3. L(Over)

1392 Words
Menelusuri persawahan yang sangat indah, gunung-gunung yang berjajar cantik, membuat Kin dan Ben bersemangat untuk menyelesaikan pekerjaan yang sangat menyiksa ini. Banyak orang-orang desa yang sedang bercocok tanam disini. Kin dengan kamera yang menggantung di lehernya begitu antusias untuk memotret para warga desa ini. Kin dan Ben terus memotret wajah-wajah warga desa yang sepertinya tidak memiliki beban itu. Senyum tulus selalu mereka pancarkan, seakan-akan tahu, jika kamera sedang menangkap dirinya. Banyak anak-anak yang bermain air di pinggir sungai yang sangat jernih. Kin suka mengambil pekerjaan ini, namun karena letak desa yang sangat terpencil dan susah untuk mencari pangan ataupun sinyal, yang membuat dirinya tidak betah berada lama-lama disini. Kin melihat ada sumber mata air di sana. Buru buru ia mengambil botol yang ada di sisi kanan tasnya, dan menghampiri mata air itu. Mata air di sini sangat jernih, karena dirinya sangat haus, Kin langsung meminum air itu dari sumbernya. Ben yang melihat itu pun mengikuti Kin, karena dirinya juga sangatlah haus. "Akhirnya ... Akhirnya, gua bisa napas juga ..." ucap Ben yang terus meminum air itu dari pancurannya. "Lah, emang lu dari tadi enggak napas?" Tanya Kin santai. "Ah elah ... susah gua ngomong sama kancil kaya lu!" "Berterima kasih lu sama gua. Gua udah nemuin mata air ini. Kalau enggak karena gua, lu bisa mati kehausan," ucap Kin. "Makasih Pak bos, terimakasih ..." kata Ben dengan nada bahagianya namun cepat-cepat dirinya kembali menetralkan ekspresinya. "Terus, kita makan dari mana?" Keluh Ben, mengusap perutnya yang rata ditambah lagi perutnya itu belum diisi oleh nasi semenjak 2 hari yang lalu. Betapa menyedihkannya mereka. "Saling makan satu sama lain aja," usul Kin yang mendapat tepukan sangat keras di punggungnya. "Otak lu ya! Lu kira gua kanibal. Dih ogah gua makan daging lu, daging lu pait!" Kesal Ben. "Lebih pait hidup lu, dari pada daging gua!" Kata Kin yang tak mau kalah. "Hidup lu lebih-lebih pait kali!" "Walaupun hidup gua pait, tapi masih berguna. Enggak kayak lu!" Ditengah keributan mereka, Kin dan Ben mendengar ada suara tangis seorang wanita dari arah kiri mereka. Kin dan Ben saling tatap, dengan ekspresi wajah yang ketakutan. Pasalnya, mata air ini berada di pinggir sungai dengan pepohonan yang cukup tinggi. "Lu sih teriak-teriak ..." ucap Kin pelan, wajahnya masih terlihat ketakutan. "Lu yang ngajak ribut duluan," kata Ben yang memelankan suaranya juga. Tidak ingin mempersulit masalah, keduanya mencoba mencari dimana arah suara tangis wanita itu berasal. Mereka mengendap-endap mencoba mencari tahu asal dari suara tangis itu. Siapa tahu itu orang yang sedang kesulitan. Benar saja, di ujung sana, mereka melihat seorang gadis remaja dengan rok yang sudah tersobek besar, baju panjang yang ia kenakan pun sepertinya terkena darahnya sendiri. Kin dan Ben mencoba berlari cepat kearah gadis itu. Mereka ingin menolong gadis yang sangat malang ini. Sesampainya dihadapan gadis itu, Kin mencoba berjongkok di hadapannya. "Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Kin dengan nada lembut. Gadis yang tengah menunduk itu mengangkat wajahnya yang sudah memiliki banyak luka di wajahnya, Kin dan Ben pastinya terkejut melihat itu. "Kamu tidak apa-apa?" Kini Ben yang bertanya kepada gadis itu. Gadis itu hanya bisa mengangguk pelan dan kembali menunduk. Ben yang cukup takut dengan keadaan menepuk punggung Kin, dirinya ingin membisikkan sesuatu kepada Kin. "Kita lagi di tempat orang. Enggak seharusnya kita kaya gini. Perasaan gua enggak enak. Lagi pun kita kurang tau bahasa mereka," ucap Ben berbisik pelan. Kin mengangguk. Ia mengerti dengan perkataan yang Ben ucapkan. Namun ketika melihat gadis yang sedang menangis ini, dirinya teringat akan Cleona di sana. "Ayo, saya antarkan kamu pulang." Kin berbicara pelan kearah gadis tersebut. Ia sebenarnya takut, tapi ia mencoba untuk tetap berpikir logis. Ben memberikan sapu tangannya kearah gadis itu. "Pakai untuk membersihkan sedikit darah di wajah kamu." Sapu tangan itu di terima dengan baik. Ia pun mengusap darah yang ada di wajahnya. Lalu perlahan berdiri dari duduknya yang dibantu oleh Kin. "Saya antar kamu kerumah." Gadis itu mengangguk dan mulai berjalan tertatih kearah selatan. Ada satu jalan kecil yang menghubungkan antara rumah-rumah penduduk desa dengan hutan yang sangat rimba. Beberapa menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah sederhana yang cukup bagus dan luas dibanding rumah warga lainnya. Satu orang ibu yang sudah berumur menghampiri gadis itu dengan raut wajah yang sedih. Dengan bahasa yang mereka pakai sehari-hari, ibu itu menanyakan bagaimana bisa anaknya seperti ini, anaknya bilang, ia di kejar oleh orang-orang jahat yang menguasai desa sebelah. Kin dan Ben cukup terkejut mendengar cerita itu. Ibu gadis itu pun mengajak Kin dan Ben untuk duduk di depan rumahnya. "Serem banget sih tinggal di tempat kaya gini," gumam Ben. "Hati-hati lu ngomong. Jangan sompral," kesal Kin. Mereka sedikit berbicara dan masih sempat-sempatnya mereka memotret pemandangan indah dari rumah ini. Tak lama, datanglah seorang bapak-bapak yang sudah berumur, Kin rasa itu adalah ayah dari gadis tadi. Kin dan Ben langsung berdiri dari duduknya dan memberikan sapaan kepada bapak tua itu. "Selamat siang, Pak. Tadi kami menemukan anak bapak sedang menangis dengan keadaan yang sudah terluka," sapa Ben yang mulai berjabat tangan dengan bapak tua itu. Si bapak pun tersenyum dan mengangguk. "Terimakasih sudah menyelamatkan anak saya ya. Saya kepala desa di sini," katanya mengenalkan diri. Kin ikut berjabat tangan dengan si bapak yang mengaku kepala desa itu. "Nama saya, Kin, Pak." "Saya mendapat laporan ada dua orang pemuda yang mengambil gambar di sini ya?" "Iya, Pak. Itu kami. Sudah 5 hari saya di desa ini, namun baru bisa bertemu dengan Bapak. Maaf atas ketidak sopananya," ucap Kin sambil membungkuk. "Tidak apa-apa. Asal kalian tidak mengganggu penduduk di sini, ataupun membuat kesalahan lainnya. Juga, perlu kalian ketahui, disini kita kurang sekali menerima masukan makanan dari luar. Kita hanya makan seadanya," jelas si bapak. Kin dan Ben mengangguk sambil tersenyum. "Kami sangat mengerti, Pak. Terimakasih telah mengizinkan kami untuk bekerja di sini," kata Ben. "Pasti kalian susah sekali ya menemukan makanan? Dan untuk tempat tinggal, lebih baik kalian tidur di situ." Bapak itu menunjukkan sebuah gubuk bambu yang lebih kokoh dari gubuk yang kemarin mereka tinggali. "Kalian bisa tinggal disana. Dari pada harus tidur di tempat yang kurang nyaman. Sudah ada air bersih yang mengalir di belakangnya. Jadi tidak perlu khawatir untuk kekurangan air." "Terimakasih banyak, Pak. Sudah menawarkan kami tempat yang sangat nyaman. Kami terima dengan senang hati." Ben tersenyum senang, dirinya yang paling sangat senang di sini. Beberapa gadis membawa sebuah nampan yang berisikan beberapa makanan serta lauk pauk lalu di simpannya di hadapan mereka. "Kalian pasti kekurangan makanan berada di sini. Silahkan di makan, menu yang tidak seenak di kota," ucap si bapak yang memberi makan kepada Kin dan Ben. "Kami sangat merepotkan sekali ya, Pak." "Tidak apa-apa. Ini hanya jamuan biasa. Lagipun ... agar kalian merasakan bagaimana hidup di desa yang jauh dari perkotaan. Silahkan di makan, ini ada bebek yang sudah di bumbui lalu di goreng. Ini makanan tumis yang sudah menjadi makanan sehari-hari kami. Silahkan di coba." Tanpa sedikit keraguan, Ben mulai mengisi piringnya yang kosong dengan nasi yang lumayan banyak. Serta memasukan semua lauk pauk yang ada di hadapannya tanpa ragu kedalam piringnya. Kin yang melihat itu hanya menggeleng pelan. Lalu, mulai mengikuti Ben untuk mengisi piringnya yang kosong. Bapak kepala desa pun ikut makan bersama mereka. Padi di sini sangat berlimpah dan menghasilkan nasi yang sangat berkualitas. Namun, untuk mendapatkan daging-dagingan serta sayuran, mereka harus pergi ke kota dengan jarak tempuh 7 jam dari desa ini. Makanan sederhana, terasa sangat istimewa di perut Ben yang kosong. Diantara Kin dan Ben, Ben lah yang berlebihan dalam hal makan. Melihat sahabatnya makan lahap seperti itu, Kin jadi teringat dengan Cleo. Bagaimana tidak, Cleo selalu suka dengan makanan apapun, tanpa memilih-milih makanan. Kin suka perempuan seperti itu. Cleona ... Rasa bersalah Kin semakin besar ketika terus mengingat namanya. Kin merasakan satu getaran yang berasal dari celana pendeknya. Ternyata itu adalah sebuah SMS dari Cleona. Kin pun langsung membuka ponselnya. Pesan yang cukup panjang dari Cleona, ia baca dengan baik. Senyum kecil terbentuk di bibirnya. Cleona, perempuan penurut, baik dan menggemaskan di matanya. Kin menggerakkan jarinya untuk mengetikkan sesuatu di ponselnya : Selamat siang, Cleo sayang. Maaf baru bisa membalas pesanmu. Kamu boleh bermain dengan Nola, asal ingat waktu. Jaga diri ya, maaf aku belum bisa menghabiskan waktu liburan dengan kamu. Pesan itu pun langsung terkirim tanpa hambatan. Kin baru tersadar bahwa ia berada di rumah kepala desa, sekaligus kantor desa berada di sini, dan mungkin jaringan di sini lebih baik. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD