Lulus

1217 Words
Gimana bisa kepikiran ketemu jodoh lain, kalau di depan mata lebih menarik untuk di fokusin…” sindir Putra dengan mata melirik spion mobil melihat ekspresi sang pimpinan senyum mengembang dari bibir yang di hiasi kumis tipis di atasnya, manakala melihat sang pimpinan menggeram karena aksinya. “Atur aja dah sama kamu, Put. Kamu mah bebas! Hidup saya aja kamu yang atur, Dewa Langit emang!” gerutunya sembari keluar mobil setelah sang pengawal membukakan pintu untuknya. Memang saat ini, antara dirinya dan kakak yang beda ibu darinya sedang dalam tahap seleksi ketat untuk menduduki posisi CEO perusahaan. Barga adalah kakak yang di hasilkan dari hubungan gelap sang ayah setelah pernikahan dengan ibu Barra. Saat itu rumah tangga kedua orang tua Barra memang sedikit kisruh, karena ibunda Barra melahirkan anak prempuan sebagai anak pertama hasil pernikahan mereka, sedangkan ayah Barra menginginkan anak laki-laki. Sehingga sang ayah berselingkuh dengan wanita lain. Dan hasil perselingkuhannya menghasilkan anak laki-laki seperti yang di harapkan sang ayah, meskipun Barga sedikit berbeda dengan Barra. Jika Barra memiliki kemiripan yang akurat dengan sang ayah, dari segi wajah orientalnya. Berbeda dengan Barga yang lebih ke Indonesia tulen. “Ingat, Tuan. Di depan umum tidak boleh terlihat celah sedikitpun sebelum pengukuhan pengangkatan CEO. Paham, kan?”tegas Putra lagi sebelum mereka memasuki gedung megah milik Faresta Group. “Siap, Pak Putra!!” Ejek Barra sambil nyengir kuda, lalu dia memasang tampang cool dan berjalan di ikuti oleh pengawal pribadi memasuki gedung milik keluarganya. Mereka terus memasuki gedung dengan langkah tegap. Berbeda dengan Sasya yang saat ini masih termenung di halte busway. “Tuhan, konon kabarnya malam ini, hari pernikahanku. Tapi mengapa aku merasa hampa, aku merasa kosong…siapakah pria yang menjadi suamiku?” Sasya menghela nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan. “Semoga siapapun dia, dia adalah pria yang bertanggung jawab atas wanitanya. Kenapa hidupku begitu menyakitkan, di rumah, aku di perlakukan tidak adil sama mama, atau mungkin aku ini bukan anak kandung mama?” Sasya menyeka air mata yang tiba-tiba telah menggenang di pelupuk matanya, saat ini dirinya ingin berteriak sekencang-kencangnya atau mungkin menghilang dari dunia ini. Hingga akhirnya dia menaiki bus yang berhenti di halte tempatnya menunggu dengan wajah tertunduk karena malu, ternyata sedari tadi orang memperhantikan dirinya sembari memandannya dengan tatapan iba, dan itu hal yang paling di benci oleh Sasya di belas kasihani oleh orang lain. Jangankan dengan perkataan, dengan tatapan saja dia sudah merasa kesal, hingga dia tanpa sadar meremas amplop yang ada di tangannya. Sasya duduk di kursi paling belakang, dia mengabaikan ponselnya yang terus bordering sejak tadi. “Mba, Mba…maaf ponselnya berdering…” Sebuah tepukan di bahu Sasya membuat Sasya menoleh dan tersenyum “Terimakasih, Mba…” Sasya menganggukkan kepala lalu merogoh ponsel dari dalam tasnya, dia melihat layar ponselnya lalu menghela nafas panjang dan memejamkan mata, dengan malas dia menjawab panggilan itu karena jika tidak di angkat, maka ponselnya akan terus berdering. “Hallo, Mam…” Belum sempat Sasya menjawab panjang lebar sebuah teriakan sudah memekakkan telinga, hingga membuat Sasya menjauhkan ponsel dari telinganya. “Sasyaaa!! Kenapa jam segini tidak juga datang?! Kamu mau melihat mayat mama di depan pintu rumah, hah?! Anak DURHAKA!” teriaknya hingga membuat Sasya menggigit bibirnya. “Lagi di biss, Ma. Sasya juga lagi perjalanan kerumah…” jawab Sasya dengan gigi gemeretak. “”Kamu dimana? Biar di jemput sopir saja dech!” ucap sang ibu, membuat Sasya semakin penasaran dengan apa yang tengah di lakukan oleh ibunya. “Tunggu saja, Ma. Gak lama lagi kok sampai…” jawab Sasya langsung mematikan ponselnya dengan kesal, tak lama kemudian sebuah pesan singkat masuk ke ponsel milikya. “Kalau sampai dalam satu jam tidak sampai, maka kamu akan tahu akibatnya…” Membaca pesan singkat itu, membuat Sasya mematikan ponselnya dengan segera. “Lebay banget sih, Mama. Di bilang lagi perjalanan, emang gak ngerti Bahasa perjalanan apa? Lagian ngebet banget, kemarin aja di usir berasa jadi sampah di rumah orang tua sendiri. Sekarang di paksa-paksa balik berasa paling di butuhin banget, padahal…ahh entahlah..” gumam Sasya dalam hati, dengan tangan meremas amplop coklat hasil pengumuman kelulusan hasil test selama beberapa hari di Faresta Group. Dia terlupa bahwa isi amplop coklat itu sangat dia harap selama beberapa hari ini, harapan dari keputusasaannya karena lelah berada di rumah di perlakukan semena-mena oleh ibu dan adiknya. “Astagfirullah, sampai remas amplop ini…” gumam Sasya sembari memperbaikin remukan kertas itu, dan membukanya perlahan. “Bismillah…semoga hasilnya tidak mengecewakan, meskipun aku sadar diri bahwa aku tak lebih unggul dari yang lainnya, tapi se—enggaknya aku gak bego-bego amat, buktinya sampai lolos di tahap akhir…” matanya terpejam lalu dia menarik kertas dari dalam amplop dengan mata terpejam. Sasya menahan nafas sejenak lalu dia membuka mata perlahan, dan seketika matanya terbelalak lebar. Tangan kanannya reflex menutup bibirnya yang ternganga. “Ak-aku…di terima di Faresta Group? Mimpikah aku, karena teroran dari mama jadi aku sedikit tidak waras?” gumam Sasya perlahan, lalu dia menoleh ke kanan dan kekiri, untuk meyakinkan diri dia tidak sedang berada di tempat tidur. “Ya, aku tidak mimpi…” bisiknya lagi, dan dia tersadar kalau harus berhenti di halte depan, setelah menekan tombol dan buss berhenti di halte, akhirnya Sasya dan penumpang lainnya menuruni biss, lalu dia berjalan dengan melonjak-lonjak dan sesekali menjerit histeris karena kegirangan akhirnya dia bisa kembali bekerja. Dia setengah berlari karena semangatnya untuk menuju rumahnya, tak sabar dia akan memberitahukan kepada sang ibu bahwa dirinya sudah bekerja di perusahaan bonafide dengan basic salary yang tinggi. Dan Faresta Group adalah salah satu perusahaan yang sangat membuat karyawan sejahtera, karena beberapa kebijakan perusahaan yang di anggap pro karyawan. “Nona, sasya…” sapa sebuah suara, hingga membuat tawanya seketika menghilang dari wajahnya, lalu dia menoleh kearah suara. Hal yang tidak biasa menurutnya ketika di tengah jalan ada orang yang memanggilnya dengan panggilan Nona. Sasya mengerutkan dahinya melihat dua orang pria bertubuh tinggi dengan mengenakan seragam safari hitam, berambut cepak, kaca mata hitam plus earpiece di telinganya, hingag membuat dia mundur dua langkah dan meremas erat amplop coklat di tangannya. “Ss-siapa, ya?” tanya Sasya menatap kedua pria bertubuh tinggi tegap. “Silahkan ikuti kamu, Nona…” Dua orang pria itu membungkuk hormat sembari memberi jalan kepada Sasya, hingga membuat wanita yang baru di terima bekerja di perusahaan bonafide Indonesia itu sedikit bimbang. “Ss-saya maksudnya?” tanya Sasya menunjuk dirinya sendiri setelah melihat ke sekeliling tidak ada orang lain yang dekat dengan mereka selain dirinya. “Benar, Nona Sasya. Silahkan Nona ikut dengan kami, kehadiran kami disini di tugaskan untuk mengawal dan menjemput Nona, mari silahkan Nona…” jawab mereka dengan tegas tanpa ekspersi sedikitpun. Sasya wanita yang di ajak berbicara oleh pria tadi, justru melongok kanan dan kiri, lalu berjalan mengelilingi pohon yang ada di dekatnya. “Ada kamera tersembuyikah? Hayoo..dimana kalian letakin camera tersembunyinya, ayolah. Saya sedang tidak dalam mood yang baik untuk bercanda, jadi langsung saja, kalian nge-vlog ini untuk tujuan apa, sampai melibatkan orang yang melintas…” jawab Sasya yang berfikir saat ini dirinya sedang di prank oleh sebuah acara reality show, hingga dia berusaha untuk emncari keberadaan kamera yang di maksud seperti reality show yang dia tonton selama ini. “Tidak ada camera tersembunyi, Nona. Semua sudah kami sterilkan sebelum Nona sampai di sini, sesuai perintah Tuan Muda…” jawab kedua pengawal itu dengan tegas, tanpa basa basi, membuat Sasya semakin heran
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD