6. GUNANYA TETANGGA

1799 Words
Brody bergerak lincah ketika Erlan mengajaknya bercanda. Namun, Ariel datang dan segera membawa anabul itu masuk ke dalam kandang. “Lah kok dibawa pergi? Ah Ariel pelit,” ucap Erlan pada keponakannya. “Biarin, daripada aku kena omel Mama. Om Erlan mau gantiin aku diomelin sama Mama?” “Emang Mama masih suka ngomel?” Ariel mengangguk. “Nena kan cerita waktu Tante Giana diserang sama Brody, terus Mama marah besar sama aku dan bilang kalau aku nggak jaga Brody dengan baik, dia bakalan dijual sama Mama.” “Widih, serem amat sih Mama kamu. Nanti Om bawa si Brody ke rumah Om Erlan aja ya. Gimana?” “Jangan ah, nggak mau,” tolak Ariel cepat. “Ngurus diri sendiri aja masih nggak becus, mau ngajak Brody tinggal bareng.” Sindir Regina yang datang dari arah dapur. “Si Brody mau kamu suruh jagain cewek-cewek yang kamu ajak ke rumah?” “Ngomel mulu sih, nggak sayang perawat kulit mahal-mahal tapi tetap keriput karena ngomel,” ucap Erlan santai. Bahkan satu tangannya asik mencomot kudapan yang Regina bawa untuknya. “Kasian Ariel kalau dengerin kamu ngomel terus, Kak.” “Aku lagi pusing sama Bapaknya Ariel. Permintaannya nggak bisa ditawar, dikira minta permen yang bisa beli di warung.” “Mas Aksan minta apa? Kawin lagi?” “Huss! Ngawur banget kalau ngomong, lambe-mu tak lakban ya.” Regina mendelik. “Terus punya suami baik begitu masih juga protes. Emang masalahnya apa?” “Aksan minta anak lagi,’ gumam Regina. “Terus, masalahnya apa? Ariel udah gede dan udah cocok punya adik. Kasian kalau dia sendirian. Buatnya kan enak, ngapain ditunda lagi,” ucap Erlan santai. “Cangkemmu! Kenapa nggak kamu aja nikah terus punya anak. Biar Ariel ada teman main. Hobinya kok gonta ganti pacar, awas kena penyakit.” Sindir Regina. “Apaan sih, nggak usah mikirin aku. Turutin aja tuh maunya Mas Aksan.” Erlan santai tanpa terusik dengan ucapan kakaknya dan mulutnya asik mengunyah seperti hidup tanpa beban. “Kamu tau kan aku trauma sama persalinan. Bayangan itu masih bikin aku takut buat hamil.” Regina mengalami pendarahan hebat ketika melahirkan Ariel. Sejak saat itu, ia masih belum berani untuk kembali hamil. Hingga anaknya berusia sepuluh tahun, Regina masih berpikir untuk mengandung lagi. “Aku tau soal itu dan aku juga nggak mau menjadi orang yang sok paham tentang perasaan kamu, Kak. Tapi, kalau Ariel mendengar alasan kenapa kamu belum mau hamil, dia pasti sedih. Ariel akan menyalahkan dirinya sendiri karena kelahirannya membuat kamu trauma dan takut memiliki anak lagi.” Regina terdiam karena yang dikatakan Erlan benar. Bahkan beberapa kali ia harus berbohong ketika Ariel meminta agar ibunya memberinya seorang adik karena merasa kesepian. “Nanti aku pikirin lagi dan mungkin aku mau konsul ke dokter. Kalau dokter bilang aman, aku bisa pertimbangkan permintaan Mas Aksan dan Ariel.” Erlan memberi dua jempol pada kakaknya. “Good, ini baru Regina yang aku kenal.” “Kamu sendiri gimana?” “Apanya?” “Semuanya.” “Ya semuanya apa?” “Oke yang pertama, betah nggak di tempat yang baru?” Pria itu mengangguk pelan. “Betah-betah aja sih.” “Kata Ariel, tetangga kamu cantik ya? Itu yang bikin betah? Atau dia masuk list untuk didekati?” “Giana maksudnya? Cantik walaupun nggak semodis teman perempuan yang aku kenal. Tapi dia itu galak dan jutek banget.” “Dia nggak ada rasa tertarik sama kamu? Nggak kayak cewek-cewek lain yang liat kamu mainin rambut udah pada pingsan?” Erlan tergelak. “Bisa aja, emang aku setan bisa bikin pingsan.” Regina mencubit pinggang adiknya. “Aku serius. Jadi beneran dia nggak tertarik sama playboy kayak kamu?” “Entahlah. Tiap ketemu dia kayak abis makan cengek, kalau ngomong jutek dan pedes banget.” Regina mendesah pelan. “Akhirnya ada yang tidak mengakui kegantengan dan pesona adikku ini.” “Dia jutek karena beberapa kali liat aku sama perempuan lain sedang ciuman. Jadi wajar saja kalau dia nggak suka.” “Astaga, memang kamu ciuman di mana sampai diliat sama dia?” “Di rumah sama di depan rumah,” sahutnya santai. “Ya ampun Erlan, kapan sih kamu berhenti main-main. Nggak kasian sama Papa Mama yang ngarep kamu segera menikah.” “Aku masih mau menikmati masa muda. Kalau udah punya istri, ribet. Aku nggak siap harus dilarang ini itu.” Regina menatap adiknya dengan perasaan dongkol. “Erlan, aku kasih tau ya. Kalau hidup kamu terus begini, yang ada kamu nggak akan pernah ketemu wanita yang tulus nerima kamu sebagai suami. Wanita yang hanya ingin senang-senang sih banyak tapi menerima baik burukmu, itu yang sulit. Jangan sampai kamu melakukan kesalahan yang pada akhirnya akan berakhir dengan hal menyakitkan. Kamu tau maksudku kan?” Erlan mengangguk pelan, raut wajahnya mendadak berubah datar. Ia meraih gelas berisi minuman dingin lalu meneguknya. “Aku tau dan jelas aku nggak akan menjadi orang bodoh seperti orang itu.” “Erlan..” tegur Regina. “Jangan bicara begitu.” Pria itu beranjak dari duduknya. “Aku balik ke kantor dulu. Salam sama Mas Aksan.” “Nggak mau makan siang di sini?” Regina mengekori adiknya. “Nggak, aku makan di kantor saja.” Sahut pria itu tanpa mau menoleh Regina. Wanita itu menghembuskan napas berat. “Selalu saja begitu setiap aku ingatkan.” *** Giana sedang membereskan beberapa gambar wedding cake yang ia perlihatkan pada calon pengantin yang kebetulan bertemu di salah satu mall di Jakarta. Karena ada barang yang mau Giana beli, langsung saja ia mengiyakan ketika klien ingin bertemu di mall. Biasanya Giana lebih senang mereka datang ke toko biar tahu banyak mengenai hasil karyanya. Tapi disituasi tertentu Giana tidak akan kaku. Setelah beres, Giana mengedarkan pandangannya di sekelilig restoran. Tidak terlalu ramai karena bukan weekend. Saat pandangannya tertuju keluar area restoran, tiba-tiba Giana menangkap sosok yang sangat familier baginya. Pria itu mengenakan pakaian formal, matanya fokus menatap ke depan, dan raut wajahnya masih saja sama seperti dulu. Giana menggeleng, berusaha kembali sadar dari lamunannya. “Cuma mirip, yang seperti itu banyak.” Gumamnya. “Mbak Gi, jadi pergi sekarang?” “Kamu udah selesai dari toilet?” tanya Giana pada Riska yang ikut menemaninya. Riska mengangguk. “Udah kok.” “Ya sudah, ayo kita ke toko yang aku maksud. Semoga aja ada ukuran yang pas buat Mama.” Dua hari lagi Maria berulang tahun dan Giana ingin membelikan cincin untuk wanita itu. Walaupun sering beradu argumen, Giana begitu mencintai Maria karena sadar diri, hanya Maria yang ia punya. Saat berjalan menuju toko perhiasan, lagi-lagi Giana menangkap sosok yang berada di seberang. Namun, kali ini ia sangat yakin dengan apa yang dilihat oleh matanya. Erlan sedang bersama beberapa pria dan terlihat sangat serius. Tampilan pria itu juga nampak formal, tidak seperti yang ia lihat ketika di rumah. “Mbak, kenapa?” “Itu, Mas Flowers idola kamu.” Giana mengedikkan dagunya ke arah Erlan. Sepasang mata milik Riska menatap dengan berbinar ke arah Erlan. “Mbak, mau samperin temennya?” Giana menggeleng. “Nggak ah, buat apa?” “Ih, tapi kan saya pingin ketemu.” “Ya udah kamu samperin sendiri.” “Malu dong Mbak.” Giana menggeleng sebal pada karyawannya. “Aku cepet-cepet, biar bisa balik ke toko.” Riska mendadak merasa tidak enak dengan atasannya. “Maaf ya Mbak Gi.” “Dari sekian mall di Jakarta, kenapa dia ada di sini sih?” Giana membatin. *** Giana turun dari mobil ketika kendaraannya sudah terparkir cantik di garasi. Hari ini ia pulang malam, sekitar jam sembilan. Banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan akibat ia pergi keluar ketika jam kerja. Sebagai bentuk tanggung jawab, maka ia mengambil lembur dan membiarkan asistennya pulang tepat waktu. Giana menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan siapapun. Saat Giana melangkah menuju dalam rumah, indera pendengarannya menangkap suara ribut dari dalam. Suara pria yang tengah tertawa bersamaan dengan suara tawa Maria. “Mama sama siapa ya? Jangan-jangan selama ini Mama punya pacar?” gumam Giana sambil bergegas masuk ke dalam rumahnya. Sampai di ruang tv, Giana mendapati Maria bersama dengan Erlan yang terlihat membahas sesuatu yang seru. Giana sama sekali tidak menyangka kalau tetangganya ini rajin sekali menemani Maria. “Aku kira Mama sama siapa.” Ucap Giana yang ikut bergabung di sana. “Kenapa ponsel kamu mati? Untung Riska kasih kabar kalau kamu lembur.” “Aku lupa bawa carger ponsel,” sahutnya dengan raut wajah malas. Tatapannya beralih ke Erlan yag kini tersenyum padanya. “Kenapa malam-malam ada di sini?” “Giana, jangan jutek-jutek ah.” Tegur Maria. “Siapa yang jutek sih Ma, perasaan aku salah mulu di mata Mama kalau berhadapan sama Erlan.” “Nggak apa-apa, Tante. Giana kan memang pembawaannya begitu.” Jawab Erlan. “Aku ke sini mau nemenin Tante Maria, boleh kan?” “Jangan bilang kamu mau ngincer Mamaku juga?” celetuk Giana yang langsung mendapat delikan dari Maria. “Anak gendeng, mulutnya emang nggak punya saringan. Kamu ini anak siapa sih, suka ngomong sembarangan?” Maria gemas dengan anaknya. Erlan tergelak mendengar pertanyaan konyol Giana dan ia juga terkejut dengan melihat interaksi anak dan ibu di hadapannya. “Ih, Mama sensi banget sama anak sendiri.” Cibir Giana. “Erlan ini bantu Mama ganti lampu di ruang tamu yang mati. Kamu tahu sendiri kalau kita berdua nggak akan bisa ganti. Jadi Mama minta tolong sama Erlan dan kebetulan dia bisa.” “Oh begitu, bilang dong dari tadi, kan aku nggak salah paham. Makasih ya sudah bantu.” Erlan mengangguk. “Iya sama-sama. Itu kan gunanya tetangga.” Ucap Erlan. “Ya sudah, saya pamit pulang ya, Tante. Kan Giana juga sudah datang jadi saya tenang ninggalin Tante.” “Makasih banyak ya nak Erlan. Beruntung punya tetangga baik seperti nak Erlan. Apalagi kalau masih single, lumayan kan Giana ada temennya.” Namanya disebut oleh Maria, membuat Giana menatap kesal pada ibunya. “Ih, kenapa nama aku disebut-sebut?” gumamnya pelan. “Saya pamit ya Tante. Giana, aku pulang ya.” Giana mengangguk. “Hhmm.” Ketika berjalan melewati Giana, tangan Erlan dengan santai mengusap pucuk kepala Giana hingga membuat wanita itu terdiam karena terkejut. Entah kenapa seperti merasakan sengatan ketika mendapatkan kontak fisik dengan Erlan. “Ih, apa-apaan sih? Gue jadi kenapa?” batin Giana bingung. "Demen banget nyentuh kepala, dikira aku kuntilanak ada pakunya. Atau dia sengaja biar aku jadi nurut dan baik sama dia. Ihh kok serem." Keluar dari rumah Giana, Erlan berjalan santai sambil mengingat betapa lucunya sikap ketus Giana. Ponsel yang berada di saku celananya berdering, membuyarkan pikirannya. Tangannya merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya. Ketika melihat layar ponsel tersebut, Erlan bisa melihat siapa yang telah mengiriminya pesan singkat. Bukannya membaca atau membalas, Erlan justru kembali memasukkan ponselnya ke saku celana. “Mengganggu saja,” gumam pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD