ayla memanggil namanya. "Nanti dulu, Garland. Nanti kita keluar lewat pintu itu. Tapi kita harus keliling tempat ini dulu. Supaya kamu yakin, tidak merasa dibohongi lagi." Garlanda terhenyak. Benar. Ia sudah berkata bahwa suster Ayla sudah terlibat dalam persekongkolan yang dibuat oleh Radivan ayahnya. Garlanda ... bahkan kini mulai meragukan dirinya sendiri. Garlanda pun akhirnya kembali melangkah. Sembari mempersiapkan diri atas apa pun yang akan ia lihat nanti. Terdapat banyak ruangan berbentuk kubik. Semua didominasi warna putih. Hanya saja, pintu-pintu kamar itu terlihat. Seperti layaknya pintu biasa pada umumnya. Bukan pintu tak terlihat seperti yang ada di kamar Garlanda. Bahkan dinding bagian depannya pun terbuat dari kaca transparan. Sehingga Garlanda bisa melihat siapa saja yang menempati kamar-kamar itu. Garlanda semakin meragukan dirinya sendiri. Jika memang ini berada di rumahnya, sepertinya tidak mungkin. Karena terlalu banyak perubahan. Tempat ini sama sekali tak terlihat seperti rumahnya yang ia ketahui. "Apa kamu bisa mengingat dia?" tanya suster Ayla. Garlanda memperhatikan seseorang yang berada di kubik pertama. Seorang wanita bertubuh kurus. Sedang terduduk di ujung ranjangnya, dengan menunduk dalam. Sadar ada orang di depan kamarnya, ia segera menoleh. Ia hanya menatap mereka berdua. Tak tahu itu siapa, karena tersamarkan oleh baju pengaman yang mereka gunakan. Mungkin ia pikir, dua orang itu adalah dokter dan juga perawat. Berbeda dengan Garlanda yang seakan membeku. Wanita itu ... tentu saja Garlanda mengingatnya. Bagaimana bisa Garlanda melupakan sosok kakaknya sendiri? Lebih tepatnya, kakak pertamanya ... Jasmina. Meskipun segala perlakuan Jasmina padanya sangat lah buruk, tapi Garlanda tetap miris menatap kondisi kakaknya seperti Itu. Rambutnya berantakan. Dan satu kakinya dirantai. Rantainya sangat besar berwarna hitam. "Suster Ayla ... apa yang terjadi dengan Jasmina? Kenapa dia bisa dikurung di sana? Kenapa juga tatapannya sangat kosong? Dia ... nggak seperti Jasmina yang aku kenal!" Suster Ayla tersenyum. "Syukur lah ternyata kamu ingat sama dia Garland. Benar, gadis itu adalah Jasmina. Apa yang terjadi sama dia? Dia menjadi depresi setelah kehilangan bayi yang baru saja ia lahirkan, Garland. Dalam depresinya, dia nggak mendapatkan support system yang baik. Suaminya selalu menyalahkan dia atas kematian anak mereka, orang tuanya pun tidak peduli padanya. Dalam keterguncangan berat, dia pun akhirnya kalah oleh rasa depresinya itu. Dan di sini lah dia sekarang." Garlanda tercengang seketika. Jasmina sudah menikah? Bahkan sudah pernah melahirkan anak? Bagaimana bisa Garlanda tak tahu jika kakaknya sendiri sudah menikah? Memangnya sudah berapa tahun ia terkurung di kamar serba putih itu, sehingga ia banyak ketinggalan peristiwa. "Kapan dia menikah, suster? Kenapa aku bisa nggak tahu dia menikah? Kenapa aku nggak dilibatkan sama sekali dalam pernikahan kakakku sendiri? Apa aku sebegitu menjijikkan, sehingga mereka nggak sudi melibatkan aku?" Garlanda nampak sangat terluka. Ia sedih karena sudah melewatkan banyak peristiwa. Lalu berapa usianya sekarang? Dan siapa gerangan sosok suami Jasmina yang sama sekali tidak bertanggung jawab itu? Garlanda benar-benar marah. Ia ingin memukul laki-laki tidak becus itu sekarang juga "Garland ... tidak ada yang tahu siapa suaminya. Jasmina adalah sosok wanita yang dewasa dan lembut. Memiliki sisi keibuan yang kuat. Itu sebabnya kamu menganggap dia sebagai kakak pertama kamu." "Menganggap bagaimana? Dia itu memang kakak aku, suster! Dia anak pertama dari seseorang yang kamu panggil sebagai dokter Radivan itu!" "Garland ... dokter Radivan memang sudah berkeluarga. Tapi aku tahu betul siapa istri dan anaknya. Anaknya masih kecil. Dokter Radivan juga masih muda. Mana mungkin anaknya bahkan memiliki usia lebih tua dari anaknya sendiri?" Entah sudah berapa kali Garlanda dibuat tercengang. Kenyataan macam apa yang sebenarnya sedang ia hadapi ini? Garlanda benar-benar tidak tahu. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Gawat ... ia akan segera tertidur lagi. Tidak ... ia tidak boleh tidur sekarang. Masih banyak hal yang harus ia tahu. Garlanda pun berusaha keras mempertahankan kesadarannya.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD