Happy reading
Badan Firna ambruk saat tau kebenaran bahwa bayi nya memang sudah tidak ada, sebelumnya dengan penuh kekukuhan Firna datang keruangan kosong tempat bayi nya dirawat, awalnya dirinya tidak yakin dengan ucapan perawat itu tapi setelah melihat langsung Firna tidak bisa berkata-kata lagi, bibirnya tertutup rapat badan nya bergetar kecil.
"Mbak, saya ambilkan minum ya?" Firna menggeleng.
"Aku mimpi kan, Sus?"
"Mbak."
"Ini semua gak nyata kan, iya kan?" Tanya Firna terkekeh pelan dengan mata yang sudah berkaca-kaca menatap penuh harap pada perawat itu agar menjawab iya.
Perawat itu terdiam lalu merangkul bahu Firna agar berdiri namun badan kecil itu tetap diam tidak mau beranjak. "Mbak." Firna menggeleng.
"Aku mau baby Dino, sebelum aku liat baby Dino aku gak bakalan pergi dari sini." Kukuh Firna sudah berlinang air mata.
"Tapi bayi mbak udah meninggal, mbak harus bisa terima itu."
"Ngga, baby Dino masih hidup!!" Teriak Firna tiba-tiba membuat perawat itu kaget.
"Aku mau baby Dino, cepet bawa kesini!" Perintah Firna nada bicaranya mulai meninggi.
"Bagaimana mungkin mbak. Bayi mbak udah men--"
"BISA GAK SIH SUSTER JANGAN SEMBARANGAN NGOMONG!! BABY DINO ITU MASIH HIDUP JADI TOLONG JANGAN BILANG KALO BABY DINO UDAH MENINGGAL!!!" Teriak Firna memotong ucapan perawat itu dengan kencang.
Mendengar kegaduhan dari dalam ruangan yang dilewatinya seorang dokter langsung masuk keruangan itu dan cukup terkejut melihat Firna yang terduduk dilantai dengan air mata begitu deras.
"Ada apa ini?"
"Maaf dok, saya hanya memberitahu tentang bayi nya yang sudah meninggal tapi mbak ini gak percaya dan teriak-teriak disini." Ujar perawat itu.
"Atas dasar kehendak siapa kamu memberitahukan hal itu kepada dia?" Tanya Dokter itu membuat Perawat itu kebingungan untuk menjawabnya.
Dokter itu menggelengkan kepalanya seraya membuang nafas pelan sebelum akhirnya menelpon Fares untuk segera datang kesana. Memang benar sebaik apapun menyembunyikan bangkai pasti akan tercium juga aromanya.
"Kamu lanjutkan tugas kamu. Biar saya yang temani dia." Ucap dokter itu.
"Baik dokter, saya permisi."
Tidak berselang lama setelah perawat itu pergi pintu ruangan itu kembali dibuka oleh Fares yang baru datang dengan nafas tidak beraturan.
"Maaf say--" Ucapan dokter itu berhenti saat Fares memberikan isyarat untuk diam.
"Na." Panggil Fares.
"Kakak." Fares memeluk Firna dengan erat meletakkan dagu nya diatas kepala Firna.
"Bisa tinggal saya berdua? Masalah ini tidak akan saya sangkut pautkan dengan dokter." Ucap Fares, dokter itu mengangguk lalu pergi dari sana.
"Kak, baby Dino masih hidup kan? Suster tadi bohong kan?"
"Na, tenang ya."
"Ngga. Gimana aku mau tenang baby Dino dibilang udah meninggal aku gak terima, kak."
"Na, gua mau ngomong tapi lu harus tenang, oke?"
"Jangan bilang kakak juga mau ngomongin hal yang sama kaya suster tadi?" Firna melepaskan pelukan Fares mata nya menatap sendu Fares dengan air mata yang sudah tak terbendung.
"Kak, ini semua gak bener kan?"
Fares menatap sedih kepada Firna dengan berat hati dirinya menggeleng perlahan. "Ini semua nyata, Na. Dino emang udah meninggal." Ucap Fares.
Mata Firna membulat tanpa berkedip, putih matanya memerah mulutnya bungkam tidak mengeluarkan kata-kata, hati nya remuk seperti ditimpa sesuatu yang begitu besar dan berat. Sekujur tubuhnya mendadak lemas seperti jelly, dunianya terasa hancur.
"Na." Firna mengepis dengan kasar tangan Fares yang hendak menyentuh nya.
"Kakak bohong tentang ini kan, iya kan!"
"Kalian ngerjain aku kan?"
Fares menggeleng.
"Baby Dino gak mungkin meninggal!!" Teriak Firna.
Fares berusaha menenangkan Firna tapi usahanya gagal karna Firna terus menghindar dan mengepis tangannya. Badannya yang masih terduduk dilantai beringsut mundur menjauhi Fares.
"Na. Gua gak bermaksud ngebohongin lu, gua cuman gak mau lu sedih dan terpuruk."
"Terus menurut kakak dengan gini caranya aku gak sedih, hah?"
"Aku ini mamah nya kak, aku berhak tau. Kenapa kakak tega?!"
"Bisa-bisa nya kalian semua sekongkol nyembunyiin ini semua dari aku, apa aku sebodoh itu?"
"Baby Dino bayi aku kak, aku yang ngelahirin dia, kenapa kakak berani-beraninya bohongin aku kaya gini."
Firna terus berbicara dengan penuh emosi kepada Fares, d**a nya sampai naik turun akibat emosi dan rasa sesak yang begitu sakit di ulu hatinya.
Tangisan Firna semakin meraung keras diruangan itu, Fares yang kehabisan kata-kata hanya terdiam dengan penuh rasa sesal melihat istrinya yang menangis meraung-raung sambil sesekali menyebut nama bayi mereka.
"Maafin gua, Na."
"Aku gak butuh ucapan maaf dari kakak, aku cuman mau baby Dino sekarang!!"
"Lu harus bisa terima, Na."
"Aku gak mau tau, aku mau baby Dino!"
"Na."
"Kak!" Kali ini Firna tidak mengalah, nada bicaranya bahkan lebih tinggi dari Fares. Tidak salah bukan Firna marah seperti ini? Jika memang ada yang beranggapan Firna salah dan lebay maka orang itu harus merasakan kehilangan seorang anak dulu dan dibohongi oleh suaminya.
"Ini semua takdir, Na. Dino udah meninggal, gua gak bisa apa-apa dokter juga udah berusaha semaksimal mungkin."
Firna menangis dengan sesegukan, ucapan Fares sama sekali tidak dirinya dengar. Telinganya seolah tuli untuk mendengar suaminya.
"Tenang, ya, Na."
"Tenang? Aku harus setenang apa kak, bayi aku, bayi yang udah aku lahirin dengan sekuat tenaga dengan nyawa aku sebagai taruhannya meninggal tanpa sepengetahuan aku, apa aku gak berhak tau hah?" Firna berbicara dengan emosi yang meluap-luap walau sesekali sesegukan dan kesulitan mengambil nafas.
Fares dibuat diam oleh ucapan Firna. Sorot mata yang biasanya menatap dirinya dengan tatapan lembut kini menatapnya dengan sorot kekecewaan yang penuh kesedihan didalamnya.
Fares menunduk. "Maafin gua, Na." Seperti masuk telinga kanan keluar telinga Kiri, ucapan Fares hanya dianggap bagaikan angin lalu oleh Firna.
*****
Tangisan Firna tidak terbendung melihat gundukan tanah merah yang masih basah dengan nama bayi nya yang terlihat jelas terukir dipapan lisan itu.
Saking sesaknya menahan rasa sakit Firna sampai kesulitan bernafas dan lunglai hampir jatuh tapi Fares dengan sigap menahan bahu kecil yang sedang rapuh itu.
Firna mengepis rangkulan Fares, badannya merosot terduduk disamping gundukan tanah merah itu, tidak peduli pakaian yang dipakainya kotor Firna memeluk gundukan tanah merah yang tidak lain adalah kuburan bayi nya.
Hati Fares teriris sakit melihat istrinya memeluk kuburan bayi mereka dengan tangisan yang tiada henti, entah dosa apa yang telah Fares perbuat hingga dirinya mendapatkan musibah seperti ini.
Fares berjongkok disamping Firna, merangkul bahu istrinya berusaha menguatkannya walaupun percuma tapi Fares tetap melakukan nya.
Langit yang mendung seakan ikut bersedih bersama Firna, tangisan yang begitu keras menyalurkan rasa sakit dan ketidak ikhlasan seorang ibu terhadap bayi nya yang kini tidak bisa dirinya peluk secara langsung.
"Pelan-pelan, Na. Atur nafas." Ucap Fares mengelus rambut Firna saat Firna mulai kesulitan bernafas dengan wajah yang memerah padam.
"Biarin, biar aku mati sekalian."
"Na!" Fares spontan meninggikan nada suaranya membuat Firna tersentak pelan lalu kembali menangis.
"Cukup, Na, cukup! Lu pikir yang sedih dan ngerasa kehilangan Dino lu doang? Gua juga sama Na, gua juga sedih!"
"Kita harus ikhlas, ini semua udah takdir Tuhan."
"Kenapa baby Dino kak, kenapa? Kalo bisa milih lebih baik aku aja yang ma--"
"Gua bilang cukup, Firna!!"
"Bisa gak sih lu tuh dewasa sedikit, lu sedih boleh tapi jangan b**o!"
Sesaat Firna terdiam setelah dibentak oleh Fares tapi kemudian tertawa renyah dengan air mata yang mengalir ke pipinya. "Kakak ngebentak aku?" Fares mengusap wajahnya kasar, salah lagi kan dirinya jadinya.
"Na, gua--"
"Tinggalin aku sendiri."
"Jangan mac--"
"Aku bilang tinggalin aku sendiri, kak!"
Fares mengepalkan tangannya meninju tanah yang diinjaknya lalu bangkit dan pergi menjauh dari Firna, namun bukan berarti Fares benar-benar pergi meninggalkan Firna sendirian disana, ia hanya sedikit menjauh dan memantau Firna dari kejauhan.
Dari jarak yang lumayan jauh Fares melihat Firna yang kembali memeluk kuburan bayi nya, cukup lama Fares memantau dari sana seperti nya ada sedikit keanehan saat Firna tidak kunjung bangun, apa istri nya itu pingsan?
Tanpa pikir panjang lagi Fares langsung berlari menghampiri Firna, dan benar saja dugaannya Firna tidak sadarkan diri dengan posisi masih memeluk kuburan bayi nya.
"Sial." Gumam Fares segera menggendong badan Firna dan membawanya pergi dari sana.
Fares kembali mengumpat saat ingat dirinya ke pemakaman menggunakan motor, bagaimana sekarang? Otak Fares tidak buntu, diparkiran dirinya melihat kanan dan kiri lalu meminta bantuan kepada seorang supir pribadi seseorang yang sedang bersantai menunggu majikannya.
"Aduh, bukannya saya gak mau bantu, tapi saya takut bos saya marah karna saya pergi tanpa sepengetahuan dia." Ujar supir itu.
"Saya yang akan menjamin untuk masalah itu."
Melihat Firna yang pingsan digendong Fares cukup membuat iba supir itu. "Yaudah kalo begitu, ayo saya antarkan." Pasrah supir itu akhirnya membukakan pintu belakang mobilnya mempersilahkan Fares masuk.
"Makasih."
Supir itu segera mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit yang paling dekat dengan area pemakaman, selama diperjalanan beberapa kali supir itu melirik kebelakang melihat Fares yang sedang khawatir.
"Saya ada minyak kayu putih, olesin ke leher terus dipijat pelan pelipis mbak nya mas." Ucap supir itu, Fares menerima nya dan melakukan apa yang diucapkan oleh supir itu.
"Dilampu merah depan belok ke kiri itu lebih dekat ke rumah sakit." Ujar Fares.
"Tapi setau saya itu susah buat dilewatin mobil mas."
"Gapapa saya bisa jalan."
"Kalo mas jalan takutnya tiba-tiba hujan kasian juga mbaknya kalo sampe kehujanan, saya antarkan lewat jalur utama saja langsung kedepan rumah sakit."
"Mas tenang aja, sekitar sepuluh menit lagi kita sampai." Lanjutnya, Fares hanya bisa menghela nafas nya dengan pasrah.
*****
"Na, makan dulu ya, lu belum makan apapun dari kemaren." Bujuk Fares berusaha menyuapi Firna yang tidak ingin makan ataupun minum, bahkan berbicara pun Firna sangat enggan sekali semenjak pulang dari rumah sakit Firna benar-benar seperti orang tanpa gairah hidup, yang dilakukan nya hanya diam dan menangis sambil memeluk pakaian terakhir bayi nya.
Fares menaruh sendok yang dipegangnya ke piring lalu menaruh nya ke atas nakas, matanya menatap lekat wajah Firna yang hanya memandang kosong pintu kamar mereka.
"Kalo lu gak mau makan atau minum kaya gini terus lu bisa sakit, lambung lu bisa kambuh!"
"Makan ya, gua suapin." Fares menyodorkan sesendok nasi dan lauk kedepan mulut Firna, namun bibir itu masih setia tertutup rapat tidak menyambut suapan Fares.
"Ayo." Fares semakin mendekatkan sendok itu kedepan mulut Firna, tapi Firna justru memalingkan wajahnya membuat makanan yang ada disendok itu terjatuh keatas selimut.
Fares memejamkan matanya menahan emosi, dipegangnya dengan kuat gagang sendok itu lalu dilemparkannya ke tempok hingga menimbulkan bunyi yang lumayan keras. Jujur saja dari lubuk hati yang paling dalam Firna sebenarnya takut tapi dirinya tetap diam dan bersikap seolah tidak mendengar apapun.
Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun lagi Fares berdiri dan pergi dari kamar dengan membanting pintu dengan keras membuat Firna spontan memejamkan matanya.
Firna menatap pintu kamar yang ditutup lalu terisak pelan, bahkan Fares yang biasanya sangat sabar menghadapi nya sekarang pergi meninggalkan nya, Firna tidak ingin seperti ini tapi hati nya benar-benar masih sakit dan belum ikhlas dengan kepergian bayi nya. Firna menekuk kedua lutut kaki nya lalu membenamkan wajahnya disana dengan terus terisak, membuat punggung nya bergetar kecil.
Dua jam berlalu tiba-tiba terdengar suara pintu kamar yang terbuka, Firna pikir awalnya itu adalah Fares tapi saat dirinya sedikit mendongak untuk melihat siapa yang datang dugaannya salah, orang itu adalah Mamahnya.
"Anak ku sayang." Melihat keadaan putri semata wayangnya, Mamah Firna langsung memeluk nya dengan sangat erat.
Tangisan Firna kembali pecah dipelukan Mamah nya, kedua tangannya memeluk punggung Mamah nya dengan erat menyalurkan rasa sakit yang begitu sesak di hati nya.
"Anak kesayangan Mamah pasti kuat melewati ini semua, Mamah percaya." Ucapnya mencium kening Firna.
Dari celah pintu Fares mengintip diam-diam kedua orang itu, setidaknya sekarang Fares dapat menghela nafas lega walau hanya sedikit.
"Nana masih sangat dini untuk menanggung hal ini, kamu sebagai suami harus bisa memberikan support yang baik agar dia bisa mengiklaskan kepergian bayi nya dan kembali ceria."
"Pasti, Pah."
"Kalian bisa memulainya kembali dari awal, jangan terpuruk dengan keadaan sekarang, ingat Tuhan tidak pernah memberikan cobaan yang melampaui batas kemanapun umatnya."
"Aku udah berusaha buat ngga terpuruk dengan keadaan, tapi.... Gimana sama Firna, dia bahkan gak mau makan ataupun minum dari kemarin aku takut dia kenapa-kenapa." Ucap Fares.
"Pelan-pelan saja, dikeadaan sekarang sebaiknya kamu jangan terlalu memaksakan, berprilaku lah dengan lembut."
"Aku udah berusaha buat selalu bersikap lembut, Pah. Tapi itu gak ngaruh sama sekali, Firna selalu aja menangis dan meminta bayi nya kembali."
Papah Firna tersenyum. "Seseorang yang sudah meninggal memang tidak akan pernah datang kembali, tapi yang sudah pergi belum tentu tidak bisa diganti." Ujarnya.
"Maksud Papah?"
Bahu Fares ditepuk pelan oleh Papah Firna. "Mulai dari awal, kalo Nana mau bayi nya kembali maka kalian harus berusaha." Tuturnya, Fares masih mengkerutkan keningnya belum mengerti juga.
"Papah tanya sama kamu, kapan kalian terakhir berhubungan?"
Glek.
Fares menelan ludahnya, selama ini dirinya sama sekali belum menyentuh Firna, belum menyentuh dalam artian belum berhubungan semenjak kejadian malam itu. Selama ini dirinya tidur dengan Firna ya benar-benar hanya tidur saja tidak lebih dari kelonan dan cium itu saja.
"A-aku lupa."
Mata Papah Firna memicing. "Apa kalian tidak pernah berhubungan?" Tanya Papah Firna, Fares dengan ragu mengangguk. Hal itu cukup membuat Papah Firna kaget, jadi selama ini anak dan menantunya ngapain aja?
"Kenapa? Apa kamu tidak tertarik dengan Nana?"
Fares dengan cepat langsung menggeleng, tidak bukan masalah dirinya tidak tertarik. hey, yang benar saja laki-laki mana yang tidak tertarik melihat kemolekan tubuh seksi Firna terlebih lagi tidur satu ranjang dan notabenenya adalah pasangan sah nya. Hanya laki-laki dengan iman yang kuat yang bisa menahan gairah dan nafsu nya.
Fares memuji imannya sendiri? Tentu saja, sudah satu tahun kalian bayangkan satu tahun Fares menahan diri, kurang kuat bagaimana iman dirinya ini, padahal jika pun khilaf itu tidak akan menjadi dosa justru akan menjadi pahala bagi dirinya dan Firna.
"Aku cuman takut Firna belum siap, Pah. Aku gak mau maksa dia hanya karena kemauan aku aja." Ucap Fares memberikan alasan sebenarnya.
"Memang kamu sudah pernah tanya pendapat dia?" Fares menggeleng.
"Lalu bagaimana kamu bisa menyimpulkan seperti itu?"
"Aku hanya takut."
To be continued