7. Peace or Kiss?

1201 Words
"Kamu nantangin saya?" Bastian menegaskan intimidasinya. Berusaha terlihat santai, Tara menjawab, "Kan, Bapak sendiri yang memberi tawaran. Saya hanya menanggapi." "Oke. Kalau begitu, deal," tandas Bastian. Tara tersentak. Jantungnya berdegup kencang dan bayangan apa yang akan dilakukan Bastian setelah itu langsung memenuhi kepalanya. Ia menyilangkan tangan di di atas perut untuk menutupi kegelisahannya dan berharap Bastian tidak tahu. Jauh di dasar hatinya ia cemas. "O-ke," cetus Tara dengan nada panjang. Bastian melirik Tara lalu mengangkat sebelah ujung bibirnya tersenyum geram, tapi puas. Pria itu kembali menggeser tuas transmisi mobilnya ke posisi Drive lalu melaju dengan cepat membelah jalanan. Tara mengembus napas lega. Ternyata, Bastian hanya menggertaknya. Ia kembali menikmati perjalanan dan tersenyum penuh kemenangan. Namun, senyuman itu perlahan-lahan memudar saat Tara menyadari bahwa laju mobil Bastian tidak mengarah ke gedung WSG Globe. Tara mulai panik. Ia berusaha sebisanya untuk tidak menunjukkan kegelisahannya pada Bastian. "Kenapa kita tidak kembali ke WSG Globe, Pak?" tanya Tara dengan suara yang diatur sedemikian rupa agar tidak terdengar cemas. "Kamu lupa kamu baru saja menyetujui kesepakatan dengan saya?" sindir Bastian. Bodoh, ternyata Bastian serius dengan ucapannya. Celetukannya tadi akan berujung "sesuatu", pikirnya. "Ingatan saya masih bagus, Pak. Tapi mobil saya masih berada di sana." "Ini sudah malam. Biarkan saja mobilmu di sana." Bastian diam sesaat lalu melirik Tara. "Kamu tidak sedang berusaha mengingkari kesepakatan, 'kan?" "Oh, tentu tidak. Saya bukan pengecut yang akan menarik lagi kata-kata yang sudah saya ucapkan," balas Tara lantang dan percaya diri. Padahal, tidak bisa dipungkiri ia ketakutan setengah mati. "Good." Bastian menghentikan laju mobilnya di area parkir bawah tanah gedung apartemen tempat tinggalnya. Tanpa rangkulan di pundak dan kaitan tangannya ke tanganTara, pria itu berjalan dengan langkah arogan menuju lift. Seperti asisten pribadi Bastian, Tara mengikuti langkah pria itu. Terlalu aneh jika Tara di sebut sebagai kekasih atau gadis yang diinginkan Bastian lantaran pria itu sama sekali tidak menunjukkan hasratnya. Berdiri di dalam lift pun, Bastian masih menjaga jarak. Terlepas dari obrolan mereka di mobil tadi, Bastian dan Tara masih terlihat seperti bos dan karyawannya. Tidak ada kata-kata yang terucap sampai mereka tiba di apartemen Bastian. Tara terpaku di belakang pintu. Ia masih memutar otak apa yang akan ia lakukan di apartemen mewah ini untuk menghindari tuntutan Bastian. "Masuk," titah Bastian. Tara berjalan sesantai mungkin masuk ke apartemen Bastian lalu duduk di sofa ruang tamu tanpa diminta Bastian. Ia bertumpang kaki sambil bersandar dan mengistirahatkan kepalanya yang sedari tadi memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Akhirnya, Tara memutuskan akan mengikuti permainan Bastian. Apa pun itu sampai pria itu berhasil masuk ke dalam perangkapnya. "Kamu pikir aku membawamu ke sini untuk bersantai?" Suara Bastian mengejutkan Tara, membuatnya menarik punggung dari sandaran sofa. "Bapak belum memberi perintah. Apa salahnya saya nyantai?" Bastian membuka jasnya lalu melempar sembarangan. Ia pun mengendurkan dasinya dan bersedekap. Tatapan tajamnya mengunci tatapan menantang Tara. "Bangun," titah Bastian. Sambil mendesah kesal, Tara bangkit. Ia menghadap Bastian. "Sekarang?" Bastian menduga-duga apa yang ada di kepala Tara hingga ia bertanya seperti itu, tapi kemudian iya mengangguk. Ia ingin tahu apa yang dipikirkan gadis itu. Dengan berat hati Tara melepas blazernya lalu melepas kancing atas kemejanya hingga memperlihatkan belahan d**a mengkalnya. Ia mengangkat wajahnya menatap Bastian. Seperti inikah yang diinginkan Bastian? Pikirnya. Bastian mengamati wajah Tara. Ia bahkan melihat gerakan di leher Tara saat gadis itu menelan ludah. Sesaat kemudian ia tersenyum. Bukan tersenyum, tepatnya tertawa. "Kamu pikir kita mau ngapain?" Amarah dan malu langsung menanjak ke kepala Tara. Semburat merah tampak di pipi mulusnya. Bastian seolah sedang mengolok-olok Tara dengan tawanya. "Bapak bilang jika saya melihat Bapak lima detik lagi, Bapak akan menelanjangi saya. Saya sudah melihat Bapak lebih dari ...." Tara melirik jam tangannya sebelum melanjutkan ucapannya. "Satu jam, empat menit, dan tiga puluh tujuh detik." Bastian berdeham sambil menutup mulut dengan kepalan tangannya. Gadis ini polos atau bodoh? pikirnya. "Jangan mimpi kamu. Jika saya ingin bercinta, saya tidak akan memilih karyawan saya sendiri. Saya hanya menggertak, tapi kamu terlalu serius menanggapi. Kamu nge-fans ya sama saya?" canda Bastian. Tiba-tiba perut Tara terasa mual setelah mendengar penuturan Bastian. Seandainya ia punya palu Thor, ia ingin sekali menghantamkan benda itu ke kepala Bastian. Untuk menyembunyikan kemarahan dan juga malu yang menyerangnya, Tara memutar badan membelakangi Bastian sambil mengancingkan kembali kemejanya. Setelahnya, ia berkacak pinggang sambil mengatur napas untuk menguapkan rasa yang berkecamuk. Masih membelakangi Bastian, Tara melangkah menjauh. "Sebaiknya saya pulang." Cekalan Bastian di tangannya menghentikan langkah Tara. "Suruh siapa kamu pulang? Saya belum memerintahkan." Bastian menarik tangan Tara, memaksa gadis itu memutar tubuhnya hingga bersemuka dengannya. "Masih ada tugas yang harus kamu selesaikan." "Apa?" Bastian menarik pelan tangan Tara menuju ruang kerjanya yang berada di antara ruang makan dan kamar tidurnya. Dengan sebelah tangannya yang lain, ia menarik kursi yang menjorok masuk ke dalam meja kerjanya, lalu meminta Tara duduk di sana. Bastian kemudian membuka laptop dan menyodorkan beberapa map karton berisi berkas. "Kamu bereskan dulu ini kalau kamu mau pulang." "Apa ini, Pak?" "Kerjaan yang seharusnya kamu bereskan tadi di kantor." What?! Tara membelalak. "Apa tidak bisa dikerjakan besok saja, Pak. Sudah malam. Saya mau pulang." "Tidak. Besok kerjaan kamu sudah beda lagi. Selesaikan dulu. Nanti saya antar kamu pulang," desak Bastian. Tara menyumpahi Bastian dalam hati. Sudah mempermalukannya, pria itu juga memberinya pekerjaan di waktu yang seharusnya Tara gunakan untuk istirahat. Tara berusaha keras menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu cepat. Tetapi karena fisiknya terlalu lelah, ia tertidur dengan kepala di atas meja dan tangan terlipat sebagai bantal daruratnya. Sementara itu Bastian masih berada di kamarnya. Setelah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian, ia duduk di tepi tempat tidur dengan tangan bertopang pada lututnya. Senyumnya merekah mengingat kejadian beberapa jam lalu. Ia sukses mengerjai Tara. Wanita itu berbeda dengan wanita-wanita yang pernah singgah dalam hidupnya. Tiba-tiba saja bayangan kelam akan seseorang berkelebat menerpanya. Tangannya mengepal erat mengingat peristiwa traumatis itu. Wanita yang ia harapkan menjadi pelabuhan terakhir hatinya, ternyata seorang pengkhianat. Bekas luka itu kembali terasa perih. Masih terbayang wajah wanita yang ia puja ketika wanita itu datang untuk yang terakhir kalinya ke hadapan Bastian, tepat di hari pernikahan mereka. Wajah itu begitu polos tapi menyimpan banyak kalimat yang akhirnya menusuk-nusuk d**a Bastian dan menyisakan luka tak berdarah yang cukup parah. “Maafkan aku, Bastian. Aku tidak bisa menikah denganmu.” “Kenapa? Apa aku berbuat kesalahan?” “Tidak. Aku yang membuat kesalahan.” “Apa maksudmu?” “Aku sebenarnya tidak mencintai kamu. Aku mencintai pria lain.” Aku mencintai pria lain ... Aku mencintai pria lain. Kalimat itu masih terngiang-ngiang di telinga Bastian sampai saat ini. Hubungan yang tercipta selama itu harus pupus dalam sekejap dan di saat cinta itu akan dikukuhkan dalam sebuah ikatan. Bastian meremas rambutnya sambil mendengkus. Tara! Bastian kembali ke kenyataan. Ia beranjak dari kamar menuju ruang kerjanya. Pandangannya mendapati Tara sudah tertidur dengan kepala berbantal tangan di atas meja. Hatinya tersentuh oleh rasa sesal melihat Tara tertidur dengan posisi yang tidak seharusnya. Tanpa berpikir panjang, Bastian membopong Tara ke kamarnya. Pria yang mengenakan kaus Polo putih dan celana tidur batik itu membaringkan Tara di tempat tidurnya. Pandangannya menjelajahi wajah Tara. Seperti terhipnotis wajah polos wanita itu, d**a Bastian berdegup kencang. Insting peace or kiss mulai berdebat di kepalanya. Bibir Tara yang sedikit terbuka mengundangnya untuk segera memutuskan debat di kepalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD