Bastian muncul di ruangannya satu jam kemudian. Ia sedikit kaget mendapati Tara sudah duduk di kursi tamu di depan meja kerjanya. Hal itu membuat Bastian ingin memaki asistennya karena lancang sudah mengizinkan Tara menunggu di ruangannya dan bukan di sofa khusus tamu. Pria berusia 32 tahun itu melintasi ruangan dengan langkah angkuh lalu duduk di kursi kebesarannya di seberang meja.
Tara segera berdiri lalu mengucapkan salam dengan ramah dan hormat, "Selamat siang, Pak."
Tak tergerak oleh suara lembut dan sikap hormat Tara, Bastian bersandar ke kursi dan meneliti dengan cermat karyawannya itu. Pandangannya seperti sedang menilai Tara dari ujung rambut sampai kaki. Ekspresi dingin yang ia tunjukkan biasanya akan membuat kebanyakan orang berbalik pergi, namun tidak untuk Tara. Gadis itu tetap bergeming.
Tanpa basa basi Bastian langsung menyerang Tara dengan pertanyaan. "Sudah sejauh mana keberhasilan rencana Bu Tara? Saya tidak ingin mendengar alasan yang tidak penting jika rencana iklan itu mengalami kegagalan."
Sindiran Bastian membuat jantung Tara berdegup kencang, berpacu dengan emosi yang hampir tak sanggup ditahannya. Wajah tampan dan maskulin Bastian yang seharusnya bisa melelehkan hatinya, justru membuat aliran darahnya semakin cepat naik ke kepala. Tara berusaha keras mengendalikan emosinya. Bagaimanapun ia tidak boleh terlihat geram pada pria yang dinilainya tak berperasaan itu. Ia menarik ujung bibirnya ke atas membentuk senyuman yang dipaksakan.
"Saya, Bu Anna, dan staf lainnya sudah berusaha maksimal. Kita hanya tinggal menunggu ulasan dr. Barry."
"Oh, iya?" Bastian mencebik seakan tak percaya.
Tara mengulurkan map karton merah berisi berkas dan sebuah SSD pada Bastian. Pria itu menarik punggungnya dari sandaran kursi. Lengan jasnya yang sedikit terangkat dan mengetat saat meraih map beserta SSD membuat Tara menelan ludah membayangkan biseps kuat dan seksi di bawah setelan mahal itu. Namun, dengan cepat Tara membuang pikiran itu jauh-jauh. Ia mengingatkan dirinya sendiri akan tujuannya berada di perusahaan itu.
Bastian membaca berkas yang diberikan Tara. Mata abu-abu warisan ibunya yang berasal dari Italia bergerak-gerak mengamati dan memahami isi berkas tersebut. Sesaat kemudian Bastian mengangkat wajahnya menatap Tara. Ia lalu menutup kembali map yang ia bentangkan dan meletakkannya di atas meja.
"Apakah Bu Tara yakin penilaiannya terhadap produk baru kita akan memberi dampak positif ?"
"Saya optimis, Pak."
Bastian mengangkat sebelah alis tebalnya. Ia memandang Tara dengan pandangan skeptis. Tanpa ia sadari pandangannya turun dari wajah cantik Tara ke d**a gadis itu yang terbalut kemeja hitam ketat. Beberapa kancingnya yang sengaja dibiarkan terbuka memberi celah pada Bastian untuk menikmati pemandangan terlarang yang membuatnya mengutuki diri sendiri. Gerakan naik turun d**a Tara yang pelan dan teratur membentuk opini baru pria itu.
Si Barbie ini pantang menyerah juga, batin Bastian. "Apa jaminannya jika rencana iklan ini gagal?"
"Saya akan memberikan surat pengunduran diri saya sebelum Bapak memintanya." Bibir Tara membentuk garis lurus dan melayangkan tatapan defensif.
"Good." Bastian memperlihatkan senyum puas.
***
Tara mempersiapkan fisik dan mental selama beberapa hari terakhir. Surat pengunduran diri pun sudah dibuat seandainya ulasan dr. Barry tidak memengaruhi daya jual produk yang baru diluncurkan perusahaannya. Bersyukur, keberuntung masih berpihak pada Tara. Setelah dr. Barry meneliti komposisi bahan-bahan organik yang terkandung dalam produk skincare tersebut, tepat di hari terakhir batas waktu yang diberikan Bastian, dokter itu memberikan ulasan tentang skincare tersebut di platform TikTak. Dalam kurun waktu satu kali dua puluh empat jam, ulasan tersebut sudah dilihat dua juta pengguna dan mendapatkan lebih dari dua ribu komentar positif. Hasil yang sangat menakjubkan. Dibarengi oleh iklan di media cetak dan elektronik pada minggu yang sama, penjualan awal produk baru tersebut terbilang sukses. Usaha Tara dan tim marketing menuai pujian Founder dan Dewan Komisaris WSG Globe.
"Bu Tara, Pak Bastian meminta Ibu ke ruangannya," tutur asisten Bastian melalui saluran telepon kantor.
"Baik, Bu. Saya segera ke ruangan Pak Bas."
Tara menuju ruangan Bastian. Dengan jantung berdegup kencang dan wajah tegang ia mengetuk pintu ruangan sang penguasa WSG Globe. Asisten Bastian mempersilakannya masuk. Tidak diduga, Keyzia sudah berada di sana. CFO cantik berambut cokelat panjang itu menyambut Tara dengan senyuman dari tempatnya duduk di seberang meja kerja Bastian.
"Silakan masuk, Bu Tara." Keyzia dengan ramah meminta Tara untuk masuk.
Sambil berjalan masuk, Tara tersenyum pada Keyzia. Ia mencoba mengabaikan tatapan dingin Bastian kepadanya. Ada yang salah dengan otak pria itu. Selama ini tidak ada pria yang tidak tertarik dengan penampilannya, pikirnya.
"Silakan duduk." Keyzia menawarkan Tara untuk duduk di kursi kosong di sampingnya.
Tara mengerutkan dahi. Ia heran kenapa harus Keyzia yang menawarinya duduk, bukan Bastian. Ruangan ini milik pria itu. Namun, akhirnya Tara duduk di samping Keyzia.
"Anda sudah mendapat laporan keuangan dari staf Anda?" tanya Bastian tanpa basa basi.
"Sudah, Pak." Tara melembutkan suaranya.
"Bagaimana hasilnya?"
"Baik. Semua berjalan lancar dan tidak ada kendala."
"Belum," potong Bastian.
Tara menyatukan alisnya yang dibentuk sempurna. Gadis itu terkejut dengan pernyataan Bastian.
"Jangan pernah bilang tidak ada kendala. Kita belum melihat hasil keseluruhannya," imbuh Bastian kemudian.
Tara mengangguk. Kali ini ia harus meredam kembali emosinya.
"Sejauh ini iklan penawaran dan ulasan dr. Barry di TikTak sudah cukup sukses membuat produk skincare kita menjadi produk perawatan kulit baru yang paling disukai konsumen. Bu Anna bilang padaku, ulasan dokter itu sangat membantu. Jangan terlalu keras pada diri sendiri untuk mencapai hasil yang sempurna dalam waktu singkat. Kita semua sudah bekerja keras untuk itu." Pembelaan Keyzia membuat Tara lega. Ia sangat berterima kasih pada Keyzia. Sepupu Bastian itu kerap membelanya dan memberi semangat.
"Baiklah. Sejauh ini saya anggap kerja keras Bu Tara dan tim berhasil. Karena itu, saya masih belum bisa memecat Anda, Bu Tara," tutur Bastian sambil bersandar.
"Bastian, come on!" Keyzia melontarkan protesnya dengan nada tinggi.
"Okay, fine. I'm just kidding."
Tara mengangkat sebelah alisnya. Sungguh sebuah ironi ketika Bastian mengatakan bahwa kalimat yang ia katakan sebelumnya adalah sebuah candaan. Pria itu tampak tidak sedang bercanda saat mengatakannya. Tara terdiam. Meskipun akhirnya ia lega tidak akan dipecat, tapi ia kesal dengan sikap Bastian yang meremehkannya. Ia pun geram pada dirinya karena hal itu.
"Saya anggap kerja keras Bu Tara berhasil. Saya akan memberikan penghargaan kepada dr. Barry Irawan dalam bentuk dan cara berbeda agar ia tetap bisa menilai produk kita secara objektif." Suara berat Bastian terdengar lebih hangat, membuat Tara menatapnya heran. "Untuk keberhasilan itu, saya berniat mengundang Bu Tara, Bu Anna dan tim Ibu untuk makan malam."
Tara terpangah. Ia syok mendengar kalimat terakhir Bastian. Sebenarnya ia hampir putus asa dengan semua usahanya.
Bastian menangkap keterkejutan Tara. Ia meralat kalimatnya dengan versi yang berbeda. "Kalau Bu Tara tidak ada acara setelah jam pulang, kita akan makan malam bersama."
Tara tersenyum dalam hati. Dia mulai masuk perangkapku, Tina.
"Setelah jam kantor selesai, kita akan makan malam." Bastian lebih dulu memutuskan sebelum Tara menjawab.
"Tapi, Pak. Mm ...."
"Jika Anda tidak bisa, setidaknya beritahu dulu tim Anda kabar ini." Bastian memotong dengan nada kesal.
Sial, dia bahkan tidak peduli jika aku tidak ikut serta. "Mm, iya. Mak-sud saya, saya harus memberitahukan hal ini pada Bu Ana dan Pak Irwan sebelum kita pergi."
"Lebih cepat memberitahu mereka lebih baik, kan?" Nada bicara Bastian yang tegas membuat Tara berasumsi bahwa pria itu sedang mengusirnya.
Tara bangkit. Dengan gerakan sedikit membungkuk, ia meminta izin untuk segera meninggalkan ruangan, "Baik kalau begitu saya permisi dulu. Saya akan memberitahu Pak Irwan dan Bu Ana."
Bastian tidak menjawab. Ia hanya memberi anggukan pongah sebagai isyarat setuju. Tara berjalan keluar dari ruangan Bastian dengan memendam amarah yang bergolak. Ia bahkan tidak bisa tersenyum semu pada asisten Bastian yang mengantarnya sampai ke pintu.
Tara mengepalkan tangannya erat dan meggertakkan rahangnya. Ia hampir saja percaya bahwa Bastian tertarik padanya, tapi kenyataannya pria itu sama sekali tak mengindahkan dirinya. Si gunung es itu ternyata tidak mudah meleleh, pikirnya.
Langkah Tara yang mengentak membawanya kembali ke ruang kerjanya. Ia melintasi meja-meja bersekat dan berakhir di ujung di sebuah pintu penghubung departemen keuangan dan pemasaran. Ia membuka pintu itu untuk melanjutkan kembali perjalanannnya menuju ruangan CMO.
Senyuman yang mendadak dibuat manis, ia layangkan ke arah perempuan berhijab hijau yang sedang asyik bercengkerama dengan komputernya ketika pintu terbuka.
"Permisi, Bu. Bu Anna dan tim, kalian mendapat undangan makan malam setelah jam pulang dari Pak Bastian." Tara menyampaikan undangan Bastian secara singkat, jelas, dan padat.
Anna memandang dengan ekspresi senang luar biasa, seakan baru memenangkan lotre. Lalu, ia kembali memandangi Tara.
"Saya tidak salah dengar, kan, Bu Tara?"
Tara menggeleng. "Kerja Bu Anna dan tim memang layak mendapat lebih dari sekadar makan malam bersama Pak Bastian."
"Pak Bastian kesambet setan dari mana, ya, mau ngajak kita makan malam bersama, Bu Tara?" nada tak percaya terlontar dari ucapan Anna yang beraksen jawa.
Tara tersenyum lagi. Kali ini bukan senyuman yang dibuat-buat. Senyuman tulus dari hati. "Dari hutan di Ujung Kulon kali, Bu. Bu Anna siap, ya. Kita berangkat setelah jam pulang."
"Pasti kami siap, Bu. Tidak seabad sekali Pak Bos ngajak makan." Anna tersenyum.
Tara bernapas lega. Ia menangkap sesuatu dari ekspresi dan ucapan rekannya yang membuat amarahnya sedikit mereda.
***
Bastian tiba lebih dulu di restoran Italia favoritnya. Tara tiba beberapa saat kemudian bersama Anna dan Irwan, asistennya Anna. Mereka duduk di ruang makan VIP yang tersedia di restoran tersebut. Tara baru menyadari kursi yang dipilihnya ternyata berhadapan dengan Bastian ketika tatapan mereka beradu tanpa sengaja. Untuk beberapa saat ia merasa gugup hingga ia mengalihkan tatapannya ke arah deretan jendela kaca mozaik dengan warna-warni pastel di belakang Bastian. Namun, akhirnya gadis itu menyadari bahwa duduk berhadapan dengan Bastian adalah sebuah keuntungan.
"Bu Key tidak ikut, Pak?" Tara berusaha mengusir ketegangan yang menyelimuti mereka. Ia tahu Bastian tidak akan serta merta menjawab pertanyaannya, tapi ia berani mengambil risiko itu.
Di luar dugaan Bastian menjawab meski hanya dengan kalimat yang sangat sederhana, "Dia akan segera datang."
Keheningan kembali menyeruak. Sikap Bastian yang kaku dan raut wajahnya yang keras sedikit mematahkan semangat Tara untuk melanjutkan obrolan. Beruntung, Keyzia datang. Ia menggandeng seorang pria dan memperkenalkan pria itu sebagai suaminya. Mereka duduk di samping Bastian. Sikap ceria dan ramah Keyzia bisa mencairkan suasana dalam sekejap.
"Saya senang bisa makan malam bersama orang-orang hebat seperti kalian. Kalian berhasil melakukan strategi baru dalam pemasaran." tutur Keyzia.
Senyum semringah tampak di wajah Anna dan Irwan. Namun, Tara hanya melayangkan senyuman semu agar tidak menyinggung perasaan bosnya.
"Semua berkat ide Bu Tara. Meskipun Bu Tara tidak memiliki latar belakang dunia marketing, tapi idenya sangat brilian. Strategi pemasaran memang seharusnya mengikuti perkembangan zaman," ucap Anna.
"Saya, Bu Anna, dan seluruh tim berterima kasih kepada WSG Globe terutama pada Pak Bastian." Tara melirik Bastian dan mendapati pria itu sedang menatapnya. Tatapan dingin Bastian yang tidak bisa didefinisikan membuat Tara kehilangan kata-kata. Kepalanya mendadak dipenuhi isi email yang dikirimkan Tina sebelum dia meninggal. Tara berusaha keras mengendalikan emosinya sampai akhirnya ia bisa tersenyum sebelum melanjutkan kalimatnya. "Yang telah memberi kami kesempatan untuk berkontribusi pada perusahaan."
"Anda beruntung bisa bekerja sama dengan para peri penyelamat kali ini, Bu Tara," sindir Bastian.
Tara mengangkat sebelah ujung bibirnya tersenyum sinis. Ia ingin sekali membalas sindiran Bastian, tapi misinya malam ini yang mengharuskan ia bersikap manis menahannya. "Iya. Beruntungnya saya bisa bekerja sama dengan para peri penyelamat seperti Bu Anna dan Pak Irwan."
Sepanjang acara makan malam Tara terus memutar otak mengubah strategi untuk mencapai misinya. Ia takkan menyia-nyiakan waktu sepanjang hidupnya hanya untuk bersikap manis pada Bastian jika kenyataannya pria kutub itu tidak tertarik padanya. Rasa gnocchi yang biasanya sangat bersahabat dengan lidah Tara mendadak terasa aneh dan membuat perut Tara mual. Meski begitu, gadis itu masih bisa bersandiwara. Maka dari itu, ia melayangkan senyum patuh setiap kali tatapannya bertemu dengan tatapan Bastian, makan dalam porsi sepantasnya, dan berlaku seanggun mungkin. Menjadi cantik dan cerdas saja tidak cukup untuk menaklukan pria kutub itu, pikirnya.
"Terima kasih undangan makan malamnya, Pak Bastian. Selamat malam." Tara mengucap salam perpisahan setelah hampir dua jam yang penuh kepura-puraan dan ketegangan.
Bastian hanya mengangguk lalu meninggalkan Tara dan yang lainnya. Keyzia dan suaminya menyusul Bastian beberapa menit kemudian.
"Bu Tara, saya pulang bareng Pak Irwan, ya. Rumah kami searah," tutur Anna.
"Oh iya, Bu Anna. Hati-hati di jalan, ya."
Tara melihat Anna dan Irwan masuk ke mobil Anna. Sekelumit rasa iri melintasi benaknya. Semua orang berbahagia malam itu kecuali dia, pikirnya.
Tara masuk ke mobilnya dengan malas. Sejenak ia menengadah, menatap langit-langit mobilnya dalam gelap sebelum meraih kemudi. Bayangan Tina merengkuhnya dan membuatnya terisak. Rasa sakit itu menghujamnya lagi dan lagi. Ia tidak pernah ada di samping Tina saat Tina menderita sendirian dan baru mendengar kabar adiknya itu sebelum pemakamannya.
Dengan tangan bergetar Tara menekan tombol start engine. Tidak lama kemudian mesin mobil menyala. Namun, ia merasakan hal aneh saat ia mulai memundurkan mobilnya. Tara keluar dari mobil untuk memeriksa keadaan.
"Ah, sial!" umpat Tara sambil menendang ban mobil bagian belakangnya yang kempis.
"Ada masalah?" Suara bass itu membuat Tara hampir melompat.
"Damn!" Tara memaki sebelum menyadari suara itu berasal dari Bastian yang berdiri beberapa kaki darinya dengan kedua tangan terkubur di saku celananya. "Oh, maaf, Pak. Saya tidak bermaksud memaki, eh, mengatakan hal tadi. Bapak, sih, tiba-tiba muncul kayak hantu."
"Ada masalah?" Bastian mengabaikan cerocosan Tara dan mengulang pertanyaannya dengan nada paling datar yang pernah Tara dengar.
"Ban mobil saya kempis, Pak."
"Kalau begitu Anda bisa pulang bersama saya. Saya akan menghubungi bengkel untuk membereskan mobil Anda."
Tara menatap Bastian. Bukan karena terkejut dengan penawaran Pria itu, melainkan karena marah. Pria di hadapannya itu yang membuat hidupnya tidak tenang selama setahun terakhir dan ia harus berjuang sangat keras untuk sampai ke titik ini.
"Anda pikir saya yang mengempiskan ban mobil Anda?" Bastian beranggapan lain dengan ekspresi yang ditunjukkan Tara.
Tara mengerjap dan asal menyeletuk. "Bukan saya yang bilang lho, Pak."
Namun, Tara segera meralat ucapannya. "Bukan begitu, Pak. Saya hanya kaget Bapak mau berbaik hati mengantar saya pulang."
"Apa perlu saya hubungi taksi?" balas Bastian tanpa ekspresi.
Tara melihat kesempatan emas. Tentu saja ia tidak akan melewatkannya. "Tidak perlu, Pak. Saya rasa saya lebih aman pulang bersama Bapak saja."
"Yakin sekali Anda lebih aman jika pulang bersama saya."
Sekalipun tidak aman, itu yang aku harapkan. Tara tersenyum.
Tara mengikuti langkah Bastian menuju mobilnya. Ia sengaja mengangkat roknya lebih tinggi hingga sebagian paha mulusnya terekspos saat ia duduk di kursi penumpang, berharap menarik perhatian Bastian. Namun, usahanya gagal. Pria kutub itu tidak memedulikannya.
Sialan, dia menganggap aku tidak ada. Terbersit di benak Tara jika Bastian bukanlah pria normal. Tetapi ia segera menepis asumsinya karena tidak mungkin Bastian menghamili Tina dan bergonta ganti teman tidur jika ia tidak normal.
Selama sepuluh menit kesunyian menyelimuti suasana di dalam mobil Bastian. Tidak ada yang mau mengalah memecah senyap hingga akhirnya pria itu berkata, "Anda mengingatkan saya akan seseorang."
Jantung Tara berdenyut kencang mendengar pernyataan itu. Ya, tentu saja aku mengingatkanmu pada kekasihmu yang kamu buang begitu saja, bodoh!