Lolos seleksi

1228 Words
Waktu terus berlalu, kesepakatan antara Sasya dan sang ibupun akhirnya tercetus. Dimana Sasya berjanji akan menikahi pria yang telah di pilihkan sang ibu untuknya dengan persyaratan dirinya masih tetap di perbolehkan bekerja. Dan mereka sepakat mengakhiri pembicaraan dengan perjanjian bahwa Sasya boleh mengetahui kabar sang ayah setelah pernikahan. “Sebenarnya ada apa sih ini? Benarkah papa sedang sekarat sekarang? Lantas di rumah sakit mana? Kenapa mama begitu kekeuh banget buat nikahkan aku dengan pria yang bahkan aku gak kenal? Ya Allah…bantulah aku dalam menjalani takdir hidupku, siapapun pria yang akan menikahiku, semoga dia bukan dari kalangan penjahat. Tapi, kenapa mama bilang pernikahan ini di rahasiakan di depan publik, apakah aku hanya akan menjadi isri kedua? Semiris itukah?” bisik Sasya sembari merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan mengusap bulir bening yang sedang mengalir membasahi pipinya. Hingga akhirnya Sasya tertidur dan terbangun keesokan harinya untuk bergegas menjalani sesi terakhir interview sekaligus pengumuman penerimaan. Siang itu, Sasya duduk di kursi ruang tunggu bersama lima rekan yang berhasil lolos di babak terakhir seleksi, dia sengaja duduk di bangku paling pinggir, jujur sejak obrolannya dengan sang ibu tadi malam dia terus-terus terngiang kalimat sang ibu, di tambah penekanan yang di lontarkan sang ibu ketika dirinya sebelum berangkat ke gedung ini. “Kalau kamu sampai mala mini tidak kembali di hari pernikahanmu dengan calon suamimu, kamu akan bersiap melihat mayat kami sekeluarga di rumah ini. Jadi, apapun yang terjadi, jam tujuh malam kamu sudah berada di rumah ini, bagaimanapun caranya kamu harus sampai di rumah ini sebelum jam tujuh malam, atau bakal ada pembantaian besar-besaran di rumah ini?!” Begitulah kalimat yang di lontarkan sang ibu tadi pagi sebelum keberangkatannya untuk menyelesaikan babak terakhir seleksi penerimaan karyawan. “Tasya Syafira Luthfi…” Nama itu berkali-kali di panggil oleh petugas yang menangani wawancara perusahaan itu, hingga seluruh peserta saling melihat lalu menepuk bahu Sasya yang masih terhanyut dengan lamunannya. “Mba..mba nya di panggil dech dari tadi…” Sasya terkejut dan menoleh, “Ohh, iyakah? Oke baiklah mba, makasih ya, udah di ingetin ya mba…” ucap Sasya. Lalu dia beranjak berdiri dan menerima amplop lalu meninggalkan ruangan, dia terus berjalan menyusuri lorong lalu memasuki lift yang membawanya turun dan berjalan melewati lobi menuju pintu keluar, terlihat kendaraan banyak terparkir di sana, dia tak menyadari jika ada sepasang mata memperhatikan langkahnya dari dalam mobil. “Put…sudah kamu atur semua bukan?” tanya suara dingin yang duduk di kursi belakang sembari menatap kearah jendela. “Semua sudah di atur ke team HR, Tuan. Sesuai dengan permintaan Tuan…” jawab tegas pria yang duduk di kursi sopir dengan tegas sembari sesekali memperbaiki kacamata hitamnya, dia adalah Arganda Putra Permana yang juga merupakan asisten pribadi Barra, yang mengikuti kemanapun Barra pergi. “Oke, kamu memang tidak pernah mengecewakan saya, bagaimana hasil test dia sendiri?” tanya Barra iseng menanyakan hasil test teman satu kelasnya di masa SMA itu. “Untuk hasil test menurut team HR tidak terlalu mengecewakan, hanya saja memang ada yang lebih unggul dari dia, Tuan…” Sontak Barra tersenyum simpul, membayangkan teman satu meja dengannya yang memang doyan tidur ketika belajar, dan ketika menghadapi ujian, Sasya lebih suka mencontek dan mengandalkan dirinya. Jika tidak di berikan jawaban maka dirinya akan di musuhin olehnya. “Tuan barusan tersenyum?” tanya Putra sang asisten pribadi sembari menatap pria berwajah oriental dengan hidung mancung dan kacamata bertengger menghiasi wajahnya menambah nilai ketampanannya. “Senyum gundulmu…” jawabnya sembari melempar pena yang ada di tangannya. “Ehh, bukan ya? Kiraen senyum. Udah semangat padahal…” canda Putra yang memang lumayan akrab dengan Barra. “Semangat mo ngapain kamu?” tanya Barra penasaran. “Semangat mau daftarin ke Museum Record Indonesia, atau bahkan ke Guinnes World Record sekalian…” canda Putra semakin merajalela membully pimpinannya. “Loh kenapa emang? Jangan bilang kamu mau ngebully saya?” tanya Barra curiga dengan dahi menyatu membentuk kerutan dan menunggu jawaban dari sang asisten pribadi. Barra adalah pria yang paling sulit untuk beradaptasi dengan orang lain, tapi ketika dia nyaman dengan seseorang, dia akan betah menghabiskan waktu berjam-jam bersama orang itu, tak perduli apakah dia lelaki seperti sang asisten yang telah membuatnya nyaman. Meskipun saat ini Putra adalah asisten pribadi yang melayani semua kebutuhan Barra, tapi kalau di tilik ke belakang, Putra juga bukan pria sembarangan, dia adalah lulusan terbaik sebuah universitas terkemuka di Indonesia dengan segudang prestasi yang telah berhasil dia raih, sehingga tak heran kecerdasannya mampu mengimbangi sang pimpinan yang memiliki IQ cukup tinggi. “Ya, mau daftarin aktiviats Tuan Barra, yang tumben-tumbenan senyum padahal Cuma ngeliat cewek jalan doing, biasanya artis lewat aja cuek. Makanya moment langka dan kategori TER bukan?” tanya Putra yangn akhirnya mendapat bogem mentah dari Barra mengenai tepat di punggung sang asisten pribadi. “Kamu, makin kesini makin berani sekarang ya? Udah gak takut lagi sama saya sampean?” tegas Barra menatap tajam sang asisten pribadi melalui kaca spion mobil. Dan tak lama setelahnya, Putra tersenyum nyengir menandakan sang pimpinan sedang dalam kondisi sedikit tegang, atau pecah konsentrasi ketika berkomunikasi dengan panggilan sampean. “Siap salah, Tuan. Mohon di maklumi hamba yang suka khilaf ini…” jawab Putra sembari tersenyum mengejek. “Pelanin Put, saya mau lihat dia dari dekat…” ucap Barra ketika melihat Sasya yang melintas mendekat kearahnya. “Nanti ketahuan, Tuan. Apalagi kita pergi hari ini bawa pengawal loh, orang gedung pasti tahu kalau ini adalah Tuan, dan mereka bertanya-tanya ketika Tuan tiba-tiba nyamperin seorang wanita yang akan melamar menjadi karyawan, kasihan dianya Tuan, nanti jika ada yang mengetahui jika dia adalah wanita sang putra pemilik gedung, pasti akan sengsara dia Tuan…” sang asisten pribadi mengingatkan agar sang pimpinan menjaga sikap ketika sedang berada di lingkungan perusahaan. “Hmm..penasehat hokum yang satu ini emang, dah! Harus Perfecto! Gak boleh hidup jadi diri sendiri, menikmati hidup gitu, kaya orang-orang tanpa harus di protes?” gerutu Barra yang selalu mendapat kritikan tiap kali dirinya ingin melakukan apa yang ingin dia lakukan sebagai manusia biasa. “Bukan begitu, Tuan. Tapi, Tuan tahu sendiri, persaingan antara Tuan Barra dan Tuan Barga sangat ketat, saat ini Tuan sedang di sorot, jadi jangan sampai ada kesalahan sedikitpun, sekarang kalian berdua sedang menjalani kempetisi dalam meraih posisi sebagai CEO Faresta group, posisi itu adalah hak Tuan, jangan sampai jatuh ke tangan orang yang salah, Tuan. Kasihan nasib ribuan karyawan kalau perusahaan sebesar ini jatuh ke tangan yang salah. Nanti setelah Tuan duduk sebagai CEO, silahkan lakukan apapun yang Tuan inginkan, saya hanya menjalani amanah ibunda Tuan saja…” tegas Putra lagi hingga membuat Barra menghela nafas panjang. “Yaudah deh, bawel banget. Cuma pengen nyapa doang, nyapa temen SMA. Dimana letak salahnya coba?” lalu Barra mengangkat kedua tangannya ke atas setinggi wajah dengan posisi wajah menengadah ke langit, dan ekspresi sedemikian serius. “Ya, Tuhan…berilah orang di depanku ini jodoh dengan segera, agar dia tidak selalu usil, aku bosan di dikte terus ya Tuhan…” Dan seperti biasa ketika rintihan Barra tentang dirinya senidir mulai di lafalkan, dirinya hanya perlu lebih konsentrasi untuk mengemudi, lalu mereka memasuki lobi gedung dan membiarkan Sasya melintasi mobil mereka dengan ekspresi sedikit terburu-buru karena sesekali terlihat melihat jam di pergelangan tangannya, dia terus melanjutkan perjalanannya menuju halte yang tak jauh dari gedung perusahaan. Dia sama sekali tak menyadari bahwa mobil mewah dengan pengawalan ketat mobil di belakangnya itu adalah pria yang pernah menjadi pria tertampan di sekolahnya ketika SMA dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD