Temu Rasa

1022 Words
Enam tahun kemudian.... Seragam putih abu-abu sudah tersimpan rapi di lemari. Dan saat ini, sudah enam bulan Sasya keluar perusahaan tempatnya bekerja karena terlibat konflik dengan pimpinan. Sudah puluhan, bahkan ratusan lamaran Sasya sebar ke seluruh perusahaan yang membuka lowonangan pekerjaan, tapi hingga detik ini belum juga ada panggilan, sementara kedua orang tuanya sudah selalu menyindir dirinya, terlebih sejak sang adik telah ada yang melamar. Sasya hanya bisa menerima setiap sindiran dengan lapang d**a, seperti pagi ini. " Makanya Kak Sasya, coba mandi kembang dulu deh. Masa dari remaja gak pernah pacaran sampai sekarang, dan baru berapa tahun kerja sudah resign, alesan selisih paham ama atasan..." Sindir Anandia Farratunissa Luthfi, adik Sasya yang merupakan seorang dokter. " Apa hubungan mandi kembang ama jodoh si Niss? Jangan karena kamu mau nikah terus sombong, gak boleh gitu. Nasib seseorang gak ada yang tahu..." Jawab Sasya kesal sembari mengeraskan gesekan sendok di atas piring, hingga membuat ibu dan ayahnya menoleh kearahnya. " Adikmu itu cuma menasehatimu, Sya. Bukan berarti kamu harus marah. Kan kenyataan bukan? Di umurmu yang sudah hampir seprempat abad, belum ada tanda-tanda kamu bakalan menikah, apa berniat daftar jadi perawan tua?" Celetuk ibunya yang selalu membela sang adik, membuat Sasya mencibir. Bela teroooss! Sampai titik darah penghabisan. " Tenang, Ma. Tar Sasya bakal menikahi pria yang paling tampan kaya raya. Jadi sekarang mau nikmati masa-masa gadis dulu..." Sontak kalimat Sasya menjadi bahan tawa penghuni meja makan, termasuk sang ayah, ikut tersenyum dengan kalimat Sasya. Sya, apaan sih. Malah jadi bahan ledekan, sabar. " Kok malah tertawa, seharusnya di aminkan donk, gimana sih, Ma, Pa? " Sasya sewot sembari meninggalkan meja makan. Setiap kali berkumpul di meja makan atau duduk di ruang keluarga yang biasanya untuk menonton televisi. Kalimat ejekan untuk Sasya selalu terlontar sejak enam bulan terakhir dirinya menjadi pengangguran. " Lihat tuh, Ma. Kak Sasya sejak nganggur jadi sensitif, gimana mau dapet jodoh kalau otaknya sempit gitu? Mama harus kasih pelajaran, biar dia lebih giat lagi nyari kerja dan gak toxic aja di otaknya..." Ucap Nissa membuat sang ayah menoleh. " Tidak perlu sekeras itu, dia tadi kan ngomong bener. Siapa tahu jodohnya orang kaya..." Tegur sang ayah yang sedari tadi terdiam. " Kok Papa jadi bela anak pengangguran gitu, yaudah, sekarang gini aja deh. Sasya suruh ngekost aja dan kita kasih jatah bulanan seperti sekolah dulu, biar kerja dikit otaknya, seperti kata Nissa, masak di nasehati kok malah marah, anak macam apa itu, makin besar malah makin bodoh..." Gerutu sang ibu membuat ayahnya bangkit dari tempat duduk, dan berpamitan " Papa, ke kantor dulu ya. Papa pulang terlambat hari ini ada keluar kota..." " Hati-hati di jalan, Pah..." Ucap sang ibu sembari menyalam tangan sang ayah, begitupun Nissa. Sepeninggal sang ayah, kedua ibu dan anak saling berdiskusi berdua. " Niss, jadi bagusnya gimana?" Tanya sang ibu kepada putri kesayangannya. Perlakuan sang ibu kepada Nissa memang istimewa, semua keinginan Nissa selalu di nomor satukan. Berbeda dengan Sasya, semua permintaan Sasya selagi bisa di pending akan di pending. " Mah, daripada Kak Sasya buat Mama pusing setiap hari karena mikirin dia, mending segera di suruh ngekost aja deh, Ma. Lagian kan kalau Mas Farhan kerumah, biar lebih nyaman..." Ucap Nissa meyakinkan sang ibu. Mendengar nama calon menantunya di sebut membuat sang ibu menoleh dan menatap tajam sang putri. " Kok bawa-bawa Nak Farhan? Emangnya kenapa dia? Gak nyaman karna ada kakakmu di rumah. Atau?" Tanya sang ibu penasaran. " Nissa gak enak mau ngomongin ini ke Mama...soalnya ini tu, sedikit rahasia Mam..." Jawab Nissa sembari memainkan sendok di atas piring, hingga terdengar bunyi dentingan. " Cerita saja ke Mama, apa yang menjadi kendalamu. Jangan sampai kakakmu itu menyusahkanmu apalagi mengancam hubunganmu dengan Nak Farhan!" Gertak sang ibu yang mulai terpancing emosi. " Cerita cepat, atau mama hubungi Nak Farhan!" Nissa menunduk sembari memasang wajah sedihnya, dan tak perlu menunggu waktu lama, wajah mendung itu telah menurunkan rintikan air mata yang membasahi wajah mulusnya yang telah terpoles make up. " Mas Farhan merasa, kalau Kak Sasya berkali-kali menggodanya. Kak Sasya berusaha merebut Mas Farhan dari Nissa, Mam. Dan beberapa kali Nissa perhatikan Mas Farhan mulai tergoda, sering menanyakan Kak Sasya. Gimana jadinya kalau Mas Farhan jatuh cinta benaran dengan Kak Sasya, Ma?" Isakan tangis pilu membuat sang ibu berdiri dan memeluk putri kesayangannya. " Anak kurang ajar! Beraninya dia mau mencuri milik anakku! Tak bisa di biarkan, jangan sampai Farhan gelap mata dan tergoda bujuk rayunya. Anak sialan!" Nissa memeluk sang ibu erat-erat sembari mengusap punggung sang ibu. " Nissa, gak mau kehilangan Mas Farhan, Ma. Nissa sudah cinta mati sama Mas Farhan. Seluruh rumah sakit tahu bahwa dokter Farhan itu milik Nissa, apa jadinya kalau Mas Farhan tiba-tiba menikah dengan Sasya seperti n****+-n****+ online..." Nissa mengelap air matanya. " Sudah, kamu sekarang bersiap berangkat kerumah sakit, jangan sampai terlambat. Mama pastikan hubunganmu dengan Nak Farhan aman. Dan masalah Kakakmu, sepulang kau bekerja, dia Mama pastikan sudah tidak di rumah ini. Sudah jangan pikirkan ya, kamu itu mau menangani pasien jangan sampai salah, hanya karena kami memikirkan anak sialan itu!" Sang ibu menenangkan Nissa yang sudah mulai mereda tangisnya. " Makasih Ma, Mama yang terbaik buat Nissa, tanpa Mama, gak tau lagi Nissa mau gimana, mungkin Nissa harus melihat Mas Farhan menggandeng kakak kandung sendiri..." Sang ibu meraih bahu putrinya, lalu tangannya meraih dagu sang putri, membuat sang putri menatapnya. " Kamu percaya Mama ya Nak. Mama pastikan kebahagiaanmu dengan Farhan, dan kamu pasti akan segera menikah. Lagian Nak Farhan sudah melamarmu, pasti dia serius denganmu dan sangat mencintaimu, jangan kawatir benalu yang mengganggu. Kamu harus tenang..." Nissa menganggukkan kepala perlahan dan mencium sang ibu. " Nissa bersiap berangkat dulu ya Mam..." Nissa bangkit berdiri dan memeluk sang ibu. " Hati-hati di jalan ya Nak, ingat! Abaikan yang terjadi di rumah, Nak Farhan pasti menjadi milikmu dan kebahagiaanmu membentang luas di depan mata. Kamu jangan kawatir..." Nissa melangkahkan kaki meninggalkan sang ibu di meja makan yang tengah mendengkus kesal. Lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar sang putri yang terletak di lantai dua. Sedangkan Nissa yang baru saja menaiki mobil pribadi hadiah kelulusannya sebagai dokter, tersenyum cerah sembari memperbaiki riasannya yang telah luntur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD