1. Awal Yang Pahit
Hebat! Aku datang terlambat di meeting pertamaku.
Tara Abinaya melirik jam tangan di tangan kirinya dan menyadari akan datang terlambat di ruang rapat jika ia tidak segera masuk ke gedung perusahaan WSG Globe. Wanita yang baru seminggu menduduki posisi accounting supervisor itu berjalan tergesa-gesa menuju lobi. Senyuman ramah resepsionis menyambut kedatangan Tara sambil bibirnya menyapa hangat, "Selamat pagi, Bu Tara."
"Pagi juga, Mbak Rin. Apakah Bu Key sudah datang?"
"Sudah dari setengah jam yang lalu, Bu. Pak Bastian juga sudah datang."
Oh, sial! Mendengar ucapan si resepsionis, d**a Tara tiba-tiba sesak dan jantungnya seakan berhenti berdetak sejenak. Wajahnya menegang sementara bayangan sang CFO dan CEO yang murka karena ia datang terlambat melintas di matanya.
Tara setengah berlari menuju lift tanpa menoleh lagi ke arah si resepsionis yang menatapnya heran. Suara hak stiletto merahnya yang beradu dengan lantai marmer memenuhi lobi dan membuat beberapa pasang mata karyawan yang berada di sana menatapnya. Ia tidak peduli. Wanita berhidung mancung dan bermata bulat besar seperti mata boneka Barbie itu sudah terbiasa menjadi pusat perhatian sejak kedatangannya ke WSG Globe. Penampilannya yang sedikit seksi dan berani selalu berhasil mencuri perhatian karyawan lain terutama pria.
Mata Tara tertuju pada floor designator di atas pintu lift. Sambil menghitung mundur dalam hati mengikuti nomor lantai yang tertera di sana, ia memilin ujung blazernya mencoba mengusir ketegangan yang terus mendera.
Dalam lift, Tara mengambil posisi di depan papan tombol untuk memudahkannya keluar saat tiba di lantai yang ia tuju. Tombol angka delapan menyala dan pintu lift terbuka. Tara merasa keberaniannya sedang dipertaruhkan. Ia melangkah keluar dengan bimbang. Bukan hanya tegang, kini ketakutan pun tampak jelas di wajahnya.
"Tina, Tina, Tina." Tara merapalkan mantra favoritnya dengan suara pelan dan nyaris tak terdengar.
Tara menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya perlahan. Ia mengulanginya sampai semua ketegangan yang ia rasakan perlahan menguap. Ketenangan mulai menyelimutinya, lalu ia menyapukan telapak tangannya ke bagian samping rok pensil hitam yang membalut pinggul dan paha rampingnya. Dengan percaya diri ia berjalan menuju ruang meeting.
Wanita itu tahu konsekuensi keterlambatannya menghadiri meeting tersebut. Mungkin ia akan diberi peringatan atau yang terburuk, ia akan langsung dipecat. Ia mengetuk pintu dua kali lalu mendorongnya pelan dengan sedikit gugup. Di depannya tampak sebuah ruangan dengan kursi-kursi dan meja yang diatur membentuk huruf U. Dindingnya yang serba putih dihiasi beberapa lukisan abstrak. Untuk beberapa saat Tara memandang takjub ruangan yang baru pertama kali ia masuki. Namun, akhirnya ia tersadar bahwa dirinya sedang menjadi pusat perhatian para peserta meeting, tak terkecuali sang CEO, Bastian Witjaksono, yang duduk di kursi pembicara. Tatapan kelabu pria bersetelan jas hitam itu dingin dan keras. Meskipun tak ada kata-kata tajam keluar dari mulutnya, tetapi kilat berbahaya terpancar dari mata pria berdarah Jawa-Italia itu.
"Selamat pagi. Maaf, saya datang terlambat," ucap Tara sedikit gugup.
"Anda tahu peraturan di perusahaan ini dan apa konsekuensinya jika Anda melanggar aturan yang berlaku?" Suara Bastian terdengar berat dan mengintimidasi, membuat Tara semakin gugup.
Pertanyaan Bastian membuat Tara merasa sedang dihakimi di depan semua peserta meeting. Ia membeku. Tatapannya lurus ke arah Bastian. Bukan, itu bukan tatapan penuh damba ataupun terintimidasi, melainkan tatapan perempuan bertekad baja. Seketika ketegangan menyeruak kembali dan hening menjadi atmosfer baru di ruangan tersebut.
Tara mengerjap dan mengembus napas berusaha menenangkan diri. Bagaimanapun, dia tidak ingin dipecat hanya karena tidak becus menahan emosi.
"Saya tahu, Pak. Tadi, saya mengalami kecelakaan kecil di jalan," jelasnya beberapa saat kemudian.
"Saya tidak bisa menolerir apa pun alasan Anda. Anda baru beberapa hari bekerja di perusahaan ini dan Anda sudah menunjukkan etos kerja yang tidak dapat diandalkan."
"Saya minta maaf, Pak. Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi."
Seorang wanita berambut cokelat panjang yang duduk di samping Bastian menginterupsi. "Baik, Bu Tara. Kita bicarakan masalah keterlambatan Bu Tara setelah meeting selesai. Silakan duduk."
Tara mengembuskan napas lega mendengar pembelaan Keyzia, CFO sekaligus sepupu Bastian. "Baik, Bu. Terima kasih."
Tara memilih satu-satunya kursi kosong yang tersisa. Ia masih melihat rona kesal di wajah Bastian ketika mencuri lihat ke arah pria itu. Namun, ia berhasil menyingkirkan kekhawatiran dirinya bakal dipecat. Yang ia pikirkan saat ini adalah bagaimana ia bisa terus bekerja di WSG Globe tanpa dimusuhi atasannya sendiri.
"Sebagai accounting supervisor, apakah Anda mempunyai saran untuk rencana pemasaran produk baru kita, Bu Tara?" tiba-tiba Bastian melontarkan pertanyaan ujian pada Tara.
Tara memasang ekspresi tenang dan menarik kedua ujung bibirnya membentuk senyuman. Beruntung, ia sudah diberitahu Keyzia bahwa meeting tersebut akan membahas rencana pemasaran produk baru salah satu anak perusahaan yang berada di bawah naungan WSG Globe. WSG Globe adalah perusahaan raksasa yang memayungi delapan perusahaan kecil di bawahnya. Lima di antaranya adalah perusahaan yang memproduksi kosmetik dan fashion. Produk baru yang akan diluncurkan kali ini adalah produk skincare. Meskipun bukan keahliannya di bidang pemasaran, namun Tara siap menyumbang suara.
"Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik dan fashion, menurut saya, kita terlalu menggantungkan pemasaran pada iklan penawaran. Maaf, jika saya salah. Mungkin Bu Anna sebagai CMO lebih paham dengan hal ini." Pandangan Tara menunjuk salah satu peserta meeting yang mengenakan hijab dan baju ungu yang duduk berseberangan dengannya.
Wanita yang ditunjuk Tara mengangguk memberi isyarat pada Tara untuk melanjutkan penjelasannya.
"Begini, maksud saya. Saya pikir selain iklan penawaran, kita pun memerlukan iklan yang lebih natural," lanjut Tara.
"Maksud Anda natural bagaimana, Bu Tara?" sela Bastian.
"Iya. Natural seperti apa, Bu Tara?" tambah Anna.
Tara menarik napas dalam-dalam sambil mengumpulkan amunisi untuk membahas hal yang sama sekali bukan di bidangnya, namun sedikit banyak ia tahu keinginan pasar karena ia pun pengguna produk kosmetik. "Kita butuh testimoni langsung dari konsumen dan ulasan dari ahli kecantikan atau dokter kulit lain yang tidak ada hubungannya dengan perusahaan atau Lab kita. Konsumen sekarang cerdas-cerdas. Mereka akan memilih produk kosmetik yang bebas efek samping dan ada pembuktian langsung dari ahlinya yang bukan berasal dari WSG Globe. Ulasan dari ahli di luar perusahaan, saya rasa, akan sangat memengaruhi konsumen karena lebih objektif."
"Ide Bu Tara sangat menarik." Anna merespons dengan nada senang.
"Jadi, kita perlu membayar seorang ahli untuk memberikan ulasannya pada produk tersebut?" sambar Bastian.
"Oh, bukan begitu, Pak," jawab Tara lantang.
"Lantas, seperti apa? Tidak ada seorang pun yang bekerja—bahkan jika dia hanya memberikan pengakuan terhadap suatu produk—yang tidak mau menerima bayaran." Bastian menanggapi dengan ragu. Ia menatap tajam Tara seolah ingin menelannya hidup-hidup. Tara pun sedikit merinding dibuatnya.
Tara memutar otak mengingat cerita sahabatnya yang gemar membuat video dan menjadi salah satu artis dalam sebuah platform pembuat video musik pendek, TikTak. Ia pernah mengatakan jika ada seorang dokter kulit yang sering membuat video edukasi tentang produk perawatan kulit dan kecantikan.
"Ada, Pak. Tidak semua orang yang ingin berbagi kebenaran dan mengedukasi pecinta kosmetik itu mau dibayar. Ada seorang dokter yang melakukannya dengan sukarela. Kita bisa menggunakan kesaksian dan ulasannya untuk menambah nilai jual, selain melalui iklan penawaran." Tara menegaskan.
"Apakah dia dokter terkenal?" Keyzia menginterupsi.
"Dia cukup terkenal di platform TikTak, Bu Key. Lebih dari lima puluh persen pengguna internet di Indonesia mempunyai akun di platform tersebut. Itu akan sangat membantu pemasaran produk baru kita." Tara mulai lancar berbicara seolah ia salah satu staf marketing yang sangat ahli.
"Saya setuju dengan usulan, Bu Tara," tutur Anna, "peluang untuk memasarkan produk kita bisa lebih luas."
"So, sekarang kita akan bermain di platform itu?" Bastian kembali mengarahkan tatapan tajamnya ke Tara.
Tara berusaha setenang mungkin menanggapi reaksi tidak senang sang atasan. Ia mengangkat pundaknya lalu berkata, "Iya, mau tidak mau."
Bastian berdiri setelah beberapa menit berdiskusi dengan para eksekutif perusahaan. Pandangannya mengunci tatapan Tara. Pria itu masih geram pada Tara yang berlagak cerdas. Kali ini, ia ingin menguji kembali kecerdasan wanita itu.
"Baiklah, hasil pertemuan kita kali ini nanti akan dikemukakan oleh Pak Anton. Namun, saya minta Bu Tara untuk bertanggung jawab penuh pada iklan naturalnya. Tentunya, komando untuk melakukan pendekatan pada konsumen dan dokter yang ada di platform itu masih berada di bawah kendali Bu Anna. Siap, Bu Tara?"
Tara membelalak. Kenapa dia yang harus bertanggung jawab pada iklan natural cetusannya itu? tanyanya dalam hati.
"Ta-tapi saya kan bukan orang marketing, Pak," protesnya.
"Berarti Anda siap menerima konsekuensi keterlambatan Anda datang di meeting kali ini." Nada mengancam mengiringi ucapan Bastian.
Sialan! Tara merutuk dalam hati. Demi Tina, ia tidak akan mundur selangkah pun dari ancaman Bastian. Pria itu harus merasakan apa yang Tina rasakan dulu, meskipun harga dirinya sebagai taruhan.
"Baik, Pak. Saya siap."